CINDERELLA JAKARTA
Penulis:
Zaenal Radar T
Lukisan
Elliza
ELLIZA gemar melukis, terutama
melukis wajah cowok yang ditaksirnya. Bila Elliza melihat cowok yang disukai di
sekolah maupun di jalan maka ia simpan sketsa wajah cowok itu di benaknya.
Setibanya di rumah, barulah ia tuangkan ke kanvas.
Seperti
malam itu. Elliza baru saja melukis wajah seorang cowok yang ia lihat di sebuah
taman. Cowok itu Elliza temukan di sebuah kursi taman saat ia pulang sekolah.
Ketika melintasi taman itu, wajahnya sempat beradu pandang dengan wajah si
cowok.Sekilas senyum si cowok mengembang, hingga membekas dalam ingatan Elliza.
Senyum cowok itu begitu manis, semanis susu rasa stroberi yang sering
disediakan mama di rumah.
Sayangnya,cowok
di taman itu duduk berdua dengan seorang cewek. Entah siapa cewek yang duduk
bersanding dengan cowok itu. Mungkin adiknya, sodaranya, teman sekolahnya, atau
…?
Ah,Elliza
enggan berpikir yang nggak-nggak! Ia nggak mau termakan perasaan. Melenyapkan
rasa cemburu yang tiba-tiba menghampiri jiwanya. Kemudian,Elliza mengandaikan
cowok di bangku taman itu masih sendirian, dan senyumnya itu memberikan
tanda
bahwa si cowok sangat mengharapkan kenal dengan Elliza.
Elliza
pernah punya pengalaman tentang seorang cowok yang duduk berduaan dengan
seorang cewek. Kala itu, cowok yang Elliza lihat duduk berdua dengan seorang
cewek, kemudian cowok itu mendekati Elliza untuk berkenalan.Tetapi, Elliza
menolaknya. Elliza takut melukai perasaan cewek yang duduk di sebelah sang
cowok. Elliza memutuskan pergi meninggalkan cowok itu, dan melupakannya.
Namun,
belakangan Elliza baru tahu. Ternyata, cewek yang duduk di sebelah si cowok itu
bukan pacarnya, tetapi hanya teman biasa. Elliza tahu karena di kemudian hari,
melihat cewek itu jalan dengan cowok lain. Dan si cowok itu tetap sendirian.
Tentu saja, Elliza menyesal. Apalagi ketika Elliza ingin mengenal lebih dekat
dengan cowok itu, sang cowok keburu akrab dengan cewek lain! Pupuslah
harapannya.
Oleh
sebab itulah, Elliza nggak mau berpikir macam-macam terhadap cewek yang duduk
di sebelah cowok di bangku taman itu, cowok yang wajahnya ia lukis di sebuah
kanvas berbingkai indah. Dan Elliza hanya mau mengingat-ingat cowok itu. Senyum
manis cowok itu ia letakkan di sebuah dinding, berjejer dengan lukisan lain
yang pernah ia lukis, menambah koleksi lukisannya.
“ELLIZA, berhentilah melukis wajah cowok! Lukislah momen lain.Bukankah
masih banyak hal yang bisa kamu lukis, selain wajah cowok-cowok itu?”
“Elliza
nggak bisa, Ma.Elliza hanya bisa melukis wajah cowok. Siapa tahu, cowok yang
Elliza lukis mau jadi teman dekat Elliza?”
“Mendapatkan
seorang cowok nggak harus melukisnya lebih dulu, Sayang!”
“Mengapa,
Ma? Bukankah Mama dulu pernah melukis wajah papa, waktu Mama ingin mengenal
papa? Mama memberikan lukisan wajah papa itu ke papa, hingga akhirnya papa suka
sama Mama?”
“Iya,
Sayang, kamu benar. Tapi, Mama hanya melukis wajah papa, bukan pria lain.”
“Elliza
belum bisa mendapatkan wajah cowok yang mau sama Elliza, Ma?”
“Lalu,
apa kamu harus terus melukis wajah-wajah itu?”
“Iya,
Ma.”
“Sampai
kapan?”
“Sampai
Elliza mendapatkan dia dan menjadikan cowok itu teman spesial Elliza!”
Mamanya
geleng-geleng, tetapi tentunya sangat mengerti. Putri tersayangnya yang saat
ini duduk di kelas tiga SMA,
memang belum pernah terdengar dekat sama cowok. Setiap kali Elliza cerita, yang
ia dengar adalah keluhan mengapa Elliza sulit mendapatkan teman cowok yang ia
inginkan. Keputusan melukis wajah-wajah cowok yang ia suka akhirnya menjadi
pilihan. Sebelum Elliza benar-benar mendapatkan cowok yang dilukisnya itu.
Kini,
sudah cukup banyak koleksi lukisan cowok Elliza yang ditempel di dinding
kamarnya. Sekitar tiga belas lukisan! Pertama, lukisan wajah Adrian. Adrian
adalah cowok yang Elliza lukis waktu ia kelas satu. Elliza suka sama Adrian
karena dia pintar main gitar. Sayangnya, Adrian harus pindah ke luar negeri.
Sehingga sebelum Elliza memberikan lukisan itu, Adrian sudah nggak di
sekolahnya lagi.
Lukisan
berikutnya adalah Agus, Pepen, Jave, dan Rae. Keempat cowok itu Elliza lukis
sewaktu ia kelas dua. Keempat cowok itu kakak kelasnya. Mereka anak band
sekolah yang disukai cewek-cewek satu sekolah! Semuanya hanya bisa Elliza
lukis, karena pada akhirnya Elliza tak bisa berharap lebih selain melukis
wajahnya. Sebab, keempat cowok itu udah punya cewek, anak kelas tiga juga!
Lukisan
keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh, kesebelas, dan kedua belas,
adalah lukisan yang Elliza buat saat ia duduk di kelas tiga. Mereka adalah
Dani, Tyo, Andra, Kevin, Arman, Jack, dan Ron. Mereka bukan cuma anak-anak satu
sekolah. Ada yang Elliza kenal di mal, di sebuah pesta temannya, tempat parkir,
atau bioskop. Semuanya cowok bertampang keren, karena semua lukisan yang Elliza
buat memang khusus cowok-cowok bertampang keren. Sayangnya, dari ketujuh cowok
yang dilukis, tak ada satu pun yang berhasil Elliza dapatkan.
Selain
melukisnya, Elliza senang menuliskan nama-nama cowok itu di balik setiap
lukisannya. Dan ia tak pernah lupa dengan nama-nama itu, ka-
rena
sebelum melukis wajahnya, Elliza pasti tau siapa namanya. Kecuali cowok di
taman, yang sore itu tersenyum padanya. Elliza nggak tahu siapa nama cowok yang
baru dilukis itu. Cowok ketiga belas itu masih misterius statusnya.
Rencananya,
sore ini, Elliza akan melintasi taman itu lagi, berharap bertemu cowok yang
telah dilukis wajahnya.Mudah-mudahan,cowok itu duduk-duduk di taman lagi. Dan …
sendirian.
Sayang,
ternyata Elliza tak menemukan cowok itu ketika melintasi taman. Akhirnya, ia
memutuskan duduk di kursi taman yang kosong. Elliza berharap cowok yang udah
dilukis wajahnya itu datang ke taman, lalu duduk di sebelahnya. Akan ia berikan
lukisan itu pada si cowok,berharap bisa mendapatkan cintanya.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, Elliza masih saja duduk
sendirian. Elliza muak sama keadaan ini! Tetapi, ia masih saja duduk di kursi
taman itu, berharap bisa bertemu dengan seseorang yang diharapkan datang.
Satu-dua orang melintasi taman itu, tapi seperti tak peduli dengan keberadaan
Elliza. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Dua
puluh menit sudah ia duduk.Datanglah seseorang, duduk di sebelahnya. Kursi
taman yang panjang itu, kini diduduki oleh dua orang. Kalo nggak salah, yang
duduk di sebelah Elliza itu cewek yang sore itu duduk dengan cowok yang telah
dilukis wajahnya. Elliza mulai berpikir, Apakah cewek yang duduk di sebelahku
ini lagi nunggu seseorang? Atau jangan-jangan, cewek ini emang udah janjian
sama
cowok itu di kursi taman ini?
Tiga
puluh menit sudah Elliza duduk di kursi taman itu, bersebelahan dengan cewek
yang baru duduk sepuluh menit. Keduanya saling diam. Satu, dua orang melintasi
kursi taman itu lagi, dan seperti tak memedulikan keberadaan Elliza dan cewek
itu.
Elliza
pengin nanya sama cewek di sebelahnya, apakah ia kenal sama cowok yang sore itu
duduk di sebelahnya waktu Elliza melintas? Tetapi, Elliza ragu menanyakannya.
Jangan-jangan, cewek di sebelahnya ini memang pacar cowok itu dan sedang
menunggunya. Kalo itu yang terjadi, Elliza bisa malu!
Tiga
puluh lima menit waktu berlalu. Cewek di sebelahnya membuka majalah, lalu
menenggelamkan wajahnya ke cover majalah. Kalo Elliza tampak tegang, cewek itu
biasa-biasa saja. Namun, cewek di sebelahnya sesekali melihat jam
tangan.Setelah itu, kembali sibuk dengan majalahnya. Rupanya, si cewek seperti
nunggu seseorang yang akan menemuinya.
Akhirnya,
Elliza pergi dari taman karena takut kalo cewek itu emang lagi nunggu cowoknya!
Kalo iya, percuma saja Elliza menunggu!
ESOK sore sepulang sekolah, Elliza kembali duduk di kursi taman dan
ingin memastikan apakah cewek yang duduk di kursi taman kemarin, emang
pacar
cowok itu? Kalo iya, ya nggak masalah, tapi kalo bukan, inilah kesempatan!
Elliza udah nyiapin lukisan cowok itu, dan berniat memberikannya.
Tapi,
ya ampun! Ternyata cewek yang kemarin sore duduk di sebelah Elliza, udah lebih
dulu duduk di kursi taman itu! Cewek itu membaca sebuah majalah yang kemarin
Elliza baca.
Elliza
memberanikan diri duduk di sebelah cewek itu walaupun agak takut dan ragu.
Elliza bertekad untuk bertemu cowok itu, meskipun cewek di sebelahnya ini
kekasihnya! Elliza tak mau berharap banyak kecuali ingin berkenalan, dan mau
memberikan lukisan wajah cowok itu.
Sepuluh
menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, Elliza duduk di kursi taman itu.
Bersebelahan dengan seorang cewek yang entah sedang menunggu
siapa.Sebentar-sebentar,cewek di sebelahnya melihat jam tangannya, lalu kembali
sibuk dengan bacaannya.
Lima menit kemudian, cewek itu bangkit dari duduknya, lalu merapikan
majalahnya. Cewek itu seperti hendak meninggalkan kursi taman itu! Sebelum
cewek itu benar-benar pergi, Elliza menahannya.
ŚEee …
hai!”
“Hai
…!”
“Ng …
kamu lagi nunggu siapa?” tanya Elliza akhirnya, masih malu-malu.
“Maaf,
aku nggak nunggu siapa-siapa, kok. Aku emang seneng duduk di kursi taman ini,
sambil baca majalah! Kenapa, ya?”
“Ooh,
maaf…. Ngngng … boleh tanya, nggak?”
“Kayaknya
dari tadi, kamu udah nanya aku, deh?”
“Eee …
hehehe maaf. Aku cuma mau tanya, apakah kamu kenal sama cowok yang pernah duduk
di kursi taman ini tiga atau empat hari yang lalu?”.
Cewek
itu mengernyitkan dahinya, lalu menggeleng. “Maaf, aku nggak pernah merhatiin
siapa aja yang pernah duduk di kursi taman ini. Terlalu banyak orang duduk di
kursi taman ini. Maaf ya, aku harus pulang sekarang!”
“Eh,
tunggu dulu!” Elliza menarik lengan cewek itu. “Tunggu sebentar! Aku akan
mengeuarkan lukisanku dulu. Siapa tahu, kamu … kenal dia?”
Cewek
itu tampak bingung menghadapi sikap Elliza. Sejenak, ia menghela napas,
menunggu Elliza mengeluarkan lukisan dari dalam tas sekolahnya. Lukisan wajah
seorang cowok itu Elliza keluarkan, kemudian menunjukkannya ke cewek itu.
“Kamu
kenal dia?”
Cewek
itu menatap lukisan, lalu beralih ke Elliza. “Maaf, aku nggak kenal. Dan aku
nggak pernah tahu siapa dia! Maaf … aku harus pulang sekarang!”
“Terima
kasih. Maaf mengganggu waktumu.”
Cewek
itu meninggalkan Elliza. Kini,Elliza duduk sendirian di kursi taman, menunggu
siapa tahu cowok yang udah ia lukis wajahnya akan datang. Elliza senang sekali
karena si cewek nggak kenal cowok itu!Elliza bahagia sekali, karena ternyata
cewek yang sering duduk di kursi taman itu bukan kekasih cowok yang udah
dilukis wajahnya!
Elliza
menunggu cowok itu sambil mendekap lukisannya. Satu jam, dua jam, tiga jam, dan
sore pun berubah malam. Ternyata, cowok yang udah dilukis itu tak kunjung
datang.
Elliza
kesal dan muak sama semua ini! Ia banting lukisan dalam dekapannya, lalu pergi
meninggalkan kursi taman itu!
Satu
menit kemudian, seorang cowok melintasi taman itu. Cowok itu terkejut melihat
sebuah lukisan robek teronggok di dekat kursi taman. Meskipun lampu taman agak
meremang, cowok itu bisa dengan jelas melihat lukisan wajah itu. Cowok itu pun
bergumam sendiri, “Hah?! Lukisan siapa ini? Kok … seperti lukisan wajahku?
Siapa yang melukisnya? Indah sekali. Oh, seandainya yang melukis ini seorang
cewek
Cinderella
Jakarta
BAIKLAH, kuharap kalian menikmati cerita ini dengan santai. Siapkanlah
susu atau teh manis sebagai teman untuk kalian membaca. Jangan lupa sepotong
pizza atau boleh juga pisang goreng. Siapa tahu,kalian pengin camilan.Asyik
sekali bukan, membaca sambil menikmati camilan? Yang penting, kalian enjoy,
namun tentu saja, tetaplah berusaha agar tubuh nggak terlalu gemuk!
Berikut
ini akan kuceritakan pada kalian sebuah kisah tentang seorang cewek cantik
namun miskin, yang tinggal di rumah gedongan sebuah pemukiman elite Jakarta. Cewek
cantik itu bernama Tira.
Tira
berumur sekitar enam belas tahun. Cewek lain seusia Tira mungkin lagi menikmati
masa-masa remaja yang indah dengan teman-teman sekolah, atau bisa jadi udah
punya gebetan. Ehm, gebetan …? Nggak pernah terlintas dalam benak Tira,
memiliki seorang kekasih pujaan hati. Mimpi pun barangkali nggak!
Tira
menetap di keluarga pengusaha kaya raya sejak umur tiga belas tahun, yakni
setelah ia lulus SD. Tetangga Tira satu kampung mengajaknya bekerja di Jakarta.
Ketika itu, Tira nggak mikirin apa
pekerjaan
yang akan dikerjakan. Ia hanya ikut-ikutan dan berharap mendapat gaji yang akan
diberikan pada orangtua di kampung seperti teman-temannya yang sudah lebih dulu
bekerja di kota.
Oya,
baiknya kalian tahu dari mana Tira berasal. Tira terlahir di sebuah desa
pesisir utara pulau Jawa, bertetangga dengan sebuah daerah yang dikenal sebagai
lumbung padi. Di desa, keluarga Tira bekerja menanam padi di sawah. Hanya,
sawah-sawah yang ditanami padi itu bukan sawah milik mereka, melainkan milik orang
kota. Tak bisa diceritakan di sini,entah bagaimana caranya keluarga Tira bisa
terbelit utang dan menggadaikan semua sawahnya pada orang kota. Sebenarnya,
bukan cuma keluarga Tira yang mengalami nasib pahit ini. Tetangga-tetangga Tira
pun mengalami hal yang sama. Itulah sebabnya, anak-anak seusia Tira di desanya
pergi ke Jakarta untuk menjadi … seperti yang saat ini lagi dijalani Tira;
Pembantu Rumah Tangga!
Tira
tinggal di rumah Bapak Sasongko Prawiro, seorang pengusaha sukses yang bergerak
di bidang otomotif. Di rumah yang sangat luas dan berasitek-tur indah layaknya
istana kerajaan itu, Bapak Sasongko Prawiro tinggal bersama istrinya.Pak
Sasongko hanya memiliki satu anak yang disekolahkan di Inggris.
Di
rumah Pak Sasongko yang sangat luas itu, meskipun Tira sebagai pembantu rumah
tangga,Tira diperlakukan sangat baik. Bapak dan Ibu Sasongko bahkan menganggap
Tira sebagai putrinya. Bagaimana nggak, Tira itu seorang cewek yang cantik,
berkulit
putih mulus, berbulu mata lentik, beralis bagus, berambut hitam panjang nan
tebal dan indah, pokoknya te-o-pe BGT!
Setiap
kali Bapak dan Ibu Sasongko pergi jalan-jalan ke sebuah tempat, ke hotel atau
mal misalnya, Tira selalu diajak. Kerabat dan partner Pak Sasongko yang
kebetulan sesekali bertemu dengan mereka pasti salah sangka.Mereka menganggap
Tira putrinya Pak Sasongko! Bila mendapat perlakuan seperti itu, Bapak dan Ibu
Sasongko senang dan bahagia. Bagaimana nggak, Tira itu cantik sekali! Bo lehlah
kalo kita sebut Cinderella! Bapak dan Ibu Sasongko nggak merasa malu atau
sungkan bila orang menyangka Tira putri mereka.
SUATU hari ketika musim liburan
tiba, Goena-wan Sasongko, putra semata wayang Pak Sasongko pulang ke Indonesia.
Goenawan yang dipanggil Gun oleh orangtuanya itu adalah cowok tampan, cerdas,
berperangai sopan, dan nggak sombong. Meskipun anak orang kaya, Gun selalu
berpenampilan sederhana. Papanya pernah menghadiahkan Ferari untuk Gun, tetapi
tak pernah mau disentuhnya.
Gun
bilang, “Aku nggak enak pakai Ferari di Jakarta. Masa sih, setiap lampu merah,
harus membuka jendela untuk memberi recehan pada penga-
men dan
pengemis …T’
Orangtuanya
hanya tersenyum mendengar alasan putra kesayangannya tidak mau menggunakan
mobil pemberiannya. Ketika di Jakarta, Gun hanya memakai mobil yang cukup
sederhana.
Orangtua
Gun senang sekali menyambutnya di bandara. Gun pun bahagia sekali bisa kembali
berkumpul dengan kedua orangtuanya. Ketika tiba di bandara, Gun langsung
memeluk papa dan mamanya secara bergantian. Dan ketika melihat Tira yang
menemani mereka, Gun terkejut.
Gun
bertanya, “Pa Mam Who is she?”
Papa
dan mamanya hanya tersenyum, lalu mamanya memperkenalkan Tira.
“Oya,
sorry Mama belum cerita. Ini Tira, pembantu kita yang menggantikan Mbok Nah.
Dia sudah tinggal di rumah kita sejak kamu berangkat, lho!”
Gun tersenyum
ramah dan terlihat menaruh hormat pada cewek yang baru dikenalnya itu, meskipun
ia hanyalah seorang pembantu.
Setelah
itu, papa dan mamanya mengajak Gun menuju mobil. Pak Samson, sopir pribadi Pak
Sasongko, membawa koper dan barang-barang milik Gun. Tira membantu membawa satu
buah koper.
Ketika
Tira tengah menarik koper itu, Gun mencegahnya.
“Ini
berat sekali. Biar aku aja yang bawa!” ujar Gun setengah berteriak.
Tira
pun tersenyum dan bilang, “Nggak apa-apa, biar aku bawa. Udah biasa, kok!”
“Biar
saja, Nak Gun! Tira itu anaknya kuat lho …?!” kata Pak Samson, sambil terus
meng-ikuti langkah Pak Sasongko dan istrinya menuju mobil.
Tira
akhirnya menarik koper itu dengan sangat antusias. Gun hanya bisa memandangi
apa yang dilakukan Tira, sambil teus memerhatikannya. Gun merasakan dadanya
bergetar ….
SETELAH menjemput Gun di
bandara,malamnya Tira merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya.Tira tak
mampu memejamkan matanya. Mendadak di kepalanya selalu terbayang senyum Gun
tadi siang! Oh, apakah aku jatuh hati sama anak majikan ?
DI
kamarnya, Gun merenung dan tak mampu melepaskan sosok Tira walaupun sekejap.
Baru pertama melihatnya, Gun langsung merasa tertarik sama Tira. Sejujurnya Gun
akui, baru pertama kali dalam hidupnya, bertemu dengan cewek seperti yang
selama ini diimpi-impikan.Ternyata,cewek itu tinggal di rumah sendiri!
Tetapi,
kenapa cewek itu harus pembantu?
WAKTU terus berjalan. Sudah
seminggu Gun tinggal di Jakarta. Selama seminggu itu, Gun selalu memerhatikan
gerak-gerik Tira. Melihat cara Tira mengepel lantai.Mengintip cara Tira
menyetrika baju -baju.Melihat dari jauh Tira menyiram bunga-bunga di halaman.
Gun
benar-benar jatuh hati pada Tira! Begitupula sebaliknya, Tira merasa
bersemangat sekali bekerja di rumah majikannya. Apalagi ketika diperintah untuk
melayani Gun. Mencarikan sepatu yang akan dipakai Gun. Mengambilkan buku dari
ruang perpustakaan untuk Gun baca. Membawa makanan untuk Gun. Tira suka sekali
bisa bersama-sama Gun.
Tetapi,
Tira selalu menyadarkan dirinya, mem-buang jauh-jauh pikiran yang melesat-lesat
di kepalanya, bahwa ia benar-benar sangat menyukai Gun! Sedapat mungkin, Tira
mengenyahkan pikiran yang bersarang dibenaknya!
Aku ini
siapa? Gun adalah anak majikanku yang kaya raya. Sedangkan aku, cuma … seorang
cewek kampung yang miskin!
SINGKAT cerita, kedekatan antara
Gun dengan Tira akhirnya diketahui oleh Pak Sasongko dan istrinya. Kedua
orangtua Gun telah mendengar kabar dari Angelina yang sudah lama berharap
menjadi istri Gun kelak bahwa Gun seringkah mengajak Tira
si
pembokat itu jalan ke luar rumah. Ke mal, ke bioskop, dan ke tempat-tempat
lainnya.
Angelina
putri kolega Pak Sasongko berhubungan dengan Gun sejak Gun masih di Jakarta,
meskipun sebenarnya Gun nggak memiliki perasaan cinta sedikitpun terhadapnya.
Angelina sangat geram setiap kali ingin bertemu Gun, sementara Gun malah ingin
bersama dengan pembantunya!
Akhirnya,
pada suatu hari, Angelina yang berada di rumah Pak Sasongko memanggil Tira
menghadap mereka.
“Tira,
seharusnya kamu nyadar diri dan ngaca, dong! Kamu itu siapa?! Kamu pikir,
selama ini bapak sama ibu nggak tahu ya, kalo kamu sering berduaan ke luar
rumah bareng Gun?!” sewot Angelina dengan sorot mata penuh kebencian.
“Tapi …
walaupun aku keluar rumah, semua pekerjaan udah aku selesaikan seperti biasanya?”
“Bukan
itu maksudnya! Posisi kamu di rumah ini cuma pembantu! Kamu nggak pantas jalan
berdua sama Tuan Gun!”
“Iya,
Ra. Mulai sekarang, bapak dan Ibu berharap kamu nggak lagi berdua-duaan dengan
Gun. Mengerti kamu?!” tegas Bu Sasongko.
“Baik
Pa, Bu. Aku berjanji nggak akan lagi pergi sama Gun.”
Sejak
saat itu, Tira selalu menolak kalo Gun mengajaknya pergi.Namun,Tira tak mau
memberikan alasannya.
Gun
jadi bingung.
KEMUDIAN, Tira merasa tersiksa tinggal di rumah majikannya. Apalagi
setiap kali Tira melihat sepatu hak tinggi dan gaun indah yang dibelikan Gun,
yang rencananya akan ia pakai jalan-jalan bareng Gun. Pergi berduaan dengan
Gun, kini hanyalah menjadi mimpi belaka. Sebab, Tira udah janji sama
majikannya, bahwa ia nggak mau lagi jalan bareng Gun.
Suatu
hari, akhirnya Gun mengetahui kenapa Tira selalu menolak setiap ajakannya. Gun
marah sama Angelina, dan bilang kalo Angelina nggak berhak ngelarang ia pergi
sama siapa pun. Gun juga menjelaskan seluruh kegundahan pada orangtua-nya.
Tentu aja hal itu membuat mama dan papanya marah besar.
“Gun,
Papa dan mama menyekolahkan kamu jauh-jauh ke Inggris untuk menjadi orang
pintar! Menjadi seseorang yang disegani. Kamu adalah pewaris Papa dan mama yang
mulai beranjak tua ini. Sudah sepantasnya kalau kamu mulai berpikir serius
untuk mencari siapa cewek yang akan menjadi istrimu kelak. Kami telah sepakat
dengan keluarga Angelina, agar kalian menjadi akrab dan melanjutkan hubungan
yang lebih serius. Jadi, untuk apa kamu deket sama pembantu kita itu?!” bentak
papa Gun.
“Maaf,
Pa, Ma, bila kata-kata Gun ini menyakiti perasaan Papa sama Mama. Aku ingin
berterus terang, kalo hubunganku sama Tira nggak main-main. Sedangkan dengan
Angelina, Gun nggak punya perasaan cinta sedikitpun! Dan, Gun merasa menemukan
cewek yang selama ini Gun impi-impikan. Cewek itu adalah … Tira!”
“APA KAMU BILANG?!” Papa dan
mamanya terkejut.
“Ya,
Gun merasa mencintai Tira dengan sepenuh hati dan jiwa,” tambah Gun.
“Dasar,
kamu anak keras kepala dan tak tahu balas budi!” papa dan mama Gun marah besar.
Kemarahan itu nggak hanya dilampiaskan pada Gun putra semata wayangnya, namun
juga pada Tira. Hingga puncaknya, mereka mengusir Tira dari rumah. Sementara
Gun, kembali dikirim ke Inggris.
Duh,
cerita ini kayaknya semakin seru aja! Gimana susu atau teh manisnya? Gimana
pizza atau mungkin pisang goreng yang tadi kamu siapin? Cobalah nikmatin dulu,
sebelum membaca kelanjutan cerita ini. Aku sendiri lagi menikmati sebatang
cokelat yang tadi aku beli,sebelum melanjutkan mengetik kalimat berikut-nya.
Hmmm …
asyik banget cokelatnya f
Akhirnya,
Tira meninggalkan rumah majikannya yang luar biasa megah itu menuju rumahnya
yang sederhana di kampung. Ketika keluarganya bertanya mengapa ia pulang, Tira
menjawab kalo ia sengaja berhenti karena majikannya pindah.
Setelah
kembali tinggal di rumahnya, Tira tak
pernah
bisa melupakan Gun. Setiap malam, Tira memandangi gaun indah dan sepatu hak
tinggi pemberian Gun. Tira ingat, ketika membeli gaun indah dan sepatu hak
tinggi itu, Gun bilang kalo ia ingin sekali mengajak Tira jalan-jalan dengan
mengenakan gaun indah dan sepatu hak tinggi itu. Tira jadi cantik seperti putri
Cinderella!
Mengingat
semua itu, Tira hanya bisa menangis. Ya, Tira sering menangis sendirian.Ketika
salah satu keluarganya memergoki Tira sedang menangis, mereka menanyakan kenapa
Tira menangis. Tira menjawab, kalo dirinya menangis karena kehilangan
pekerjaan.
SEMINGGU kemudian, kampung Tira
menjadi ramai. Serombongan anak berlarian mengikuti sebuah Ferari merah
menya-la. Sedan itu menuju rumah Tira! Pak Samson, si pengemudi Ferari itu,
tersenyum ke arah Tira yang berdiri kebi-ngungan di depan rumahnya. Kebetulan
sekali, hari itu Tira sedang mencoba-coba gaun dan sepatu hak tinggi pemberian
Gun. Dan Tira nggak sengaja memakainya sampai ke halaman rumahnya yang lumayan
becek ketika sedan Ferari itu tiba.
Beberapa
saat kemudian,seorang cowok turun dari dalam Ferari, membawa setangkai bunga
dan
memberikannya
pada Tira.
“Untuk
apa kamu ke sini? Bukankah kamu lagi di Inggris?”
Gun
menggeleng. “Aku sengaja ke sini mau ngajak kamu jalan-jalan. Asal kamu tau,
sebelumnya aku nggak pernah naik mobilku ini. Aku ingin jalan-jalan sama kamu
dengan mobil ini.”
“Tapi
….”
“Sudahlah!
Kamu jangan pikirin papa sama mama. Mereka nggak tau. Tenang aja, Pak Samson
nggak bakalan ngasih tau, deh!”
“Tapi
….”
Gun
mengajak Tira naik Ferari miliknya. Entah bagaimana perasaan Tira saat itu,
antara takut dan senang jadi satu.
Dan
maafkanlah aku, karena cerita ini harus berakhir sampai di sini.Aku nggak akan
melanjutkannya, karena aku harus mengha-biskan dua batang cokelat yang belum ku
nikmati ini.
Unjuk
Rasa
SUDAH tiga hari, murid-murid SMA 1973 nggak masuk kelas.
Hampir semua murid melakukan aksi unjuk rasa. Mereka menuntut Dewan Sekolah
yang dianggap mengeluarkan keputusan sepihak. Dewan Sekolah menaikan SPP, tanpa kesepakatan orangtua siswa.
“Ini
namanya kesewenang-wenangan!” protes Winy, dengan lantang.
“Bener,
Win! Kita harus meluruskannya!”sambar Nien, tak kalah semangat.
“Kalo
perlu, kita demo setiap hari sampai mereka mendengar protes kita!” Hilna
menam-bahkan.
“Benar!
Jangan berhenti demo, sebelum Dewan Sekolah menarik keputusannya!” seru Ajeng
dengan tangan terkepal.
“Menurutku
… lebih baik kita masuk aja. Kita kan, masih sanggup membayar kenaikan SPP itu. Kalo kita demo terus,
nanti kita semua akan ketinggalan pelajaran.”Eugina justru menentang, membuat
rekan-rekannya marah.
“Gin!
Kalo elo mau masuk, masuk aja sendiri!”
“Tau
nih anak! Nggak solider amat, sih!”
“Kita
memang mampu membayar kenaikkan
SPP itu. Tapi, cara mereka yang kita sesalkan!”
“Selain
itu, nggak semua murid di sekolah ini mampu. Iya, nggak?!”
“BENER!!!”
Eugina
tak berkutik. Ia manut pada kesepakatan teman-temannya, melakukan protes
terhadap keputusan Dewan Sekolah.
“Kalo
kamu nggak mau ikut unjuk rasa ini,nggak apa-apa, Gin!” ujar Winy, dengan
tampang asem.
“Iya
Win, apalah artinya satu suara, dibandingin dengan hampir seluruh siswa di
sekolah ini!”
“Ini
jelas menandakan siapa sebenarnya siswa yang nggak punya rasa peduli terhadap
siswa lainnya.”
Eugina
semakin terkucil. “Oke, deh! Gue minta maaf.Gue akan ikut kalian berdemo!”
Eugina akhirnya luluh juga. Sohib-sohib-nya memeluk Eugina, menandakan bahwa
mereka memang kompak.
Sejak
saat itu, Eugina selalu ikutan unjuk rasa, menuntut agar Dewan Sekolah membatalkan
keputusannya. Bahkan, karena takut dibilang setengah-setengah, justru Eugina
yang menjadi juru bicara dalam setiap unjuk rasa. Dan terus terang aja, Eugina
emang ahli bicara. Eugina adalah salah satu siswa pemenang lomba pidato antar
sekolah tingkat provinsi! Selain itu, Eugina juga beberapa kali menjadi juara
lomba debat!
“Dewan
Sekolah jangan hanya memikirkan diri sendiri. Setiap keputusan hendaknya
mendapat kesepakatan para orangtua siswa! Apalagi negara kita
belum
terbebas dari krisis. Sehingga, nggak semua orangtua mampu membiayai
anak-anaknya sekolah. Jangan menambah beban mereka dengan kenaikan yang belum
begitu perlu. Aku melihat, alasan Dewan Sekolah menaikkan SPP demi kemajuan sekolah ini
nggak relevan. Karena tanpa menaikkan SPP pun,
kita bisa memajukan sekolah ini, yakni dengan cara menunjukkan prestasi setiap
siswa. Dan, ini masih terus berlangsung hingga kini, tanpa ada embel-embel
kenaikan. Menyangkut biaya pembangunan sekolah, baik berupa pembangunan
gedung-gedung tambahan maupun perawatan, bukankah sudah berjalan? Seluruh biaya
pembangunan sekolah sudah dipungut dari biaya pendaftaran siswa-siswa baru.
Ditambah lagi dengan biaya para donatur dari orangtua siswa yang mampu! Jadi,
buat apa Dewan Sekolah menaikkan SPP?!”
Demikian
kata-kata Eugina, yang disambut riuh tepuk tangan oleh siswa-siswi yang
berunjuk rasa.
“Gila
si Gin-Gin, keren abiiis …!”
“Dia
bener-bener all out"
“Iya,
ya?! Ternyata, dia serius ikutan unjuk rasa ini!”
Sohib-sohib
Eugina bangga padanya.
Diam-diam,
ada seorang cowok bernama Seno yang memerhatikan Eugina. Dia adalah cowok yang
selama ini menjadi perhatian Eugina dan teman-temannya. Siapa sih, cewek-cewek
di SMA 1973
yang tak kenal Seno? Seno yang tajir tapi pendiam, dan terkenal sangat rendah
hati. Meskipun Seno siswa baru, tuh cowok udah ngerebut perhatian
cewek-cewek
di 1973.
Seusai
unjuk rasa di hari yang ketujuh itu, Seno mendatangi Eugina.
“Hai!”
Eugina
mendadak sesak napas ketika makhluk bernama Seno itu menyapanya. “Hai!” Eugina
membalas sapaan.
“Gue
Seno! Gue seneng banget denger pidato unjuk rasa elo! Hebat!”
“Ya.”
“Boleh
kenalan, nggak?”
“Ya.”
Eugina masih belum bisa bicara apa-apa. Di sudut lain,sohib-sohib Eugina
melihat keberadaan Seno.
“Weits!
Itu si Seno, kan?” “Eh, lagi ngapain tuh cowok?” “Kayaknya … serius banget!”
“Datengin, yuk …!” “Ssst … ntar aja.”
Keempat
sohib Eugina mengintip di sudut koridor sekolah. Seno dan Eugina duduk di
bangku depan kelas, membicarakan tentang unjuk rasa.
“Aku
bangga sama kamu, karena kamu cewek yang cerdas dan tegas,” puji Seno sambil
terus memerhatikan Eugina.
“Ya.”
“Nggak
semua cewek, atau mungkin cowok sekalipun, yang bisa bicara begitu lancar di
depan umum seperti kamu, Gin!” tambah Seno.
“Ya.”
Eugina masih belum bisa berkata-kata.
“Oke,
deh! Gue cabut ke kelas dulu, Gin!”
“Ya.”
Seno
meninggalkan kelas Eugina. Keempat sohib Eugina langsung menghambur
mengerubutinya. Mereka memberikan ucapan selamat pada Eugina, karena didatangi
Seno!
“Gimana
perasaan elo didatengin Seno?”
“Gin-Gin,
tau nggak, tiap malem gue mimpiin dia! Taunya dia caper ke elo!”
“Iya,
Gin! Nggak percuma elo jadi juru bicara unjuk rasa sekolah kita, sampai bikin
cowok kayak Seno merhatiin elo!”
“Selamat
ya, Gin!”
Eugina
cuma senyum-senyum. Ia nggak nge-rasa tersanjung sama pujian
sohib-sohibnya.Sebab, Eugina masih saja memikirkan, mengapa di depan Seno tadi
ia hanya bisa bilang, “Ya.”
Di hari
yang kesepuluh, unjuk rasa semakin meriah. Karena Dewan Sekolah masih belum
memberikan keputusan, seluruh siswa SMA 1973
tetap bersikukuh nggak mau mengikuti pelajaran di sekolah.
Sejumlah
wartawan mendatangi sekolah. Rupanya, para kuli disket baru mengetahui unjuk
rasa itu, setelah mendapat bocoran dari beberapa orangtua murid yang mengaku
resah karena proses belajar anak-anak mereka terganggu.Bahkan, sejumlah orangtua
murid ada yang akhirnya ikut berunjuk rasa. Tak ketinggalan,akhirnya sejumlah
stasiun televisi swasta meliput unjuk rasa ini.
Eugina
dipercaya menjadi juru bicara oleh para siswa SMA 1973. Karena sejak hari
keempat, dialah
yang
menjadi andalan para pengunjuk rasa. Bicaranya cerdas dan tegas. Ia tak pernah
kehabisan kata-kata. Saat para wartawan datang, Eugina yang menjadi sorotan.
“Sebenarnya,
kami nggak menginginkan unjuk rasa ini. Bisa Anda bayangkan, tak akan ada asap
kalo nggak ada api. Benar, kan? Jadi, unjuk rasa ini terjadi hingga
berlarut-larut seperti sekarang, disebabkan karena Dewan Sekolah seperti nggak
mau kompromi!”
“Dewan
Sekolah merasa kecewa pada siswa, karena unjuk rasa ini mencoreng nama SMA 1973. Mereka beranggapan,
kenaikan SPP itu dilakukan
demi kemajuan sekolah. Bagaimana menurut komentar Anda?”
“Sampai
kapan unjuk rasa ini berlangsung?” “Apakah kalian nggak merasa rugi bila setiap
hari seperti ini?”
Para
wartawan media cetak maupun media elektronik, membombardir Eugina dengan rentetan
pertanyaan.
Dengan
tenang, Eugina menjawab, “Maaf, Bapak-Bapak. Satu-satu, ya! Begini …. Kami
rasa, kekecewaan Dewan Sekolah nggak berdasar sama sekali. Kenapa mereka mesti
kecewa? Yang seharusnya kecewa adalah kami, para siswa. Kenapa Dewan Sekolah harus
menaikkan SPP tanpa
lebih dulu berunding dengan orangtua murid? Dan, kami pikir alasan menaikkan SPP untuk memajukan sekolah
ini cuma isapan jempol belaka! Tanpa harus menaikkan SPP, sekolah ini tetap maju! Dan kalo
Bapak-Bapak
bertanya sampai kapan kami berunjuk rasa, kami menjawab; sampai Dewan Sekolah
mau membatalkan keputusan mereka! Kalopun mereka memaksa untuk tetap pada
keputusan itu, mereka harus lebih dulu membawa masalah ini ke dalam rapat
orangtua murid dan Dewan Sekolah! Sudah, ya! Aku rasa cukup. Makasih,
Bapak-Bapak.”
“Maaf,
pertanyaan aku belum dijawab.”
“Yang
mana?”
“Ini,
eee … apakah kalian nggak rugi bila setiap hari seperti ini?”
“Sejujurnya
kami akui, kami merasa rugi nggak melakukan proses belajar mengajar seperti
biasanya.Namun,satu hal yang perlu Bapak-Bapak catat, bahwa tindakan yang kami
lakukan ini pun sebenarnya sebuah pembelajaran! Mengapa aku katakan begitu?
Tindakan melawan kesewenang-wenangan terhadap pihak yang berkuasa itu memang
seharusnya dilakukan! Ini sebagai bekal kami, sebagai siswa yang nantinya jadi
mahasiswa! Apakah Anda lupa, siapa yang menggerakkan roda reformasi di negeri
ini? Apakah Anda, para wartawan? Atau, Bapak-Bapak yang duduk di gedung wakil
rakyat? Tentu semua masih ingat, bahwa mahasiswa lah yang menjadi penggeraknya!
Dan Anda, para wartawan, yang membantu menuliskannya di media!”
Semua
yang hadir manggut-manggut. Satu, dua wartawan geleng-geleng kepala. Mereka
agak takjub pada kata-kata seorang siswi yang menjadi juru bicara unjuk rasa
sekolah. Lebih-lebih sohib-sohib Eugina, yang merasa sangat bangga pada
sahabatnya.
Tak ketinggalan, Seno yang selalu me-luangakan perhatiannya, menjadi semakin
tertarik pada Eugina!
Keesokan
harinya, Dewan Sekolah bersedia berunding dengan para siswa dan sejumlah orang
tua murid. Perundingan itu memutuskan bahwa kenaikan SPP ditunda dalam waktu yang
nggak terbatas. Dikemudian hari akan dibicarakan lagi, pada rapat antara Dewan
Sekolah dan para orangtua murid.
Kontan,
murid-murid seisi sekolah bergembira menyambutnya. Terlebih, beberapa siswa
yang merasa keberatan karena ortu mereka orang nggak mampu. Kegembiraan mereka
dilampiaskan pada Eugina, yang menjadi juru bicara andalan selama unjuk rasa
berlangsung.
“Gue
nggak bakalan melupakan kejadian ini,Gin! Gue bangga punya temen cewek yang
pinter ngo-mong kayak elo! Gue berdoa, semoga suatu saat elo jadi presiden!”
“Gin!
Elo potensial banget jadi politikus!”
“Makasih.
Jangan terlalu berlebihan. Ini semua berkat kerja sama kita semua!”
Sohib-sohib
Eugina nggak kalah senangnya. Mereka bangga sekali pada Eugina. Dan … seorang
cowok pun datang memberikan selamat pada Eugina. Siapa lagi kalo bukan … Seno!
Ketika
Seno datang, sohib-sohib Eugina menyingkir.
“Gin,
selamat, ya! Oya, waktu liat kamu di berita teve semalem, gue nonton sama
bonyok gue!
Mereka
juga terkagum-kagum lho, sama kamu!” “Ya.”
“Sekali
lagi, selamat!”
Setelah
itu, Seno pergi. Sohib-sohib Eugina kembali mengerubuti Eugina. Mereka memberi
selamat pada Eugina, karena Seno kelihatannya “ada hati” pada Eugina. Tapi,
Eugina ternyata nggak sesenang yang sohib-sohibnya kira. Eugina masih saja tak
percaya, bahwa dirinya yang juara lomba pidato dan kampiun debat itu, yang
menjadi juru bicara unjuk rasa sekolahnya, ternyata selalu menjadi seperti
orang gagu di depan Seno. Di hadapan Seno, Eugina hanya bisa bilang, “Ya”.
Nggak lebih dari itu!
Cewek
yang Menunggu Pelangi
SEJAK siang hingga menjelang
sore, cewek itu duduk di beranda belakang rumahnya yang menjorok ke pantai.
Aku
ingin tahu kenapa di waktu yang sama, ia selalu berada di sana, seperti tengah
menanti seseorang yang udah sekian lama nggak datang-datang. Dan bila hari
berubah gelap, ia kembali masuk ke rumah, dengan raut wajah kelam.
Setelah
kutanyakan pada salah seorang tetanggaku, barulah kuketahui. Ternyata, cewek
itu gagal melihat pelangi!
Oh,
rupanya cewek itu menunggu pelangi. Kenapa cewek itu selalu menunggu datangnya
pelangi?
Maka
pada suatu sore yang mendung, saat awan hitam berarak bergerak menutupi
sebagian langit,aku bermaksud mendatanginya untuk sekadar berkenalan. Aku sudah
lama menanti saat yang tepat untuk lebih mengenalnya, ketimbang harus tanya
sana sini seperti yang selama ini kulakukan.
Namun
sebelum niatku terlaksana, gerimis terlanjur pecah. Titik-titik air tumpah dari
langit, meskipun pada saat yang bersamaan matahari dari
arah
barat menyibak awan. Pada saat yang bersamaan pula, lamat-lamat kudapati
segores cahaya menghias ujung langit. Cahayanya indah berwarna merah, kuning,
dan hijau. Itulah warna pelangi.
Dari
kejauhan, kulihat cewek itu tersenyum di beranda belakang rumahnya, menikmati
apa yang ditatapnya. Begitu cantiknya ia, manakala senyumnya mengembang.
Sepertinya, kerinduan yang selama ini terpendam, terobati sudah. Oh, dunia ini
seolah miliknya!
Aku
yang bermaksud mendekatinya untuk berkenalan, terpaksa menahan diri. Aku nggak
mau mengganggu keasyikan cewek itu menikmati pelangi.
DI
siang yang lain, saat cuaca cerah, kucoba untuk kembali mendekatinya. Aku ingin
menemui cewek itu di beranda rumahnya. Sebagai tetangga barunya, bukan alasan
yang dibuat-buat bila aku memperkenalkan diri. Siapa tahu, dia bersedia jadi
sahabatku. Sebab sejak tinggal di daerah ini, aku belum memiliki seorang teman
yang seumuran denganku.
Tetapi,
sebelum aku berhadap-hadapan dengannya, seorang cowok lebih dulu datang ke
beranda itu, dan terlibat pembicaraan serius dengan sang cewek. Cowok itu cukup
tampan. Tubuhnya proporsional bak seorang atlet. Ia datang membawa setangkai
bunga melati. Aku hanya bisa mengintipnya
dari
balik bilik beranda samping rumahku.
Aku
melihat cowok itu memperlihatkan keakraban, mengajak si cewek bicara. Si cowok
tampak begitu antusias. Namun, cewek itu tak menunjukkan rasa
senangnya.Kukira,cewek itu nggak terlalu suka dengan si cowok. Hal itu ia
tunjukkan dengan wajahnya yang selalu memberengut, sepanjang bersama-sama si
cowok.
Beberapa
saat kemudian, si cowok pergi me ninggalkan si cewek. Dan si cewek tampak
senang melepas kepergian cowok keren itu. Aku nggak tahu kenapa cewek itu
terlihat nggak suka sama kedatangan cowok itu. Aku jadi khawatir mendapat
perlakuan yang sama kalo mau kenalan sama dia. Aku takut cewek itu ngerasa
keganggu sama kehadiranku.
Siang
itu, kembali kutanyakan tentang cewek itu pada orang yang udah lama tinggal di
sekitar kediamanku.Aku terpaksa nggak menanyai langsung cewek itu, karena
alasan tadi. Dengan orang yang kutanyai ini, kebetulan aku udah sangat akrab.
Dia Pak Koko Nata, seorang nelayan tua bermata sipit yang ramah, yang namanya
seperti orang Jepang. Pak Koko Nata berasal dari Palembang.
“Kamu
beruntung bisa melihat cewek itu. Cantik, kan?” puji Pak Koko Nata.
“Bukan
masalah cantik atau nggak, Pak. Aku hanya bingung pada apa yang ia lakukan
setiap siang menjelang sore.” “Maksud kamu?”
“Kenapa
dia selalu berada di beranda belakang
rumahnya?”
“Udah
Bapak bilang,kalo dia sedang menung-gu pelangi!”
Aku
menghela napas. Aku masih nggak habis pikir tentang cewek itu.
“Ya!
Cewek itu menyukai pelangi!” ulang Pak Koko Nata.
“Jadi,
setiap sore dia akan berada di beranda belakang rumahnya, hanya untuk melihat
pela-ngi?!”
“Sepertinya
begitu! Lagi pula, dia nggak setiap hari tinggal di rumahnya. Hanya waktu
liburan, seperti saat ini.”
“Lho?!
Jadi, sebenarnya dia nggak menetap di rumah itu?”
“Cewek
itu tinggal dan sekolah di Jakarta.”
“Bapak
tahu siapa namanya?”
“Eee …
aku tahu, nama cewek itu Elliza. Coba kamu tanyakan sendiri.”
KALO benar cewek bernama Elliza itu tinggal di daerah ini hanya pada
waktu liburan, berarti waktu yang kumiliki untuk bisa mendekatinya hanya
tersisa sehari.Besok bisa dipastikan Elliza akan bersiap-siap kembali ke
Jakarta karena waktu liburan udah habis.
Aku pun
bersiap-siap berangkat ke Jakarta, untuk mencari sekolah baru. Ayahku memang
menginginkan aku bersekolah di Jakarta, meski pun beliau ditugaskan di daerah,
tempat aku berada kini. Di
Jakarta,
aku bisa menumpang di rumah paman. Setelah tinggal dan sekolah di sana, mungkin
aku baru pulang ke rumah ini hanya pada waktu liburan atau di akhir pekan.
Sebelum
terlambat, baiknya kudatangi cewek itu, yang siang ini tengah asyik duduk di
beranda belakang rumahnya. Aku berharap, mudah-mudahan dia mau menerima
kedatanganku.
Tetapi
sebelum kulangkahkan kaki, seorang cowok yang kemarin membawa bunga datang
lagi. Cowok keren itu datang membawa bunga lain, yang warnanya berbeda. Dan si
cewek seperti biasa, mengacuhkan kedatangannya. Hingga akhirnya si cowok pergi
meninggalkannya.
Bersamaan
dengan kepergian si cowok, aku berjalan melintasi beranda rumahnya.Cuaca saat
itu mendung. Aku sengaja nggak mampir ke berandanya, melainkan berjalan ke arah
pantai. Kurasa aku tengah melakukan trik 1001 cara menaklukan cewek, yang
pernah kubaca di sebuah buku. Aku mencuri perhatian cewek itu, menyukai apa
yang disukai si cewek. Yup!
Aku
terus berjalan hingga ke bibir pantai. Aku sengaja nggak menoleh ke belakang,
pura-pura tidak peduli sama keberadaan cewek itu. Aku berharap cewek itu
melihatku.
Aku
duduk pada sebuah batu karang yang mulai tersentuh oleh deburan ombak. Laut
hampir pasang. Kulihat guntur membelah langit, memercik seperti las listrik.
Gerimis perlahan tumpah membasahi tanah. Aku segera berlari ke arah pohon
kelapa
yang
daunnya nggak terlalu tinggi, berteduh di sana.
Ketika
tubuhku udah merasa aman di bawah pohon kelapa, tiba-tiba gerimis berhenti.
Matahari perlahan menyembul dari balik awan hitam. Aku kembali ke batu karang
semula. Dan sialnya, pada saat pantatku menyentuh batu karang itu, gerimis
kembali tumpah ruah. Gerimis datang meskipun sang surya bercahaya terang. Dan
secara bersamaan, terlihatlah pelangi.
Aku
kembali berlari untuk berteduh. Tapi, aku ragu melangkah ke pohon kelapa itu,
karena seseorang telah berada di sana, duduk menengadahkan wajahnya ke pojok
langit. Dia, cewek itu, tengah menatap pelangi!
Kupikir
ini kesempatan. Aku tak akan merasa malu untuk berteduh di bawah pohon kelapa
itu.Aku udah lebih dulu berada di sana, sebelum ia datang. Menyesal aku telah
meninggalkan pohon kelapa itu ketika gerimis berhenti. Harusnya, aku ada di
sana sebelum dia tiba. Kukuatkan hati untuk berteduh di dekatnya!
“Boleh
numpang berteduh?” tanyaku pada cewek itu, dan langsung disambut dengan
senyuman. “Silakan.”
Aku
berdiri di sebelahnya, kemudian melirik sekilas, mendapati keceriaan wajahnya
yang antusias menatap pelangi. Aku ingin berbasa-basi, tapi takut menganggu.
Apakah aku harus selamanya berdiam seperti ini? Tuhan menciptakan mulut untuk
bicara, bukan untuk makan saja. Kenapa aku jadi seperti kura-kura?
“Indah
sekali, ya, pelangi itu?!” akhirnya, keluar juga kata-kata dari mulutku. “Ya,
ya … indah.” “Kamu suka pelangi?”
“Suka
sekali! Kamu?”cewek itu menatapku. Bulu matanya yang lentik seolah
menarik-narik bola mataku. Duh, begitu teduhnya tatapan itu.
Aku tak
kuasa berkata-kata, takjub pada tatapannya.Aku hanya mengangguk pelan,lalu
kembali memandang pelangi. Ketika pandanganku tegak lurus menikmati
pelangi,cewek itu menatap wajahku lama sekali.Aku tahu karena aku nggak
benar-benar menatap pelangi.
“Kenapa
kamu suka pelangi?”tanyaku kemudian.
“Karena
pelangi tak pernah bohong.”
“Cuma
itu?”
“Karena
pelangi selalu setia.” “O, ya?”
“Dan
pelangi selalu bisa menyejukan suasana hati. Kalo kamu, kenapa suka pelangi?”
cewek itu balik bertanya.
“Aku
…?”
“Ya,
kamu? Kenapa kamu suka pelangi?”
“Karena
aku sungguh bingung dibuatnya. Kenapa aku suka pelangi, ya? Uh, aku nggak
pernah berpikir tentang pelangi sebelum ini. Aku jarang sekali melihat pelangi.
Selama di Jakarta, aku nggak pernah menyaksikan pelangi. Lagi pula, untuk apa?
“Kok,
diem …?”
“Kenapa
aku suka pelangi … karena ….” Pikiranku kembali buntu, namun terbersit masa
kanak-kanak,saat
kudengar lagu pelangi menga-lun, “Peiangi-peiangi … alangkah indahmu … merah
kuning hijau, di langit yang biru setelah itu,
kembali
buntu!
“Boleh
aku jujur sama kamu, kenapa aku suka pelangi?” kataku kemudian, membuat raut
wajahnya berubah. Mungkin tumbuh rasa ingin tahu yang berkecamuk di benaknya.
“Ya,
kamu memang harus jujur.”
“Aku
suka pelangi … karena … keindahannya.” Begitulah yang kukatakan padanya, hingga
senyumnya tiba-tiba merekah.
“Aku
baru menemukan cowok romantis kayak kamu,” ucapnya sambil tersipu.
“Maksud
kamu?”
“Aku
nggak pernah menemukan cowok yang menyukai pelangi kayak kamu.” “Begitu, ya?!”
Cewek itu tersenyum. “Oya, boleh aku tahu nama kamu …?” Lalu, aku menyebutkan
nama. Dan bilang padanya, “Kamu pasti Elliza?”
“Kok
kamu tahu nama aku?” Aku tersenyum. Elliza geleng-geleng kepala.
SEJAK saat itu, nggak bisa
nggak, aku menyukai pelangi. Dan saat tinggal di Jakarta, aku selalu mencari
pelangi. Kalo rindu sama Elliza, dan Elliza
ternyata
sedang sibuk, pelangi-lah yang kucari.
Seringkah
aku menunggu pelangi, namun nggak pernah menemukannya. Aku jadi bingung,
mengapa di Jakarta sulit sekali menemukan pelangi? Apakah karena Jakarta selalu
terang benderang oleh lampu-lampu gedung-gedung bertingkat, sehingga membuat
pelangi tak mau menunjukkan dirinya.
Aku
jadi kangen pulang ke rumah di bibir pantai itu, mengajak Elliza untuk
bersama-sama melihat pelangi di sana.
Cowok
Yang
Menakutkan
TRISTAN selalu bikin masalah.
Kalo nggak nyindir-nyindir, ada aja yang dia lakuin. Mendenguslah, mendehemlah,
bersiul-siul sok merdulah, atau cekikikan dengan anak-anak cowok lain. Jadinya,
lama-lama tuh cowok jadi menakutkan!
“Hm,
boleh juga tuh sepatu?! Warnanya ngej-reng amat! Jadi kayak kue lapis bikinan
nyokap gue! Hahaha …!” itulah komentar Tristan, waktu gue pake sepatu pink yang
baru gue beli di sebuah mal.
“Eh,
tumben nih … roknya agak tinggian? Jadi kayak Britney habis kecebur di kali!
Hahaha …!” ini komentar dia waktu gue habis latihan cheers.
“Wuah,
rambutnya diponi ni, yee …! Hihihi lumayan buat ngelindungi muka kalo turun
hujan!” ini komentar waktu Tristan ketemu gue di deket kantin.
Itu
belum seberapa. Malah ada lagi yang lebih nyeremin. Tau nggak, Tristan pernah
bilang, “Dhini, mending elo ikutan casting aja, biar bisa gantiin Mpok Ati.
Lumayan tau, peran jadi ibu-ibu sekarang lagi banyak dibutuhin rumah pro-duksi!
Hihihi …!”
“Dhini,
elo kok, cemberut aja kalo lewat di depan gue? Mending manis! Bibir elo tuh,
udah ka-
yak
dompet tanggung bulan! Hahaha .,,!”
“Dhini!
Kalo dipikir-pikir, elo cakep juga. Sayang, gue nggak pikirin!”
Tuh, nyebelin
nggak, sih?! Untung cowok yang namanya Tristan cuma satu di sekolah gue. Coba
kalo ada tiga Tristan. Bisa ko’it gue!
Sebenernya,
gue pengin ngedamprat dia kalo lagi jahil sama gue. Tapi, gue nggak berani.
Temen-temen gue malah ngasih selamat ke gue, atas perlakuan si tengik Tristan
sama gue.
“Elo
beruntung, Dhin! Tristan tuh setau gue, anaknya pendiam!” kata Chacha, yang
ngaku sering banget merhatiin Tristan kalo upacara bendera.
“Gue
nggak percaya kalo Tristan begitu sama elo! Anaknya kan, cool banget!” Agni
malah memuji.
“Gue
tuh mimpi banget digodain Tristan! Sumpeh, deh!” ucap Bunga berapi-api.
Audi
lain lagi. Dia malah bilang, “Tristan?! Dia itu cowok dambaan gue!”
Huaaah,
bener-bener membingungkan!
Sewaktu
curhat sama nyokap, beliau malah ceramah tentang masa remajanya. “Dhini, dulu
di sekolah Mami juga ada cowok yang ngeselin banget! Anaknya suka jahil. Mami
sebel banget sama cowok itu. Tapi lama-lama, Mami suka sama dia. Nggak tau
kenapa? Tau nggak, cowok itu siapa? Dia itu papi kamu! Hihihi …!”
“Oh,
jadi papi itu dulunya sengak juga ya?!”
“Bukan
sengak lagi! Tapi ngeselin, sok, tengil, berlagak, perlente, sirik, dengki …
cumaaa … dia
dulunya
ganteng, lho!”
“Uh,
Mami kenapa mau sama cowok tengil jahil kayak papi, sih?”
“Buktinya,
ternyata papi orangnya baik banget. Iya, kan?!”
“Iya
juga, siiih
EMANG gue akui, Tristan itu
cowok yang keren dan lumayan tajir. Kebisaannya banyak. Dan kata anak-anak di
kelasnya, dia termasuk anak pinter. Tapi … kok, kelakuannya ama gue begitu, ya?
Kenapa, ya? Apa mungkin karena selama ini gue nggak pernah marah diperlakukan
begitu sama dia? Apa gue mesti melawannya?
Oke,
mulai besok, gue nggak bakal menghindar lagi kalo ketemu dia. Gue nggak takut
lagi! Gue ba-kalan ngedamprat dia, kalo dia kurang ajar lagi sama gue! Gue
bakalan marah habis-habisan!
Keesokan
harinya, gue mencari-cari di mana Tristan berada.Gue sengaja mau lewat di depan
dia. Gue mau cari gara-gara! Gue udah panas banget kalo inget dia. Selama ini,
boleh aja dia nginjek-nginjek gue. Sekarang nggak boleh lagi! Cowok kayak
Tristan musti dikasih pelajaran. Musti digecek! Kalo perlu ditumbuk halus,
diberi sedikit lada, dicampur garem, dikasih cabe rawit, ditaburin cuka, terus
disiram pake air panas seratus delapan puluh derajat selsius!!!
“Liat
Trsitan, nggak?” tanya gue ke salah satu cowok yang biasa nongkrong sama
Tristan.
“Belum
liat, tuh. Kenapa? Kangen, ya?”
Busyet!
Kangen? Gila aja kangen sama cowok kayak Tristan?
“Eh,
jangan macem-macem,ya! Liat nggak, lo?!”
“Bujug,
Non, galak amat?! Nggak liat!”
“Bilang
dong, dari tadi!” Ya, ampun! Ternyata gue galak juga, ya? Tristan nggak
berhasil gue temukan. Ke mana ya, tuh cowok? Jangan-jangan, dia udah punya
firasat, kalo pagi ini gue mau melabraknya!
Hari
ini, Tristan nggak masuk. Kata salah satu temen sekelasnya waktu gue interogasi
Tristan sakit.
ŤSt
KEESOKAN harinya, Tristan masih
belum masuk juga. Begitupun hari-hari berikutnya. Hingga seminggu lamanya,
Tristan nggak masuk sekolah. Lama-lama, kemarahan gue jadi surut.
Sejak
Tristan nggak masuk, nggak ada lagi cowok yang jahil sama gue. Nggak ada yang
sirik, dengki, macem-macem, ngeledekin, nyeletuk, atau apalah. Gue bener-bener
terbebas dari godaan makhluk menyebalkan seperti si Tristan itu.
Sepuluh
hari kemudian, gue ngeliat Tristan di depan kelasnya sendirian. Dia tampak
segar bugar. Nggak ada kesan bahwa dia habis sakit. Malahan,
bisa
dibilang tuh anak tambah manis aja! Ups, kok, gue jadi muji-muji si Brengsek,
ya?!
Kayaknya,
gue mesti lewat di depan dia. Gue pengin tau, apakah dia jahil sama gue kayak biasanya
atau udah berubah?
Gue pun
melintas di depan Tristan. Dan ternyata … dia cuek aja!
Gue
jadi penasaran. Gue mampir ke kantin. Pesen jus alpukat. Habis itu, gue balik
lagi ke kelas, lewat ke kelasnya Tristan. Pas mau lewat kelasnya, Tristan
keluar kelas, berpapasan ama gue. Tapi, dia cuek aja!
Kok,
dia cuek aja?!
SEJAK kejadian hari itu, gue
jadi sering melamun. Kenapa cowok bernama Tristan yang sengak dan tengil itu
nggak lagi ngeganggu gue? Apakah dia udah menyadari kesalahannya? Atau
jangan-jangan, mungkin karena penyakit yang dideritanya. Dia kan, nggak masuk
sekolah karena sakit. Karena sakitnya itulah dia jadi nyadar. Nggak mau
ngego-dain gue lagi. Begitu kali, ya?
Hm, gue
jadi penasaran. Besok,gue mau lewat di depan Tristan lagi. Gue mau ngepang
rambut. Dulu, dia pernah ngomentarin rambut gue. Dia pernah bilang kalo rambut
gue sebaiknya ditutupin topi, biar enak diliat. Tapi, topinya topi proyek!
(Yang kayak helm itu, lho!). Ugh!
Nah,
kalo sekarang gue lewat di depan dia pake rambut kepang dua, siapa tau dia
jahil lagi, ngatain rambut kepang gue? Nggak dimacem-mace-min aja dia jahil,
apalagi … dikepang dua begini! Yup! Gue coba.
Pas jam
istirahat, rambut gue minta dikepang dua sama Audi. Gue mau melintas di depan
Tristan dengan rambut kepang dua. Pasti, dia bakalan nyin-dir gue.
Ternyata
… udah susah payah dikepang dua dan dikasih pita segala, Tristan cuek-cuek aja!
Malahan, kayaknya dia nggak terpengaruh sama keberadaan gue! Sial!
Gue
semakin penasaran! Gue coba ngegulung tangan baju seragam. Dulu, gue pernah
dibilang preman terminal waktu tangan baju seragam gue nggak sengaja terlipat.
Hm, gue coba, deh.
Ternyata
… Tristan cuek aja!!!
Kenapa,
ya?! Apakah Tristan udah ngeiupain
gue?!
Waduh,
kenapa justru sekarang gue jadi inget terus sama Tristan?!
“Mami
bilang juga apa? Kalo kamu digodain cowok, nggak usah ditanggepin. Apalagi
dipikirin! Nanti, lama-lama kamu bisa seneng sama dia,” ucap mami waktu gue
curhat.
“Ah,
Mami. Siapa sih, yang seneng sama dia?! Dhini cuma penasaran. Kenapa dia jadi
berubah.”
“Itu
bagus, kan?” tanya mami.
“Bagus
sih, bagus … tapi, apa dong, penyebabnya?”
“Kenapa
tanya Mami? Tanya dong, sama anaknya langsung!”
“Hah?!
Tanya sama Tristan?! Amit-amit, deh!” “Jangan begitu, dia itu temen kamu juga!”
“Iya juga, sih.”
Besoknya,
gue harus tanya langsung, kenapa Tristan berbuat begini sama gue. Kenapa
kemarin-kemarin itu dia sok tengil sama gue.
Tibalah
saatnya gue ketemu Tristan di depan lapangan upacara bendera. Gue sengaja
ngedate-ngin dia pas latihan basket.
“Tan,
gue mau ngomong sama elo!” teriak gue keras.Tristan tampak sok bego.Dia cuma
menunjuk-nunjuk dadanya.
“Iya,
sama elo! Gue mau ngomong!” Tristan pun nyamperin gue. Tapi sewaktu dia jalan
ke arah gue, kakinya tersandung. Dia nyaris jatuh dan kelihatan culun dan lucu.
Gue sempet senyam-senyum, tapi langsung ditahan. Nanti jadi nggak keliatan
gahar lagi di depan dia.
“Ada
apa?” tanya Tristan dengan ramah sekali.
“Gue
mau ngomong sama elo, bisa?!”
“Kayaknya
nggak bisa sekarang, deh. Gue lagi latihan.”
“Kapan
bisanya?”
“Kalo ntar,
gimana?”
“Habis
latihan?”
“Ya.
Tapi, gue latihannya sampe sore. Elo tunggu gue, gimana?”
Gimana,
ya? Gue jadi bingung, nih! Ya, daripada terus penasaran, gue tunggu aja, deh.
Lagian,
kalo gue maksa ngomong di pinggir lapangan, ntar dikira gue keganjenan ngobrol
sama dia.
“Oke,
gue tunggu!”
“Ya,
udah. Gue latihan dulu, ya?”
Gila
tuh anak! Kok, sopan banget, ya?
Akhirnya,
gue nunggu Tristan latihan. Temen-temen gue pulang lebih dulu. Boleh jadi,
karena hari Sabtu. Mereka pasti pada pengin cepet-cepet pulang.
Kok,
gue jadi nunggu Tristan, ya?
Selesai
latihan, Tristan langsung ngajak gue pulang.
“Boleh
nggak, gue nganter elo pulang?” ucap Tristan, sebelum gue berkata-kata.
“Hah?!
Berani-beraninya elo nganter gue pulang?!”
“Kalo
elo mau
“Udah,
jangan pura-pura jadi orang baik, deh! Gue mau ngomong, nih!”
“Ngomong
aja … mau ngomong apa, sih?” Gue dan Tristan berhadap-hadapan. Sorot matanya
begitu tajam. Gue jadi bingung mau ngomong apa, saking silau sama tatapannya.
“Udah,
ngomong aja!”
Tiba-tiba,
gue lupa mau ngomong apa!
“Ya,
udah. Ngomongnya ntar aja. Sekarang udah hampir gelap. Gue anter elo pulang,
ya?” usul Tristan, lalu berjalan ke halaman parkir sekolah.
Gue
nurut sama kata-katanya. Gue terus aja ngikutin ke mana langkahnya. Sampai dia
nyuruh
gue
masuk ke mobilnya. Dan gue diem aja sampai mobil jalan, dia cengar-cengir
sendirian.
“Tadi,
katanya mau ngomong. Udah, ngomong aja!” Tristan mendesak gue lagi.
Gue
bingung mau ngomong apa. Terus terang aja, gue suka dia jadi berubah baik.
“Huh,
bilang aja pengin dianterin pulangiNggak usah pake alesan mau ngomong segala.”
“TRISTAN!”
Mata
gue melotot. Tapi, Tristan malah senyam-senyum. Gue luluh sama senyumnya yang
manis itu. Siaaal …!
Bekas
Koreng
DUA benci banget sama bekas koreng yang ada di kedua lututnya.
Pasalnya, ia jadi nggak berani pakai rok pendek lagi ke sekolah. Selama ini,
Dita selalu pakai rok yang tingginya di atas lutut. Tapi setelah ada bekas
korengnya itu, ia jadi nggak pede lagi pake rok pendek!
Bekas
koreng itu sangat jelas terlihat ketika lututnya terbuka. Bentuknya bulat
sebesar telur puyuh, melingkar pas di bagian depan tempurung kedua lututnya.
Hal itu terjadi akibat Dita jatuh dari sepeda waktu boncengan sama Pepen. Dita
jatuh dengan posisi lutut membentur tanah aspal kompleks perumahan. Kedua
lututnya berdarah hingga lama kelamaan jadi koreng.
Salah
Dita sendiri yang menyebabkan luka di kedua lututnya itu jadi koreng. Saat Dita
jatuh dari sepeda, ia nggak bilang papa-mama. Alasannya takut, sebab papa dan
mama pernah melarang Dita boncengan sepeda sama Pepen. Sepeda cowok yang Dita
taksir itu nggak ada jok belakangnya. Dita sering boncengan sama Pepen, berdiri
pada besi yang dipasang di bagian tengah ban belakang sepeda itu.
Peristiwa
malang itu terjadi waktu Pepen mengayuh sepedanya kencang-kencang, dan lupa
mengerem saat melintasi “polisi tidur”. Hal itu menyebabkan ban depan sepeda
terangkat, lalu Dita terpelanting ke belakang, terjatuh dengan posisi kedua
lutut membentur aspal!
Berhari-hari
Dita menutupi kedua lututnya dari papa dan mama. Begitupula terhadap
teman-teman di sekolah. Setiap hari, Dita memakai rok panjang untuk menutupi
lukanya. Dita hanya mengobatinya dengan plester dan obat merah. Namun suatu
malam, mamanya mendengar rintihan Dita di kamar. Mama masuk dan memergoki Dita
tengah membuka plester yang menutupi lukanya. Luka di kedua lutut itu bukannya
sembuh, tetapi malah menjadi koreng!
Malam
itu juga,mama dan papa membawa Dita ke dokter. Menurut dokter, luka Dita
mengalami infeksi. Tetapi, dokter bisa menanganinya, Dita diberi obat
secukupnya dan disarankan istirahat di rumah dulu sebelum luka itu sembuh. Dita
pun izin nggak masuk sekolah. Karena nggak masuk sekolah, akhirnya teman-teman
dekatnya jadi tahu kalo Dita korengan.
Setelah
tiga hari nggak masuk sekolah,luka itu mengering. Dan Dita senang bukan main
karena nggak merasakan nyeri lagi. Hanya,luka itu membekas. Menurut dokter, hal
itu terjadi karena luka itu tadinya telah jadi koreng!
Karena
bekas koreng itulah, Dita jadi nggak berani pakai rok pendek ke sekolah. Ia malu
kalo semua temannya melihat bekas koreng. Sementara
itu,
kalo pakai rok panjang terus, Dita juga merasa jengah. Jengah pada
teman-temannya yang biasa melihat Dita pakai rok yang panjangnya di atas lutut.
Jadi serba salah!
“Kamu
kan, bisa pake rok panjang, Ta,” nasihat mamanya, waktu Dita mengeluh soal
bekas koreng yang masih sangat kentara di kedua lutut-nya itu.
“Malu
sama temen-temen, Ma. Nanti diledekin
lagi!”
“Masa
sih, orang pake rok panjang diledekin?!” “Bener lho, Ma. Kalo Dita pake rok
panjang terus, dikiranya kaki Dita masih korengan!” “Terus gimana, dong?!”
“Mungkin
Dita perlu operasi plastik. Biar bekas korengnya nggak kelihatan lagi!”
“Operasi
plastik?!” Mama terbengong-bengong mendengar Dita mengusulkan operasi plastik.
Jelas aja mama jadi mendadak terbengong-bengong kare na biaya operasi pasti
mahal. “Apa nggak ada jalan lain, Ta? Apa nggak nunggu hilang sendiri aja?!”
“Kalo
bisa hilang! Kalo nggak bisa? Apa Dita harus seumur-umur pake rok panjang?!”
“Cewek
yang selalu pake rok panjang belum tentu lebih jelek dari cewek yang pake rok
pendek, Dita! Apalagi anak sekolahan!”
“Uh,
bilang aja Mama nggak sayang Dita lagi!”
“Dita!
Kok, kamu ngomong begitu?”
“Mama
sih, nggak pernah mau serius nolongin Dita. Bujuk papa, kek!”
“Ya
udah. Nanti Mama bujuk papa buat
mengoperasi
plastik kedua lututmu, biar bekas korengnya nggak kelihatan lagi!” “Nah! Gitu,
dong!”
TERNYATA, papa nggak setuju kalo Dita harus operasi plastik segala. Papa
justru menyarankan agar Dita bersabar. Kata papa, seperti kata mama tempo hari,
bekas koreng yang tumbuh di kedua lututnya bisa hilang sendiri.
“Kalo
nggak diobatin mana bisa hilang, Pa?!” protes Dita, dengan mulut manyun.
“Papa
juga dulunya sering korengan di lutut. Nih, lihat lutut Papa! Waktu seumuran
kamu, papa masuk tim sepak bola, jadi penjaga gawang. Papa sering jatuh hingga
lutut Papa sering luka. Dulunya juga pernah korengan kayak lutut kamu. Tapi,
lama kelamaan hilang sendiri!Nih,lihat!”Papa menunjukkan lututnya pada Dita.
“Ih,
lutut Papa kan, item! Lagian, Kaki Papa banyak bulunya! Jadi nggak keliatan
bekas korengnya! Kalo lutut Dita putih mulus, Pa! Dan nggak ada bulunya! Pasti
bekas korengnya nggak bakalan bisa ilang!”
“Waduh,
Ta! Kamu kok, menghina Papa, sih?! Ya udah, deh! Yang jelas,Papa belum punya
uang buat biaya operasi lutut kamu! Papa sarankan, kamu cari dulu obat-obat
murah, lotion atau apa kek, yang bisa menghilangkan bekas koreng itu!”
“Iya,
Ta. Mending kita cari cara lain dulu sebelum dioperasi! Dan sebelum bekas
koreng itu benar-benar hilang, kamu pakai rok panjang dulu!”
Dita
nggak menjawab, tapi cuma cemberut. Abis, mau gimana lagi kalo papa diam, mama
nggak punya uang buat operasi lutut itu. Akhirnya, ia menghubungi
sahabat-sahabat dekatnya, siapa tahu bisa mencarikan jalan keluar.
“Gue
rasa, mama-papa elo bener, Ta. Sebaiknya, elo berobat luar dulu, daripada
mikirin biaya operasi yang pasti mahal itu,” saran Titi.
“Bener,
Ta! Nanti kita cari di apotek aja, siapa tau ada obat yang bisa menghilangkan
bekas koreng elo,” ujar yang lain.
“Minum
suplemen bervitamin E aja, Ta!” tambah yang lainnya lagi.
SETELAH keluar masuk apotek,
ternyata Dita nggak nemuin obat yang mujarab buat musnahin bekas koreng
terkutuk itu dari kedua lututnya. Dita sungguh merasa tersiksa lahir batin
karena ulah bekas koreng itu. Sepertinya,memang nggak ada jalan lain kecuali
operasi plastik! Uh, kalo aja papa dan mama mau membiayainya.
Karena
bekas koreng itu belum juga hilang, akhirnya Dita selalu pakai rok panjang.
Dita pernah mencoba pakai rok pendek. Tetapi, setiap kali ia melihat bekas
koreng itu, ia segera menggantinya
lagi
dengan rok panjang. Rasanya bener-bener jelek kedua lututnya ini,yang keduanya
dihiasi oleh bekas koreng.
Dita
jadi nggak pernah lagi mengikuti kegiatan-kegiatan di luar sekolah sejak ia
pake rok panjang. Ia enggan ikut cheerleader lagi dan menolak setiap anak-anak
mengajaknya ke pesta.Ia malu nongkrong di mal seperti dulu. Karena menurutnya,
memakai rok panjang itu kayak dandanan ibu-ibu arisan yang pakai kain dan
kebaya! Dengan begitu, Dita nggak lagi berpikir tentang cowok.
Menurutnya,
tak ada lagi cowok-cowok keren suka padanya. Sebab, meskipun Dita lumayan
manis, ia punya bekas koreng di kedua lututnya. Termasuk Pepen, cowok
sekompleks yang udah jarang main lagi bersamanya. Mungkin Pepen tahu kalo lutut
Dita pernah korengan?Wah,nggak bertanggung jawab amat tuh cowok!
Tetapi
ternyata, Dita ngerasa terheran-heran ketika suatu hari mendapat sepucuk surat
di kolong mejanya. Apalagi surat itu dari Acid! Siapa sih, yang nggak kenal
Acid, jagoan nge-band di sekolahnya?! Yang kalo udah nyanyi, suaranya bisa
bikin penonton cewek berteriak-teriak his-teris!
“Gue
rasa, Acid emang ada hati ke elo, Ta!” ujar Titi, saat mendengar cerita Dita.
“Soalnya, Acid sering nitip salam lewat gue!”
“Ah,
masa?! Kok, elo nggak pernah cerita?”
“Abis,
gue juga suka sama Acid!”
“Ya
udah, elo ambil aja!”
“Eits,
bentar dulu, Ta!” Titi menarik lengan Dita
yang
ngambek itu. “Sekarang, gue sadar, Ta. Kalo Acid itu lebih suka sama elo
daripada gue. Seperti yang ada di surat elo itu. Acid suka sama cewek yang pake
rok panjang kayak elo. Dan dia justru benci sama cewek yang pake rok mini kayak
gue! Uh, sebel! Kalo tau begitu, gue pasti selalu pake rok panjang terus!”
“Ya
udah, Ti! Elo pake rok panjang terus aja kayak gue!”
“Udah
terlambat, Ta! Nanti dikiranya gue pake rok panjang gara-gara Acid, lagi!”
“Tapi,
Acid tau nggak ya, kalo gue pake rok panjang karena punya bekas koreng di kedua
lutut gue?!”
“Wah,
gue nggak tau!”
“Kalo
dia tau, gimana?!”
“Elo
jujur aja!”
Akhirnya,
Dita emang bener-bener jujur ketika ketemu Acid. Dan ternyata, di luar dugaan
Dita,Acid nggak peduli apakah lutut Dita ada bekas korenga-nya apa nggak.Sebab
Acid bilang,Dita tetep terlihat manis di matanya, meskipun apakah ia pernah
korengan apa nggak!
Uh,
akhirnya Dita sangat bersyukur pernah memiliki koreng. Sebab, kalo nggak pernah
korengan dan akhirnya berbekas, belum tentu Dita punya te-men cowok sebaik dan
se-oke Acid. Kalo dulunya Dita nggak punya bekas koreng, belum tentu Dita
selalu pake rok panjang ke sekolah!
Pada
akhirnya, setelah sering jalan bareng pas pulang sekolah, Dita dan Acid jadian.
Dita seneng
bukan
main. Ia pun menceritakan sama papa dan mamanya. Dan bisa diduga, papa dan
mamanya nggak setuju!
Papa
dan mama yang sekarang ini udah punya dana buat ngoperasi bekas koreng kedua
lutut Dita itu, nggak rela Dita punya pacar. Mereka membujuk Dita buat mutusin
hubungan.Sebagai imbalan, bekas koreng kedua lututnya itu akan dioperasi
plastik!
“Dita
udah nggak butuh lagi operasi-operasian, Pa, Ma!”
“Kamu
nggak nyesel?!”
“Nggak,
Ma!”
“Ya
udah! Kamu boleh berteman dekat dengan cowok, tapi harus hati-hati!”
“Iya,
Pa! Tenang! Nanti, Dita ngenalin Acid ke Papa dan Mama!”
Mendengar
penjelasan Dita, papa dan mama nyerah. Namun, papa dan mama nggak ngerti
mengapa tiba-tiba Dita berubah pikiran. Menga-pa Dita nggak mau dioperasi
seperti yang pernah ia inginkan.
“Jadi,
elo nggak mau bekas koreng di kedua lutut elo diilangin, Ta?!”
“Bukannya
nggak mau, Ti! Nih, elo liat sendiri!” Dita membuka rok panjangnya hingga ke
atas lutut.Ternyata … kedua lututnya yang bagus … nggak ada bekas korengnya
lagi. Lututnya mulus seperti nggak pernah korengan!
“HAH!
Bekas koreng elo udah nggak ada! Kok, papa sama mama elo nggak tau?!”
“Ssst!
Yang tau cuma elo dan Acid, ya! Nanti kalo Acid dateng ke rumah, baru gue kasih
tau
mereka.
Biar surprise]”
“Terus,
elo kok, nggak pake rok pendek lagi?!”
“Nggak,
ah!”
“Pasti
karena Acid, ya?!”
“Nggak
juga! Acid juga suka kok, gue pake rok pendek. Asal nggak kependekan. Dan,
sebenernya justru Acid yang nganter gue ke dokter spesialis kulit waktu gue
terus terang ke dia, kalo gue punya bekas koreng!”
“Hah?!
Beruntung banget elo punya koreng.”
“Hus!”
“Eh,
maksud gue … punya cowok care kayak Acid!”
“Ini
kan, yang disebut hikmah, Ti! Acid bilang, setiap apa yang terjadi menimpa
kita, meskipun musibah sekalipun,pasti ada hikmahnya! Gue bersyukur banget
pernah punya koreng di kedua lutut gue!”
“Aaah
mau dong, punya koreng!”
“Hus!
Apa-apaan, sih?! Punya koreng tuh nggak enak, tau!”
“Iya!
Gue cuma bercanda. Sekarang, gue ngerti. Gue yang pernah sombong karena nggak
pernah punya koreng kayak elo, ternyata nggak lebih beruntung dari elo!”
Ojek
Cewek
DPA yang bisa dilakukan cewek sebatangkara yang nggak punya lagi
sanak saudara? Apakah harus mengemis? Apakah harus merengek-rengek minta tolong
pada orang-orang yang ditemuinya? Atau, datang ke yayasan untuk sekadar
mendapat bantuan dana?
Nggak.
Tatu nggak mau melakukan itu semua. Tatu adalah seorang cewek yang kuat. Tatu
yang sempat menangis bermalam-malam karena teman, kerabat, dan seluruh
keluarganya tewas secara mengenaskan di Aceh itu, tetap sabar dan tabah
menjalani hidup. Tatu harus bisa survive.
SIANG cukup terik. Tatu pulang
dari sekolah dengan perut kosong. Nggak ada uang sepeser pun yang tersisa di
rumah kosnya. Mestinya, hari ini kiriman wesel dari Aceh udah tiba. Seharusnya,
semuanya baik-baik saja kalo gempa dan gelombang tsunami enggak
meluluhlantahkan rumah keluarganya di Banda Aceh.
Di
tempat kosnya ini, Tatu nggak tinggal sendirian. Tatu yang sekolah di sebuah SMA di pinggiran Jakarta,
ikut keluarga kakaknya. Namun, kakak dan istri serta anak-anaknya saat ini
tengah berkunjung ke Aceh menengok keluarga besar yang jadi korban tsunami.
Tatu
kini sendirian dan nggak ikut sama kakaknya pulang ke Aceh, karena Tatu nggak
ingin bolos sekolah. Lagi pula,kakak Tatu berjanji nggak lama di Aceh,nggak
lebih dari dua minggu. Dan yang terjadi, hingga saat ini Tatu nggak pernah
dapat kabar dari kakaknya, ataupun keluarga lainnya. Sejak sambungan
telekomunikasi diberitakan terputus, Tatu nggak pernah mendapat kabar apa pun.
Dan kini, semuanya udah jelas.Tatu nggak bakalan dapat kabar dari keluarganya.
Tatu bisa lihat sendiri melalui televisi, kalo daerah tempat rumahnya berada,
kini udah rata dengan tanah.
Siang
ini, Tatu harus mengisi perutnya. Tatu udah mempersiapkan segala sesuatunya
untuk bisa bertahan hidup. Kakak Tatu memiliki sepeda motor. Tatu jago naik
sepeda motor dan mau coba jadi pe-ngojek motor buat cari uang, buat nyambung
hidup. Caranya gampang,Tatu ikut mangkal di tempat ojek!
Apakah
bisa?
Selama
ini, memang nggak pernah ada cewek jadi tukang ojek motor di daerah tempat
tinggalnya. Dan Tatu sebenarnya nggak mau membuat sejarah. Tatu nggak mau
disebut sebagai cewek yang memelopori pengojek cewek. Makanya, Tatu memutuskan
akan merombak penampilannya jadi cowok!
Nggak
susah bagi Tatu. Tatu punya jaket dan topi serta kacamata hitam yang bisa
menipu mata calon penumpang. Tatu adalah cewek Aceh yang kulitnya lumayan
gelap. Wajahnya nggak secantik Cut Tary, atau Cut-Cut artis lainnya. Boleh
dibilang, Tatu memang lebih mirip cewek kelahiran Jawa. Bisa jadi, karena ayah
Tatu yang pensiunan tentara itu emang orang Jawa yang menikah dengan cewek
Aceh.Gen ayah lebih kuat dari ibu. Tatu pun terlahir sebagai blasteran
Jawa-Aceh.
Selama
ini, Tatu nggak pernah mengeluh kalo dirinya nggak secantik teman-temannya,
atau artis sinetron Aceh yang cantik-cantik itu. Dan saat ini, Tatu justru
bersyukur pada Tuhan, karena dikarunia bentuk serta raut wajah seperti yang
kini dimilikinya. Penyamaran yang Tatu lakukan akan berjalan dengan baik dan
lancar.Tatu akan menjadi pengojek dengan penampilan cowok.
.
NGGAK akan ada orang lain yang
tau siapa Tatu, kecuali Pak Anggoro. Pak Anggoro adalah lelaki tua yang udah
lebih dari sepuluh tahun menjadi tukang ojek. Pak Anggoro tinggal nggak jauh
dari rumah kos kakak Tatu. Tatu udah bilang ke Pak Anggoro, kalo ia mau ngojek.
Pak Anggoro nggak percaya apa yang dikatakan Tatu. Dan tentu saja, Pak Anggoro
nggak pernah nyadar kalo Tatu itu cewek Aceh yang keluarganya habis diterjang
gem-
pa dan
gelombang tsunami.
“Nak
Tatu mau ngojek? Mana mungkin bisa? Nak Tatu kan, perempuan …?” ujar Pak
Anggoro, ketika Tatu mengutarakan isi hatinya.
“Tatu
bisa kok, Pak. Ngojek itu kan, yang penting bisa naik motor. Dan aku juga bisa.
Bapak lihat sendiri, gimana aku naik sepeda motor?”
“Ya.
Bapak sering lihat kamu naik sepeda motor. Tapi
“Udahlah
… aku bisa kok, ngubah penampilan jadi laki-laki. Itu masalah kecil.” “Tapi
“Bapak
nggak usah khawatir. Yang penting, aku diberi kesempatan untuk ikut ngojek di
pangkalan.”
Pak
Anggoro menatap wajah Tatu dengan luar biasa herannya. Pak Anggoro seperti
nggak ngerti kenapa Tatu begitu memaksakan diri untuk bisa menjadi tukang ojek
seperti dirinya.Hingga akhirnya, Pak Anggoro jadi merasa kasihan melihat Tatu.
“Kalo
kamu butuh uang, Bapak mau kok, minja-min uang.”
“Aku
nggak mau menyusahkan Bapak.”
“Kalo
cuma buat makan sih, Bapak punya. Memangnya, saudara-saudara kamu pada ke mana?
Kayaknya, beberapa hari ini Bapak nggak melihat orang-orang yang tinggal bareng
kamu.”
Tatu
jadi gugup mendengar pertanyaan Pak Anggoro. Tatu takut Pak Anggoro tahu kalo
dirinya anak Aceh yang seluruh keluarganya telah musnah.
“Pak
Anggoro tahu, kalo saya dan kakak saya itu pendatang baru di daerah ini. Nah, sekarang
ini
kakak
saya sedang ke rumah famili di Sumatra. Kalo kakak saya kembali, saya juga
nggak mau menjadi tukang ojek. Pasti kakak saya marah besar.”
“Ke
mana kakak kamu? Ke Sumatra?”
Tatu
mengangguk pelan. Setelah itu, Tatu menunduk.
Pak
Anggoro kembali berkata, “Mudah-mudahan bukan ke Aceh atau ke Sumatra Utara
yang kena musibah itu. Baiklah, kalo kamu ngotot mau ngojek, silakan. Tapi
ingat ya, kamu harus ngubah penampilan seperti laki-laki. Ya udah, Bapak ke
pangkalan dulu. Nanti, kamu nyusul saja! Kalo ada apa-apa, bilang,Pak Anggoro
yang punya pangkalan ojek!”
Tatu
mengangguk. Tak terasa, air mata haru tumpah ke pipinya.Tatu segera melangkah
ke kosan sambil melap air matanya. Ia akan merombak penampilannya menjadi
cowok.
Di
kamar kosnya, Tatu menatap dirinya di cermin.
“Aku
ini cewek Aceh! Aku harus kuat.Aku harus seperti Cut Nyak Dhien! Harus setegar
Cut Meutia! Aku nggak mau jadi cewek Aceh yang lemah! Aku nggak mau
ngemis-ngemis sama orang lain. Beruntung kakak punya sepeda motor. Aku siap
mencari rezeki yang udah di-siapin Tuhan.”
Memang,
jalan satu-satunya bagi Tatu adalah menjadi tukang ojek. Semua makanan dan
minuman yang ada dikosannya udah ia habiskan. Tatu nggak mau menjual
barang-barang yang ada di rumah kos kakaknya. Sebab, Tatu merasa bertangung
jawab
menjaga
barang-barang ini, dan masih memiliki harapan, kelak kakaknya akan pulang
membawa seluruh keluarga,datang dari Aceh berkunjung ke rumah kos di pinggiran
Jakarta. Tatu pun berharap semua orang yakin kalo keluarganya bukanlah orang GAM. Sehingga, nggak harus repot-repot mendapat pemeriksaan di
perbatasan, seperti yang selama ini dikeluhkan keluarganya.
Tatu
udah siap bertempur di pangkalan ojek. Jilbabnya udah tertutup rapi oleh topi.
Setelah itu, ditindih dengan helm. Karena Tatu anak baru di sekolahnya, mungkin
juga nggak akan ada seorang anak pun yang menyangka ada anak cewek jadi tukang
ojek!
Setelah
selesai menghias penampilan wajah, Tatu mengambil jaket kakak laki-lakinya.
Lalu, memakainya dengan kerah dibiarkan berdiri. Sepatu kets dan celana jins
yang kebesaran pun dikenakannya. Jadilah Tatu sebagai tukang ojek yang siap
menarik penumpang.
Tatu
bergegas menghidupkan sepeda motor. Dan berangkatlah ia mencari uang.Tiba di
pangkalan ojek langsung bertemu dengan Pak Anggoro. Kalo bukan Tatu yang
menegur lebih dulu, Pak Anggoro enggak akan mengenali. Sebab, penampilan Tatu
benar-benar seperti tukang ojek kebanyakan.
“Kamu
….” Pak Anggoro geleng-geleng kepala. “Kamu bener-bener luar biasa. Bapak jadi
ingat sama pahlawan-pahlawan perempuan tem-po dulu!”
Tatu
cuma tersenyum.
Beberapa
saat kemudian, tukang ojek lainnya
mengerubuti
Tatu dan Pak Anggoro. Pak Anggoro pun mengenalkan Tatu pada semua tukang ojek
sebagai keponakannya. Tukang ojek itu mengangguk-angguk mengerti meskipun
mungkin merasa keberatan karena ada saingan baru.
SETENGAH hari Tatu ngojek. Tatu
bersyukur karena bisa membawa cukup banyak penumpang. Di antara
penumpang-penumpang itu, Tatu menarik penumpang yang tak lain teman sekolahnya,
dan ada juga gurunya.
Mereka
nggak mengenali Tatu! Ini benar-benar luar biasa. Ternyata, doa Tatu dikabulkan
Tuhan. Tatu memang berharap semua orang, kecuali Pak Anggoro, nggak mengenali
dirinya.
“Gimana,
Nak … lumayan hasil ngojeknya?” “Alhamdulillah, ini semua berkat bantuan Pak
Anggoro.”
“Kalo
kamu masih mau ngojek, besok kamu bisa ngojek lagi.” “Boleh?”
“Ya,
boleh! Yang penting, sekolah kamu nggak keganggu.”
Sepulang
ngojek, Tatu mampir di tempat makan. Di tempat makan itu ada televisi.
Kebetulan, menyiarkan tentang gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di Aceh.
Tatu cuma melirik layar televisi itu sebentar, Tatu tak kuasa berlama-lama me-
nyaksikan
orang-orang di daerah-nya yang terlihat sangat menyedihkan.Setelah makan, Tatu
bergegas menuju rumah kosnya. Tatu berpikir, seandainya ia terus menjadi tukang
ojek, Tatu yakin ia bisa menghidupi dirinya. Seperti Pak Anggoro yang mengaku
sebagai pensiunan pegawai negeri rendahan, yang ternyata mampu mencari tambahan
penghasilan jadi tukang ojek.
Sepanjang
perjalanan menuju rumah kosnya, Tatu menemui banyak panitia penggalangan dana
Aceh. Setelah membayar makanan di warung makan tadi, Tatu masih memegang
sisanya. Tatu udah menghitung-hitung, bisa untuk makan pagi dan ongkos ke
sekolah besok. Dan itu pun masih ada sisanya sedikit.
Pada
salah satu peminta-minta amal untuk korban Aceh di pinggir jalan itu, Tatu
merogoh saku jaketnya. Lalu, mengeluarkan sedikit uangnya untuk disumbangkan ke
Aceh. Tatu sungguh bersyukur bisa membebaskan dirinya dari bantuan orang lain,
dan bahkan mampu membantu saudara-saudaranya yang tertimpa musibah, meskipun
tak banyak.
Tatu
merasa harus jadi cewek Aceh yang tegar dan kuat, dan tak pernah jadi lemah,
seperti tokoh-tokoh pahlawan wanita asal Aceh yang terkenal gigih dan nggak
kenal putus asa.
Aku
Ingin Kau Membenciku
KURASAKAN malam semakin pekat. Awan
hitam menggulung cakrawala, melenyapkan cahaya rembulan dan bintang gemintang.
Angin berembus perlahan, membuat sam-pah plastik beterbangan.
Kuperhatikan
para pedagang kaki lima mulai merapikan dagangannya, berkemas-kemas untuk
pulang. Aku berada tak jauh dari mereka, menyandarkan tubuh pada sebuah dinding
ruko. Napasku turun naik begitu cepat, seiring degup jantung yang
berdetak-detak. Kuremas-remas kepalaku, sesekali membenturkannya ke tembok.
Pusing!
Aku
berjalan menyusuri jalan-jalan di sepanjang ruko-ruko untuk menghilangkan
penat. Para pedagang makanan, warung-warung tenda, satu demi satu meninggalkan
tempat mereka berdagang. Aku sendiri terus saja berjalan, melangkah tiada
tujuan. Pikiranku kembali teringat pada kejadian tadi sore, ketika Anna
menemuiku di tempat aku biasa parkir.
Anna,
dengan sedan BMW-nya, menemuiku dengan bermaksud mengajakku jalan-jalan. “Cuma
nemenin aku, Kum,” bujuk Anna. “Aku nggak bisa, An.”
“Kenapa?”
“Ya …
nggak bisa.”
“Mesti
ada alasannya, dong!”
“Nggak
bisa … ya, nggak bisa aja.”
“Oke
deh, gini aja, sore ini kamu nganter aku, ntar pulangnya aku kasih ongkos,
lebih besar dari pendapatan parkir kamu sore ini! Gimana?”
“ANNA?!”
aku berteriak, ngerasa tersinggung.
“Maaf,
Kum, aku cuma pengin kita jalan-jalan. Itu aja.”
“Tapi,
bisa di lain waktu. Nggak harus sekarang, kan?”
Anna
memandangku sesaat, lalu menepiskan tangannya dengan raut wajah marah. “Kalo
nggak mau, ya udah!”
Anna
membanting pintu sedannya, lalu melajukannya ke luar areal parkir warung tenda
yang terletak di sekitar ruko-ruko itu.
“Kum,
Markum! Cewek bening gitu kok, disia-siain?!” ledek Kang Asep, penjual sea food
yang tadi mergokin aku sama Anna.
Aku
nggak meladeni Kang Asep. Menghela napas sebentar yang terasa sesak, lalu
meninggalkan areal parkir.
Sejak
kelas dua SMP, aku
udah menjadi tukang parkir. Menjadi tukang parkir kulakoni demi menyambung
hidup diri dan keluargaku. Membiayai sekolahku,adik-adikku,dan ibuku yang
sakit-sakitan. Saat ini, aku kelas tiga SMA. Aku
bangga karena mampu membiayai sekolah sendiri. Dua adikku yang beranjak besar,
mengikuti jejakku menjadi tukang
parkir.
Maka, sedikit demi sedikit, pengeluaranku berkurang. Namun, sejak ibuku berobat
jalan, aku harus lebih giat lagi. Kalo biasa-nya aku pulang pukul sepuluh
malam, kini aku baru kembali pukul dua belas. Kalo biasanya aku mengantongi dua
puluh lima ribu, aku bisa mendapat tiga puluh lima sampai lima puluh ribu
rupiah. Apalagi kalo malam Sabtu atau malam Minggu, aku bisa mendapat lebih
dari itu. Dengan begitu, aku bisa mengatasi biaya pengobatan ibu.
Hanya,
kalo aku pulang malam, besoknya Tetapi semua temanku maklum, karena mereka tahu
bahwa aku adalah seorang tukang parkir yang pulang larut malam! Termasuk Anna.
Anna
adalah teman sekolahku, hanya berlainan kelas. Anna tahu kalo aku ini tukang
parkir. Tapi, itu tak menyurutkan dirinya temenan denganku. Semua anak di
kelasku akhirnya tahu kalo Anna suka padaku. Begitupun aku, senang punya temen
secantik dirinya. Hanya, aku selalu merasa nggak enak berdua-duaan sama Anna,
cewek cakep anak orang kaya itu.
Semua
teman di sekolahku mengatakan bahwa aku memiliki wajah yang lumayan tampan.
Selain itu, tubuhku atletis dan berisi. Aku jago taekwondo dan basket. Di
sela-sela markir, aku berlatih main basket di areal parkir. Untuk latihan
taekwondo, aku menyempatkan ikut latihan setiap Minggu pagi. Sejak ikut latihan
kelas dua SMP, kini
aku menyandang sabuk hitam dan dua!
Perihal
hubunganku sama Anna, bukan rahasia
lagi.
Karena akhirnya semua anak di sekolah, guru-guru, para pemilik warung tenda di
tempat aku biasa parkir, tahu kalo Anna kekasihku. Bahkan, ibuku pun tahu.
Sebab, bukan sekali dua kali Anna datang ke rumahku. Anna sempat masuk sekolah,
aku pasti mengantuk di kelas, pula mengantar ibuku ke rumah sakit dengan
sedannya.
Namun
begitu, tampaknya kedua orangtua Anna nggak suka Anna berhubungan denganku.
Orang tua Anna mengetahui hubungan putrinya dari Alek, salah satu cowok sekelas
Anna. Alek cukup tampan dan berada. Hobinya motor sport dan nge-track di jalan raya.Teman-temanku
bilang,Alek udah lama naksir Anna. Tapi, Anna nggak menanggapi.Malah,Anna
pernah mengatakan padaku bahwa ia nggak suka Alek. Anna bilang, ia sangat
mencintaiku.Ia nggak peduli meskipun aku ini tukang parkir!
Sebaliknya,
akhir-akhir ini, aku yang selalu menghindari Anna. Dengan berbagai alasan, aku
selalu menolak kalo Anna menemuiku di luar sekolah. Apalagi harus jalan-jalan
berduaan, seperti yang diinginkan Anna sore ini. Hal itu kulakukan karena aku
mendapat ancaman dari orangtua Anna,yang mendampratku di tempat parkir.
Ketika
itu,aku tengah sibuk memarkir kendaraan seperti biasa. Tiba-tiba, seseorang
dari dalam salah satu mobil yang tengah parkir memanggilku.
“Kamu
yang bernama Markum, ya?!” tanya seorang laki-laki berkepala botak dari dalam
mobilnya. “Kenalkan, saya papinya Anna! Saya tahu, kamu suka mengganggu putri
saya! Apa kamu nggak
pernah
ngaca, siapa diri kamu? Mulai sekarang, jauhi putri saya! Kalo nggak, kamu akan
berurusan dengan polisi! Nih, kembaliannya ambil!”bentak laki-laki yang mengaku
orangtua Anna itu, sambil melempar uang dua puluh ribu rupiah padaku.
Aku
nggak ngambil uang itu. Membiarkan lembaran bergambar Ki Hajar Dewantara
terhempas di aspal. Temanku Ipen, seorang tukang parkir lainnya, mengambil uang
itu lantas mengembalikannya padaku.
“Ambil
aja! Buat anak-anak!” kataku pada Ipen.
Sejak
saat itu, aku yang sebenarnya mencintai Anna, berusaha untuk menghindar. Aku
nggak peduli meskipun ia selalu mendekatiku. Aku nggak peduli meskipun ia
selalu mengajakku pergi. Aku nggak peduli meskipun sesungguhnya hatiku begitu
berat menolak setiap ajakannya. Aku nggak peduli menolaknya meskipun
sesungguhnya aku begitu mencintainya. Aku nggak peduli! Aku ingin, ia tak
mencintaiku!
“Apakah
kamu udah nggak suka sama aku lagi, Kum?” tanya Anna siang itu, di kantin
sekolah. “Aku suka kamu, An!” kataku, jujur. “Lalu, kenapa kamu selalu menolak
ajakan-ku?” “Belum saatnya, An.” “Belum saatnya?” “Ya.”
Anna
nggak tau kalo orangtuanya mendampratku di areal parkir. Anna nggak pernah tau
kalo orangtuanya sering mengancamku, melalui Alek. Sebaliknya, aku nggak pernah
menceritakan perihal
ini.
Aku khawatir Anna akan marah pada orangtuanya bila kuberitahukan hal itu.
Aku
masih berjalan sendirian, menyusuri jalan di penghujung malam. Hujan tiba-tiba turun,
ditandai dengan gemuruh halilintar. Langit akhirnya menangis,seperti ingin
berbagi kesedihan.Aku berteduh di sebuah emperan swalayan, duduk di sana dan
menunggu hujan reda.
Lima
belas menit kemudian, aku udah kembali berjalan, entah ke mana, yang aku
sendiri nggak tau. Aku nggak peduli malam masih menyisakan gerimis, aku
melangkahkan kaki mengikuti jalan raya dengan hati giris. Pikiranku kembali
pada Anna, cewek cantik yang telah membuat perasaanku gundah gulana. Ingin
kukatakan bahwa sesungguhnya aku mencintainya.Tapi,aku nggak mampu, bukan
karena aku takut pada orangtuanya.Tetapi, aku menuruti pesan ibuku, agar aku
nggak terlalu serius berhubungan dengan cewek.
“Berteman
boleh-boleh saja, tapi ada batasnya. Kamu harus lebih banyak konsentrasi pada sekolah
dan pekerjaanmu! Ingat, kamulah harapan Ibu satu-satunya. Kamu harus lulus
sekolah. Kalo gigih, kamu pasti mampu! Meskipun cuma tukang parkir, kalau kamu
sungguh-sungguh, kamu pasti bisa, Kum! Seandainya bapakmu masih hidup, beliau
pasti bang-ga.”
“Ibu
jangan berkata begitu. Biarlah bapak tenang di alamnya. Markum janji akan
menuruti pesan Ibu,” jawabku waktu itu.
“Maaf
ya, Kum?! Ibu harus melarangmu seperti
ini.
Apa yang Ibu katakan, semuanya demi kemajuan kamu. Satu hal lagi Kum, tentang
Anna. Kalo bisa, sebaiknya kamu jangan terlalu serius dengannya. Dia itu
berbeda dengan kita. Antara kita dan dia itu ibarat langit dan bumi. Kamu harus
memperlakukannya dengan baik. Meskipun Anna baik sama kitajangan sekali-kali
kamu berpikir, berandai-andai suatu saat ia jadi pendamping hidupmu. Kecuali
jika kamu bisa membuktikan, keluar dari kesulitan ini. Oleh karena itu,
konsentrasilah pada sekolah dan pekerjaanmu.”
Aku
kembali tersadar dari lamunan dan masih berjalan sendirian, menyusuri jalan
aspal yang basah. Tak kuhiraukan gerimis yang mulai membasahi tubuhku. Aku
tetap berjalan, menembus kegelapan malam yang gerimis. Aku masih tetap nggak
mampu keluar dari bayang-bayang Anna. Entah kenapa, sekarang baru kusadari.
Semakin aku berusaha melupakannya, aku semakin rindu padanya. Semakin
kutekadkan diri untuk nggak mencintainya, aku semakin merasa tersiksa. Apakah
harus kukatakan sejujurnya bahwa aku sebenarnya sangat mencintai Anna, dan
selalu kuturuti setiap ajakannya?
Aku
nggak tau dan bingung. Mungkin aku memang cowok bodoh. Aku benci sama semua
ini! Ya Tuhan, mengapa nasibku seperti ini? Mengapa aku nggak seperti
teman-teman sekolahku? Apakah seharusnya aku nggak sekolah saja? Apakah
seharusnya aku seperti teman-teman parkirku aja? Nggak perlu susah-susah sekolah,karena
sekolah cuma bikin pusing aja?! Aku sendiri belum tau, apakah se-
telah
lulus SMA ini aku
bisa langsung mendapatkan kerja, meneruskan kuliah, atau tetap seperti ini,
menjadi tukang parkir?
Menjadi
tukang parkir pun nggak jelek-jelek amat.Tetapi untuk apa aku sekolah,kalo
tetap menjadi tukang parkir? Temanku seperti Ipen dan Agus yang nggak sekolah
pun bisa jadi tukang parkir! Ya, TuhaniKalo saja ibu tidak menyuruhku
sekolah,udah lama aku berhenti sekolahIDan,mengapa Anna harus mencintaiku?!
Sialnya, aku pun nggak mampu melupakannya. Aku nggak tau lagi gimana cara
menghindarinya.
Seminggu
lalu, udah kucoba dengan cara memanas-manasinya dengan cewek lain. Aku sengaja
berjalan dengan Lidya di depannya, dengan maksud memancing kecemburuannya. Aku
pun mengantar Lidya pulang sekolah. Aku berharap ia terpancing. Aku ingin Anna
membenciku. Biar dia nggak usah datang-datang lagi menemuiku. Biar aku bisa
melupakan wajahnya dan lambat laun, aku bisa menghapus keberadaanya,
melenyapkan dirinya dari kehidupanku!
Tapi,Anna
nggak cemburu! Anna nggak marah aku jalan bareng Lidya. Anna nggak marah aku
ngantar pulang Lidya. Ketika itu, Anna justru menanyakan secara baik-baik sama
Lidya, tentang hubungan Lidya denganku. Uh, dengan jujur, Lidya mengatakan
bahwa antara aku dan dirinya nggak ada apa-apa.Jadi, memang nggak ada alasan
buat cemburu!
Lalu,
gimana caranya agar Anna membenciku?
Apakah
aku harus berpura-pura, mengatakan padanya bahwa aku membencinya? Berbohong
pada kata hatiku?!
Aku
nggak mampu melakukannya. Kini, ketika semakin jauh kumelangkah, aku nggak tau
gimana jalan keluarnya. Malam semakin larut, gerimis tak juga reda. Aku masih
terus berjalan tanpa tujuan dan berusaha untuk menenangkan pikiran yang tak
kunjung hilang. Berusaha untuk melupakan Anna sekejap yang tak pernah bisa
kulakukan.
Prom
Night With Nira
BEBERAPA anak kelas tiga yang
sebentar lagi berpisah, bakal menggelar prom night. Rencananya, mereka menyewa
baiiroom sebuah hotel di pusat kota. Acara disusun sedemikian rupa supaya
bener-bener menjadi kenangan indah yang tak terlupakan sepanjang masa. Seorang
DJ Top udah dihubungi, berikut beberapa penyanyi terkenal sebagai pengisi
acara.
Pokoknya,
top abis, deh!
Ajeng,
yang jadi ketua panitia, terlihat paling sibuk. Saat ini, dia lagi mampir ke
rumah Dea, ngo-mongin prom night.
“DJ
oke, pengisi acara oke, susunan acara rapi, terus Ajeng berhenti sebentar, “Apa
lagi yang kurang?”
“Tema
kostumnya, Jeng! Tema kostumnya!” tukas Dea seraya menjentikkan jemarinya,
sebagaimana seseorang menemukan ide brilian.”Maksud elo?”
“Pas
prom night nanti, kita-kita mesti pake baju apa?”
“Bener
juga. Punya ide, nggak?”
“Ada,
sih. Kata majalah yang gue baca, ada
beberapa
pilihan baju yang bisa kita pake pas prom night. Sweet prom, Giam punk prom,
Vintage prom, atau Eksentrik prom?”
“Wah,
ribet juga, ya? Jelasin, dong satu-satu!” pinta Ajeng.
“Oke,
deh, gue jelasin satu-satu, berdasarkan majalah yang gue baca. Sweet prom itu,
model bajunya lebih feminin dan manis, seperti warna-warna pastel; hijau, biru,
atau kuning pastel. Sedangkan Giam punk prom, mentingin aksesori yang keliatan
nge-punk. Vintage prom, nah ini yang agak ribet! Kayak pemakaian tiie pada
roknya dan draperi atau kerutan-kerutan pada atasannya. Dan gue rasa, saat kita
make baju seperti ini, kita akan terlihat anggun, hehehe …!” Dea ketawa, lalu
narik napas panjang.
“Nah,
yang satunya lagi?”
“O, ya.
Eksentrik prom,,’Sesuai namanya, tentu kita bakal banyak menarik perhatian
mata. Sebab, baju yang kita pake emang nggak standar! Keliatan eksentrik, gitu!
Nih, contoh-contohnya bisa elo liat di majalah gue.”
Kemudian,
Dea mengeluarkan majalah dari rak. Keduanya pun sibuk membolak-balik majalah
itu, memilih baju apa yang nantinya bakal mereka kenakan di acara prom night.
“Gimana
kalo kita pake tema sweet prom aja?!” usul Ajeng sambil menunjuk gambar sebuah
gaun di majalah yang dipegangnya.
“Oke
banget, tuh!”
“Ya
udah, kalo elo setuju, gue juga oke! Terus
... pas
acara nanti, semua pada dateng, kan?”
“Beres!
Anak-anak udah setuju semua, kecuali Nira, yang mungkin nggak bisa dateng.”
“Kenapa?”
“Gue
nggak bisa ngejelasin detilnya. Kayaknya, elo yang mesti ngebujuk dia!”
Ajeng
pun menghela napas, begitu berat. Kalo sampe ada anak kelas tiga yang nggak
ikut acara prom night nanti, kayaknya nggak sreg! Apalagi Nira, cewek paling
jenius dan terkenal kreatif itu!
“Kenapa
ya, Nira nggak mau ikutan?” tanya Ajeng akhirnya, setelah keduanya diam.
“Mungkin
karena Nira nggak suka pesta, kali?” tebak Dea.
“Iya
juga, sih. Nira emang antiparty1. Tapi, masa saat malam perpisahan nanti dia
nggak mau dateng?!”
“Kalo
kamu bujuk, mungkin dia bisa ikutan kali?” usul Dea.
“Oke
deh, gue coba.”
Esok
siang, saat bel istirahat, Ajeng nyari-nyari Nira di tempat Nira biasa mangkal,
di perpustakaan sekolah.
“Nira,
saya mau ngomong, bisa?” ucap Ajeng, membuka percakapan.
Nira
yang lagi asyik ngebet-ngebet sebuah buku cukup tebal, memberikan perhatian
pada Ajeng. “Ada apa?” tanyanya, terdengar begitu resmi.
“Begini,
Ra,” Ajeng sedikit nervous, harus bagaimana menjelaskannya. “Ee mungkin kamu
udah tau kalo aku ama anak-anak mau ngadain
prom
night.Semua anak setuju dan mau ikutan. Aku denger, cuma kamu yang nggak mau
ikut. Bener nggak, sih?” ucap Ajeng akhirnya.
“Ya.
Terus, kenapa?” Nira balik tanya.
“Begini,
Ra. Penginnya, semua anak kelas tiga bisa ikutan,”ucap Ajeng, dengan penuh
harap. Lalu, Ajeng menatap wajah Nira yang tenang, seolah nggak memiliki rasa
bersalah.
“Aku
nggak bisa, Jeng!”
Ajeng
menarik napas dalam-dalam, memperlihatkan kekecewaannya.
“Boleh
tau nggak, kenapa kamu nggak bisa ikutan?”
“Masalahnya,
aku nggak suka sama format acara itu. Dari namanya aja, prom night1. Aku yakin,
kalian cuma tahu namanya aja, prom night. Coba kalo kalian bikin dengan tema
‘acara malam perpisahan kelas tiga1, misalnya, ada kemungkinan aku bakal
dateng!” jawab Nira sedikit antusias.
“Alasan
kamu nggak ngena deh, Ra,” celetuk Ajeng.
“Oke
deh, kita bahas dulu, apa itu prom night. Asal kamu tau, sebenernya prom night
itu acaranya para ortu. Tradisi prom night menurut buku Prom Night karangan Amy
Best, dimulai sejak awal abad ke-20. Tepatnya kira-kira tahun 192D, di beberapa
kota di Amrik, terutama di kota-kota industri yang masyarakatnya kebanyakan
bekerja sebagai buruh-buruh pabrik. Nah, prom ini dibuat oleh masyarakat
setempat sebagai ajang mempertemukan cewek ama cowok yang beranjak dewasa atau
remaja.
Bisa
dibilang, sebagai momen para ortu memperkenalkan anak-anaknya. Kalo mau contoh
bentuk awal prom, cek deh, film The Deer Hunter. Nah, itulah alasan kenapa aku
nggak mau ikutan,” ucap Nira dengan gaya seperti seorang guru menerangkan
pelajaran sejarah.
“Wah,
kamu emang banyak tahu tentang segala hal, Ra. Pantes kalo kamu dinobatkan jadi
murid paling oke di sekolah ini. Tapi, apa yang kamu kemukakan tadi nggak bisa
dijadikan alasan kenapa kamu nggak bisa ikutan,” kata Ajeng, dengan bibir
bergetar.
“Udah
bisa aku bayangin gimana acara yang kamu buat nanti berlangsung! Aku juga tau
kalo acara kayak gitu emang udah populer dan dijadiin tradisi oleh muda-mudi di
beberapa negara. Satu hal yang perlu kamu tahu dari diri aku, bahwa aku beda
sama kalian! Aku nggak suka pesta! Dan, aku … seandainya bisa ikutan prom night
… nggak punya pasangan seperti kalian!”
Sekarang,
Ajeng benar-benar mengerti keadaan sesungguhnya.
“Jadi,
nggak ikutnya kamu dalam acara tersebut bukan karena prom night itu budaya luar
negeri, kan?” selidik Ajeng, ketika Nira terlihat mulai melunak.
Nira
terdiam. Keadaan menjadi hening. Belum sempat berkata-kata, bel sekolah
berbunyi tiga kali. Semua anak meninggalkan ruang perpustakaan. Nira menutup
buku tebalnya, kemudian meletakkannya di atas meja. Ajeng membantu Nira,
menaruh buku itu
di
sebuah rak yang nggak teraih tangan Nira. Setelah itu, Ajeng memegangi tubuh
Nira yang hendak kembali duduk di kursi rodanya. Tapi, Nira menolak dengan
halus.
“Maaf, Jeng!
Aku bisa sendiri!” elak Nira, sambil berusaha keras duduk di kursi rodanya.
Pada saat itu, kursi rodanya agak oleng sehingga keadaan tubuh Nira yang cacat
sejak lahir itu limbung. Untung, Ajeng bisa memegang erat-erat kursi roda itu,
hingga Nira bisa tertahan. Setelah itu, Ajeng mendorong kursi roda keluar
perpustakaan. Nira memegangi tangan Ajeng, mengelus-elusnya sambil bilang,
“Terima kasih, Jeng.”
Di luar
perpustakaan, tampak Dea dan kawan-kawan yang sejak tadi menunggu, merasa
surprise melihat Nira dan Ajeng keluar bareng. Mereka menduga-duga, barangkali
Nira luluh hatinya. Besar kemungkinan doi mau ikutan acara prom night nanti.
SEMINGGU sebelum hari H,beberapa
anak kelas tiga yang jadi panitia prom night berkumpul, terutama membahas
masalah Nira. Sebab,mengenai format acara dan tetek-bengeknya udah oke semua.
“Mudah-mudahan
Nira bisa ikutan!” terang Dea, pada anak-anak lainnya.
“Kepengin
gue, Nira mau ngebacain pusi karya-nya!” sodok Galuh, sambil senyum-senyum.
“Kalo
nggak, baca cerpen-cerpennya juga
asyik,
tuh!” Cyntia menambahkan.
“Gimana
kalo dia nyumbang satu lagu ciptaan-nya?” kali ini, Meutia yang mengusulkan.
“Gue
sih, setuju-setuju aja. Masalahnya, dia bener-bener mau dateng, nggak?”
akhirnya Ajeng komentar, membuat anak-anak kembali jadi keliatan down.
Sebenarnya,
seandainya Nira nggak ikutan prom night, anak-anak panitia yakin acara itu
meriah. Namun, kehadiran Nira di acara itu sungguh berarti bagi mereka. Semua
anak kelas tiga pun pasti senang melihat Nira bersama mereka.
Nira
adalah anak yang pandai dan serbabisa. Dia seringkah mengharumkan nama sekolah.
Cacat yang dideritanya nggak menghalangi kreativitasnya. Sehingga, berbagai
penghargaan, dari soal seni budaya maupun ilmu pengetahuan bisa diraihnya. Nira
yang nggak mampu berdiri itu, jago bikin puisi. Nira yang sehari-hari duduk di
kursi roda itu, langganan juara nulis cerpen. Bahkan, dia menjadi salah satu
peserta kompetisi fisika internasional! Itulah sebabnya, sebagian anak-anak
panitia ngotot menghadirkan Nira pada acara itu.
“APAKAH semua anak mesti
berpasangan?” tanya Nira, pada Ajeng dan anak-anak panitia yang datang ke
rumahnya, yang nggak mau berhenti membujuk Nira.
“Nggak
harus, Ra. Aku juga sendirian,” ucap Ajeng.
“Jangan
begitu, Jeng. Aku nggak mau gara-gara aku, Adit yang jadi korban!” tukas Nira,
yang tau banget kalo Ajeng dan Adit udah lama pacaran.
“Kalo
perlu, aku juga dateng sendirian!” ucap Dea tiba-tiba, membuat anak-anak
kebingungan.
“Bima
mau dikemanain, Dea?!” kata Nira, sambil senyum.
“Ya,
udah. Nggak usah basa-basi. Aku pasti dateng di acara prom night nanti. Ada
atau nggak ada pasangan. Lagian, aku udah biasa sendirian, kok,” ucap Nira
akhirnya, membuat Ajeng dan anak-anak nggak percaya. Mereka nggak menduga kalo
akhirnya Nira luluh juga. Barangkali karena hampir semua anak memaksa Nira
untuk hadir di prom night.
“Kamu
mau dateng, Ra?” Ajeng melotot, masih nggak percaya.
“Kamu
bisa dateng?!” Dea ikutan terbelalak.
“Ya,
aku pasti dateng!” Nira meyakinkan.
“Nira …
makasih, ya?!” semua anak memeluk
Nira.
ACARA prom night pun
berlangsung meriah. Semua anak kelas tiga hadir. Termasuk Nira! Anak-anak
menyambutnya senang. Apalagi, ternyata Nira “dikawal” oleh Ahmad, cowok paling
ganteng di ke-
las
tiga! Ahmad always berdiri di belakang kursi roda Nira. Semua anak nggak nyangka,
termasuk Ajeng dan Dea.
“Ahmad
…!” mata Dea terbelalak.
“Bener
kata gue, segala hal bisa terjadi tanpa kita duga!” kata Ajeng, sok
berfilosofis.
“Gue
pikir, Ahmad bakal ngajak siapa, gitu,” kata Dea lagi.
“Udahlah,
emangnya kamu ngiri, ya? Bima mau dikemanain?!” tukas Ajeng, bikin Dea
me-rengut.
Semua
anak, terutama cewek, nggak pernah nyangka kalo Ahmad datang bareng Nira.
Ahmad, salah satu cowok paling keren di sekolah, rupanya sengaja datang
menemani Nira atas inisiatif sendiri. Ternyata, udah lama Ahmad membanggakan
sosok Nira.
Di
tengah acara, Ajeng meletakkan mahkota kecil yang anggun dan indah di kepala
Nira. Nira di-Mnobatkan sebagai prommiss, alias yang menjadi ratu di acara prom
night kali ini! Semua anak bertepuk tangan meriah buat Nira.
Acara
ini pasti sungguh berkesan di hati Nira. Akhirnya, Nira menyadari kalo selama
ini anak-anak kelas tiga sangat tulus menyayanginya. Yang jelas, pada akhirnya
menjadi begitu berat berpisah dengan mereka yang selama tiga tahun ini
bersamanya di sekolah.
Ehm…!
EHM ...!” Aku berdehem untuk mencari perhatiannya. Celaka dua belas,
dia masih tetep aja cuek. Aku berdehem aja dia cuek, apalagi diem-dieman? Bisa
makin diem aja …! Bener-bener cool banget tuh cowok!
“Ehm
…!”
Sekali
lagi aku berdehem. Bukan untuk apa-apa, cuma sekadar cari perhatian. Paling,
nggak di-liriklah. Tapi, dia tetep aja cuek dan sok serius dengan bacaannya.
Aku jadi semakin sebal dengan diriku Apakah aku nggak menarik di mata dia?
Sungguh,
aku nggak tau gimana cara mencari perhatiannya,menarik simpati agar dia mau
bertegur sapa denganku.Paling nggak,dia ngasih respons di-kit.Biar aku nggak
merasa dicuekin.Disepelein.Emang enak dianggurin,dicuekin! Meskipun anggur itu
enak, dianggurin tuh jadi kayak sapi ompong! Beda banget dibanding diapelin!
Hah,diapelin? Boro-boro diapelin, kasih perhatian dikit aja nggak!
“Ehm
…!”
Bujuk
buneng! Aku bener-bener jadi mati rasa! Padahal, dehemku udah digedein dikit
volumenya.
Dia
masih tetep aja cuek bebek. Aku jadi sebel sekaligus penasaran.Padahal, di ruang
perpustakaan ini cuma ada aku dan dia. Aku duduk di tengah, sekitar tiga
langkah dari posisi-nya yang duduk di sudut.
Daripada
capek hati, mending aku tinggalin dia aja. Uh, tenggorokanku jadi sakit. Lebih
baiknya aku ke kantin aja, deh! Pengin minum cola. Siapa tau bisa bilang, “Hey!
Hey! How are you?!”
NGGAK biasanya, kantin sepi
sekali. Aku cuma liat satu cowok yang duduk di bangku panjang sambil ngangkat
sebelah kakinya. Posisi ini mirip orang lagi ngopi di warung pinggir jalan.
Tapi, cowok itu nggak lagi ngopi. Dia duduk santai Aku nggak terlalu kenal
dengan cowok ini. Mungkin anak kelas satu. Terlalu sulit bagiku menghafal
cowok-cowok yang ada di sekolah ini. Selain karena aku belum terlalu lama
berada di sekolah baru ini, mungkin juga karena aku cewek yang nggak punya rasa
pede tinggi.
Barangkali
mama benar. Aku ini orangnya minder.
Oke,
deh. Aku akan membuang jauh-jauh rasa minderku ini. Kalo di perpustakaan tadi,
aku gagal menarik perhatian cowok yang menurutku lumayan keren. Sekarang, aku
akan mencoba mencari perha-
tian
cowok keren lainnya yang lagi duduk santai di kursi kantin ini!
Uh,
begitu banyak cowok keren di sekolah ini. Masa nggak ada satu pun yang bisa
nyangkut? Hi hihi nyangkut kayak jemuran aja!
Rasanya
nggak mungkin kalo langsung kutanyakan namanya. Hm, nggak etis banget deh, kalo
cewek nanya duluan. Ntar dikira sok akrab. Sok kenal. Atau, bisa jadi aku
dibilang cewek kegatelan! Sori, yah! Aku harus berusaha mem-buat dia bertanya
padaku lebih dulu! Gimana caranya?
“Ehm
…!”
Aku
berdehem, mudah-mudahan dia melirik-ku. Kalo dia melirikku, aku akan langsung
tersenyum padanya! Tapi … setelah aku berdehem tadi, kok dia nggak menatap
wajahku. Dia cuma menoleh ke samping kiri dan kanan, lalu wajahnya melongok ke
kolong meja, seolah mencari-cari sesuatu! Brengsek! Woooi … aku di sini!!!
Lebih
baik, aku pesan minum dulu, sambil nunggu dia sadar kalo di kantin ada aku.
“Bu,
cola satu!” lancar benar suaraku. Sengaja kukeraskan, biar tuh cowok sadar ada
cewek di kantin ini!
“Yang
dingin apa biasa, Non?”
“Yang
dingin! Berapa?!”
“Seribu
tujuh ratus, Non!”
“Eits
..!” Aku mengeluarkan jurus-jurus silat, mendengar Bu Kantin menyebut seribu
tujuh ratus! Aku tau harga sebenarnya seribu tiga ratus. Paling nggak,
diluruskan jadi seribu lima ratus!
“Hehehe
…, seribu lima ratus aja deh, Non!”
“Seribu
tujuh ratus juga nggak pa-pa, Bu. Saya cuma becanda.”
Aku
melirik lagi, berharap si cowok memerhatikan keramahanku pada Bu Kantin.
Tetapi, rasanya dia tetap pada posisinya. Duduk dengan sebelah kakinya
terangkat, dengan tatapan wajah lurus ke luar kantin. Huah! Dia nggak peduli
dengan keberadaanku!
Setelah
membayar, aku duduk selang dua meja dari si sok cuek. Diam-diam, aku terus
meliriknya, mencoba memasuki alam pikirannya. Apakah yang sedang dilamunkan
cowok ini? Apakah ia tengah merasa gundah karena habis diputusin? Atau mungkin
tengah memikirkan bagaimana mendekati seorang cewek pujaan hatinya? Entahlah.
Aku nggak tau.
“Ehm
…!”
Aku
berdehem untuk yang kedua kalinya, kembali berharap agar si cowok melirikku.
Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Kulihat dia meremas-remas rambutnya.
Menundukkan kepala, lalu membenamkannya di atas meja.
Aku
nggak tau gimana caranya,agar dia kembali duduk seperti semula. Kalo dengan
posisi menunduk begitu, dia nggak akan sempat melirik ke arahku. Menemukan
seorang cewek yang duduk sendirian dan ingin sekali disapa.
Setelah
cukup lama memerhatikan dan si cowok nggak juga mengangkat kepalanya, aku
menyeruput minumanku.
Srooottt
….
Ah,
mak’nyes rasanya! Cowok itu mengangkat kepalanya. Duduk dengan posisi seperti
semula, namun nggak lagi mengangkat sebelah kakinya. Aku nggak tau,apakah
konsentrasinya terganggu karena mendengar suara tadi, atau ia memang sengaja
melakukan itu atas keinginannya sendiri.
Kupikir,
inilah kesempatan emas bagiku. Barangkali cowok ini udah mulai merasakan
keberadaanku di dekatnya. Selangkah lagi, dia akan benar-benar dapat
kutaklukkan. Aku berharap dia marah. Tak apalah dia marah. Nggak sedikit film
bertema cinta yang kutonton, yang memulai hubungan kasih dengan kemarahan.
Seperti ungkapan “benci” yang bisa diartikan sebagai “Benar-benar cinta ….”
“Ehm
..!”
Tak
sengaja,dehemku keluar begitu saja.Kulirik cowok itu menghela napas panjang,
lalu pergi begitu saja meninggalkanku kantin! Meninggalkan seorang cewek yang
tengah berusaha mati-matian menarik perhatiannya!
Apakah
aku harus tersinggung? Apakah aku harus marah? Marah sama siapa? Apakah aku
harus marah pada diri sendiri? Rasanya, percuma aku marah-marah sendiri. Lebih
baik kutinggalkan kantin ini. Mungkin lebih baik kalo aku melihat anak-anak
yang tengah menyaksikan pertandingan bola basket antar kelas. Apakah aku harus
nonton bola basket?! Aku nggak suka basket! Aku ke kelas aja!
Setibanya
di kelas, aku duduk di kursi. Aku duduk sendiri karena mungkin semua anak
berada di
lapangan
basket! Beberapa menit kemudian, seorang cowok masuk kelas dengan tubuh
ber-simbah keringat.
Dia
Markum, cowok jagoan basket di kelasku. Bodinya kekar. Jangkung. Tampang oke.
Bisa dibilang, cowok paling guanteng di sekolah baruku ini!
Tiba-tiba
aku mengkhayal, seandainya saja Markum yang katanya cowok baik itu mau menjadi
teman dekatku. Ah, kok, mengkhayal?! Aku nggak mau jadi cewek pengkhayal! Aku
harus sebisa mungkin berusaha mendapatkan perhatianya. Tapi, kok mulutku berat
sekali,ya? Benar kata mama, mungkin aku harus mengambil kursus kepribadian!
Biar nggak minder begini. Menanyakan teman satu sekolah aja nggak berani.
“Ehm
…!”
Tiba-tiba,
aku mendengar suara dehem. Jelas ini bukan suaraku! Aku mendengar dengan jelas
bunyi itu dari mulut seseorang yang berada di kelas ini. Tak ada seorangpun
yang ada di ruangan ini, kecuali aku dan si ganteng Markum! Apakah aku nggak
salah dengar? Apakah telingaku sedang nggak normal?
Aku
melirik Markum, tapi dia duduk cuek sambil melap keringatnya. Eh, siapa sih,
yang tadi berdehem?Jangan-jangan, emang cuma perasaanku aja?!
“Ehm!”
Suara
dehem lagi! Kali ini aku yakin, pasti Markum yang berdehem. “Ehm …!”
Kubalas
dehem itu.
“Ehm!”
“Ehm
…!”
Hihihi
aku dan Markum main dehem-
deheman!
Kulihat wajahnya tersenyum ke arahku! Hm,bener-bener manis! Sekarang,aku
percaya sama omongan Sania, temen sebangkuku, kalo Markum emang cowok paling
manis di dunia!
“Ehm!
Emmm …! Ehm!!!”Markum berdehem lagi.
“Ke-ke-ke
… ke … na … ke-na-pa, Kum …?” akhirnya, keluar juga keberanianku.
“Eh,
ini Lin,tenggorokan aku gatel banget!Ehm!” Ooo aku kira, dia berdehem untuk
cari perhatianku? Ternyata ….
“Kamu
kok, gitu sih, Lin? Orang lagi sakit tenggorokan malah diledek?!11
“So-so-so
… ri … a-a-aku … tadi … ng … ng … nggak sengaja!”
“Hehehe
nggak pa-pa, Lin. Aku nggak marah! Ngomong-ngomong, kamu betah sekolah di
sini?!”
“Be-be-betah
ju-ga, sih. Ta-ta-tapi … a-a-aku belum bi-bisa ngi-ngilangin gu-gu-gugupku
ini.”
“Nggak
pa-pa, Lin! Nanti juga kamu nggak gugup lagi, asal kamu mau berusaha
menyem-buhkan kegugupanmu ini. Sori ya, kalo selama seminggu berada di sekolah
ini temen-temen pada ngeledekin kamu.”
“Ng …
ng … nggak pa-pa, Kum. A-a-aku u-udah biasa, kok.”
“Oh ya,
ntar siang kamu ada acara nggak?! Aku
mau ke
toko sport, mau nggak nganter aku?!”
“HAH!?
Nga-nga-nga-nganter … kamu?!”
“Iya,
Lin! Mau, kan?!““Mau!”
“Ya
udah, sampe ntar siang, ya?! Sekarang, aku mau ke lapangan lagi. Kamu kok,
nggak nonton aku main basket, sih? Takut diledek temen-temen lagi, ya?”
“Ng …
ng … nggak kok, Kum.”
“Yuk,
bareng aku! Nih, kamu bawa handukku. Kalo sama aku, nggak bakalan ada anak yang
berani ngeganggu kamu! Yuk!”
Akhirnya,
aku menuruti ajakan Markum ke lapangan basket. Aku hampir shock berjalan
bersisi-an dengan Markum. Benar kata Sania,Markum bukan cuma ganteng, tapi baik
hati! Rasanya, dadaku bergemuruh berjalan di sampingnya. Apalagi saat satu-dua
pasang mata cewek memandang kaget ke arahku dan Markum! Barangkali mereka
berpikir, aku yang selama berada di sekolah ini diacuhkan anak-anak, kok, bisa-bisanya
jalan bareng cowok paling keren di sekolah ini! Apalagi pake acara bawa-bawa
handuknya segala!
Ehm!
Aku jadi ge-er, deh!
My
First Date
GILE bener! Damar ngajak gue nge-ctete! Gimana, dong?!”
“Sabar,
Cha. Sabaaar …! Pejamkan mata elo, tarik napas dalem-dalem, terus lepas-kan
perlahan-lahan.”
Icha
melakukan apa yang diminta Nana. Ia pejamkan matanya,menarik napas dalam-dalam,
lalu melepaskannya perlahan.
“Gimana,
Cha? Lebih enak, kan?” Icha memejamkan kedua bola matanya sekali lagi, lalu
diam cukup lama, menunggu apakah perubahan itu datang.
“Gimana
perasaan elo sekarang, Cha? Udah lebih baik?!” ulang Nana.
“Boro-boro,
Na! Gue tetep aja deg-degan!”
“Aduh,
Cha! Gimana, sih?! Elo nggak konsen,
sih!”
“Bodo,
ah! Gue bingung neh!”
“Tapi,
Cha Nana berhenti sebentar, lalu garuk-garuk kepala, “Cha … kita udah sama-sama
tau kalo si Damar itu udah punya gebetan.”
“Dia
bilang udah diputusin, Na.”
“Elo
percaya?”
“Percaya,
dong! Dia udah sumpah-sumpah di depan gue!”
“Iya
sih, tapi namanya cowok, bisa aja dia ngibul.”
“Udah,
deh! Kok, elo malah mikir gitu?! Bukannya bantuin gue gimana cara ngadepin
dia.”
“Oke.
Sekarang gini aja, elo pulang, terus langsung tidur. Nanti pas bangun, elo
bakal baikan, deh!”
“Nah,
gitu dong, kasih saran. Ya udah, gue pulang duluan. Gue turutin saran elo,
kebetulan gue ngantuk berat neh!”
“Tapi,
tidurnya jangan sampai keterusan ya, Non?!”
“Iya,
lah! Dia kan, bakal jemput gue jam setengah lima!”
“Ya.
Tidur siang satu jam udah cukup!”
“Gue
balik duluan, ya?”
“Daaagh
…!” Icha nggak seperti biasa, pulang lebih dulu. Nana melepas kepergian Icha
dengan perasaan berat. Bukan apa-apa, Sabtu ini pertama kalinya bagi Icha
janjian dengan seorang cowok. Nana khawatir Icha diperlakukan macam-macam,
seperti dirinya dulu. Sebab, Nana sendiri pernah dibohongin sama Damar. Hanya,
Nana merahasiakanya pada Icha.
SETIBANYA di rumah, Icha langsung
tidur
siang.
Papa dan mamanya yang memang libur kerja pada hari Sabtu, bingung melihat
tingkah putrinya.
“Itu si
Icha, kok tumben-tumbennya bisa tidur siang? Biasanya, jam segini dia belum
pulang,” selidik mama.
“Jangan-jangan,
dia sakit kali?”
“Ya
udah, kita tanya, yuk!” Papa dan mama masuk kamar Icha. Icha yang sebenarnya
nggak bisa tidur, pura-pura memejamkan mata. Ya, Icha emang nggak biasa tidur
siang. Icha masih aja mikirin Damar yang akan menjemputnya nanti sore.
“Kayaknya
tidurnya nyenyak banget, Ma,” ujar
papa.
Icha
tentu saja mendengar ucapan papanya itu. Sebenarnya, Icha kepengin ketawa.
“Kita
harus hati-hati, Ma. Tau sendiri si Icha, kalo sakit suka nggak mau bilang.
Takut sama dokter. Iya, kan?!”
“Iya,
sih. Mama jadi inget waktu dia kena tifus. Jangan-jangan
Papa
dan mama saling tatap. Icha melirik sebentar ke arah papa dan mama, lalu segera
memejamkan mata ketika papa dan mamanya yang mulai panik itu, hendak menatapnya
lagi.
Terdengar
papa menghela napas berat. “Cha Cha mama memanggil-mangil Icha sambil
menggoyang-goyang tubuh Icha.
Icha
malah pura-pura menguap, seperti seseorang yang sedang nyenyak tidur. Papa
memegang kening Icha.
“Wah …
panas, Ma!” teriak papa.
Jelas
aja kening Icha panas. Mungkin karena Icha lagi mikirin apa yang mesti
dipersiapkan buat kencan pertamanya nanti malam. Saking kerasnya berpikir,
hingga keningnya jadi serasa panas.
“Gimana
kalo kita panggil dokter …?”usul mama.
Tiba-tiba,
Icha bangkit dari tidurnya.
“Pa …
Ma … ngapain sih, di sini?” tanya Icha, dengan raut wajah sebal.
“Kamu
sakit, Cha? Papa panggilin dokter, ya?”
“Ih,
Icha nggak kenapa-kenapa, kok!”
“Kok,
kamu tidur? Biasanya nggak.”
“Icha
ngantuk, neh.”
“Ya
udah … kamu tidur lagi, deh.” Papa menyerah.Setelah itu,papa dan mama
meninggalkan kamar Icha.
“Biarin
aja deh Pa, mungkin Icha kecapekan,” ujar mama, setelah di luar kamar Icha.
“Tapi, mungkin aja dia sakit, Ma.”
BEBERAPA jam kemudian, Icha
bangkit dari kasur dan berteriak sejadi-jadinya.
“HAH? JAM ENAM! PAPA ... MAMA ...!!!”
Papa
dan mama yang berada di ruang tengah segera bergegas ke kamar Icha. Papa dan
mama memandang Icha yang kelihatan marah.
“Kamu
kenapa, Cha?”
“Mau
dipanggilin dokter?”
Icha
mengatur napasnya yang naik turun. “Ma, tadi ada yang dateng, nggak?” Mama
menatap wajah papa.Papa mengernyitkan dahinya.
“Tadi
ada yang dateng nggak, Ma?” ulang Icha. Mama mengangguk.”Temen kamu, Damar,”
sela
papa.
‘Nanyain
Icha, nggak?”
‘Ya,
terus Papa dan mama bilang, kamu lagi
sakit
Terus?”
Terus
dia pulang”
HAHM PAPA ... MAMA ... KOK,JADI GINI,SEEEH
“Lho …
kenapa, Cha?!” Icha bangun dan segera meraih horn telepon. Dia bergegas
menghubungi Damar.
“Halo,
bisa bicara dengan Damar?” “Halo, Damarnya sedang keluar rumah.” “Ke mana?”
“Nggak
tau, tuh. Ini malam Minggu. Apel kali. Hehehe
Icha
sebel banget denger suara di ujung telepon itu. Itu pasti pembokat Damar.
Setelah itu, Icha langsung menutup telepon dengan kesal. Papa dan mama tampak
bingung melihat tingkah Icha.
“Cha,
Papa sama Mama mau ke mal, kamu mau ikut?”
Icha
kelihatan bingung.
“Kalo
kamu mau ikut, sana mandi!” Icha nggak menyahut kata-kata papa dan
mamanya.
Icha hanya memperlihatkan tampang sebal.
DARIPADA di rumah sendirian, Icha
ikut papa dan mama ke mal. Icha terlihat uring-uringan karena apel pertamanya
berantakan. Papa dan mama masih belum mengerti. Namun, mereka belum mau
menanyakan kenapa Icha cemberut. Papa dan mama menduga, pasti gara-gara teman
cowok yang datang tadi sore ke rumahnya.
Setibanya
di mal, secara nggak sengaja, mama menunjuk seorang cowok yang lagi jalan
bareng seorang cewek dari kejauhan. Mama mengenali tampang cowok itu. Jelas
aja, cowok itu Damar!
“Ssst …
itu, Cha. Cowok yang tadi ke rumah,” bisik mama, sambil menepuk-nepuk pundak
Icha.
Icha
langsung lemas melihat Damar bersama dengan seorang cewek.
Bener
juga kata Nana, nih cowok nggak bisa dipercaya, ucap Icha dalam hati.
Bersamaan
dengan itu, Damar melihat ke arah Icha dan papa-mamanya. Damar terlihat gugup.
Sebelum Damar melangkah ke arah Icha dan papa mamanya, Icha langsung menarik
lengan papa dan mamanya untuk pergi menjauh.
Damar
kehilangan jejak. Damar pun kembali menemui cewek yang tadi bareng dirinya,
yang tak lain adalah adik kandungnya.
Ketika
Damar menghubungi HP Icha, Icha langsung menjawab dengan nada kasar, “Mar! Asal
elo tau, this’s my first date with someone1. Dan, elo mengacaukan semuanya! Elo
nggak usah ngubungin gue lagi, deh! Ke laut aja! Or go to heii!”
“Tapi
Cha … Cha … Cha Komunikasi terputus.
Amnesia
ANDRE kena amnesia!” ujar Rene,
setengah berteriak, saat Belia berada di kantin sekolah. “Pantes, terakhir kali
ketemu dia selalu batuk-batuk.”
“Plis,
Belia! Amnesia … bukannya asma!” “Oh
“Amnesia
itu hilang ingatan sementara, nggak ada hubungannya sama batuk-batuk.”
Belia
menghela napas berat, lalu sorot matanya menatap jauh keluar kantin dengan
pandangan kosong. Rene enggak bisa berbuat apa-apa dan melihat air mata
sahabatnya mulai mengaliri pipi.
“Belia,
jangan terlalu sedih! Sekarang, Andre lagi ditangani seorang dokter ahli!”
“Gimana
nggak sedih, Ren?! Gue belum sebulan jadian, tapi Andre udah kena Amnes
….““Amnesia.” “Iya. Gimana, dong?”
“Yang
jelas, kita harus cepet-cepet jenguk dia.Tapi kalo bisa, anak-anak jangan
dikasih tau dulu! Soalnya, berita ini cuma kita yang tau.”
“Jadi,
anak-anak belum tau?”
“Belum.”
Sore
itu juga,Rene dan Belia menjenguk Andre
ke
rumahnya. Ting-tong!
Rene
menekan bel pagar rumah Andre. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki setengah
baya membuka pintu pagar. Dia adalah Pak Sion, tukang kebun Andre.
“Ada
perlu apa, Non?” tanya Pak Sion.
“Kami
mau ketemu Andre, Pak.”
“Oh,
kebetulan Andre lagi di teras belakang. Mari masuk
Rene
dan Belia mengikuti langkah Pak Sion memasuki halaman rumah Andre yang cukup
luas, di bagian tengahnya terdapat kolam berukuran sedang, ada air mancur di
sisi kanannya.Pak Sion berjalan agak tergesa. Rene dan Belia mengikuti di
belakang. Mereka memasuki jalan berkerikil, untuk sampai teras belakang.
Sepanjang perjalanan, mereka melintasi pepohonan yang didominasi bunga-Mbunga anggrek.
Setibanya
di teras belakang, Pak Sion yang berjalan lebih dulu tampak bicara pelan sama
Andre, tapi Andre seperti acuh saja. Setelah itu, Pak Sion menemui Rene dan
Belia yang berada di belakangnya.
“Silakan,
Non,” ujar Pak Sion.
“Terima
kasih, Pak,” jawab Rene dan Belia serempak.
Pak
Sion kembali berjalan ke halaman depan, sedangkan Rene dan Belia berjalan
mendekati Andre. Andre tampak angkuh dan seperti nggak kenal sama yang datang.
Padahal yang datang adalah
Belia,
cewek yang beberapa minggu lalu “ditembaknya”.
“Ndre …
Andre Rene menegur Andre, sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya di
depan wajah Andre. Andre tetap acuh. Pandangannya kosong ke depan, ke arah
kolam renang.
“Andre
….” Akhirnya,Bella mengeluarkan suara. Belia memegang pundak Andre, lalu
memutarnya, menghadapkan wajah Andre tepat ke wajahnya.
“Ndre,
aku Belia. Kamu nggak lupa, kan?” Andre mundur ke belakang dan tampak seperti
orang linglung. Andre menatap Belia dari ujung rambut sampai ujung sepatu.
Andre seperti asing dengan Bella. Belia jadi kalut.
“Ndre,
kamu kenal aku, nggak?” tanya Rene, sambil memperlihatkan wajahnya tepat di
depan wajah Andre.
“Aku
Rene!”
“Rene?”
Andre tersenyum.
“Tau
nggak, dia siapa?” Rene menunjuk wajah Belia.
“Dia
Belia! Cewek kamu!”
Andre
tersenyum ke arah Bella. Belia pun tersenyum menyambutnya. Belia menghela napas
lega. Rupanya, Andre mulai menyadari kekeliruannya. Mungkin, Andre udah mulai
mengenalinya. Bukan apa-apa, menurut cerita Rene tadi, amnesia yang diderita
Andre belum terlalu parah. Andre masih mengenali beberapa anggota keluarganya,
meskipun nggak semuanya.
Masih
menurut Rene, Andre mengalami amnesia
karena
kecelakaan sepeda motor. Andre me-nubruk sebuah sedan yang sedang berada di
tempat parkir.
Meskipun
nggak mengalami luka-luka serius, Andre mengalami amnesia karena kepalanya
membentur body sedan itu. Menurut Rene, kecelakaan itu terjadi waktu Andre
melamun. Andre melamun karena kemarin sempat marahan sama Belia.
“Masa
sih, gara-gara gue, Andre jadi gitu?” ucap Belia, saat menuju rumah Andre tadi.
“Makanya,
elo harus minta maaf. Sebelum penyakitnya tambah parah!”
“Maksud
elo?”
“Menurut
keterangan salah satu keluarganya, penyakit Andre bisa aja tambah gawat, kalo
enggak ditangani serius. Andre harus didatangi dokter ahli, dan harus banyak
istirahat.”
Belia
mengangguk-angguk. Akhirnya, Belia jadi ngerasa bersalah. Itulah sebabnya,
Belia antusias banget waktu Rene ngajak ke rumah Andre. Bella mau minta maaf.
“Ndre
aku Belia. Kamu masih inget aku, kan?” Belia kembali mencoba menyadarkan Andre.
Andre tersenyum sambil mengangguk pelan.
“Kapan
dateng dari Bandung?” tanya Andre kemudian.
Hal itu
membuat Belia nyaris melonjak ke belakang. Bela luar biasa kagetnya.
“Kok,
dari Bandung, sih?” Bela kebingungan. Rene yang memerhatikan keduanya, segera menarik
tangan Belia, menyingkir ke salah satu sudut beranda. Keduanya menjauh dari
Andre.
“Belaaa
… elo harus sabar! Mungkin, Andre belum ingat elo.”
“Gue
ngerti! Tapi, kok, dia bilang gue dari Bandung?”
“Ya,
namanya juga orang kena amnesia!”
“Tapi,
masa sih, dia nggak ngenalin gue? Gue kan, pacarnya! Udah ah, gue coba lagi!”
Belia
kembali mendatangi Andre, yang tampak acuh atas kedatangannya. Rene nggak bisa
berbuat apa-apa, mengikuti langkah Belia di belakang.
“Andre
… gue emang dari Bandung!” ujar Belia, sambil mencoba merapikan lengan kaus
Andre, dengan maksud memberikan perhatian.
Kening
Andre tampak berkerut, namun nggak lama kemudian, Andre tersenyum. Belia jadi
bingung. Kenapa Andre tersenyum?
“Makasih
ya, oleh-olehnya … aku jadi makin sayang sama kamu,” ujar Andre, membuat Belia
kembali tersentak kaget.
“Oleh-oleh?”Bella
seperti mengulang perkataan Andre. Kayaknya, gue nggak pernah ngasih oleh-oleh,
deh I
Belia
lalu geleng-geleng kepala.
“Aku
nggak ngerti maksud kamu, Ndre. Ka-yaknya aku nggak pernah bawa oleh-oleh buat
kamu.”
“Lho,
yang kemarin itu dari siapa? Kayaknya, kamu ngasih aku jaket warna biru dari
Bandung. Itu dari kamu, kan?”
“Oke.
Sekarang, aku mau tanya, sebenarnya kamu tau nggak sih, kalo aku ini siapa?”
Belia sewot.
“Kamu
…T’
Beberapa
saat lamanya, Andre terdiam. Belia menahan napas. Belia menunggu Andre
mengucapkan namanya. Namun mulut Andre masih tetap saja menganga.
“Aku
Bella, Ndre!” Belia setengah berteriak, mencoba meyakinkan Andre.
Andre
mengerutkan kening lagi.Belia membuang napas dan baru ingat. Beberapa waktu
lalu, Belia memang mengaku pada Andre kalo dia mau ke Bandung. Belia janji mau
beliin Andre Jaket warna biru. Kebetulan, Belia punya sodara yang punya
dis-tro. Belia mau borong baju-baju murah dan keren, sekalian mau ngasih hadiah
buat ultah Andre. Duh, Belia ternyata lupa. Kenapa Belia bisa lupa? Dan ini
kan, kalo Belia nggak salah inget, hari ultah Andre?! Ya ampyuuun Belia emang
pelupa yang akut!
“Ndre,
sori gue lupa kalo gue ….”
“Bela …
udah yuk, elo tuh malah bikin si Andre jadi kebingungan! Percuma ngomong, dia
nggak ba-kalan inget elo!” potong Rene. Lalu, Rene menarik lengan Belia,
menjauh dari Andre.
“Nggak
bisa, Ren! Gue harus bisa ngeyakinin dia.Tadi, dia udah nyebut-nyebut Bandung
dan jaket biru! Berarti, dia inget gue!”
“Tapi,
elo kan, nggak ke Bandung?!”
“Iya …
tapi
Nggak
lama kemudian, beberapa orang keluar dari pintu. Mereka adalah papa dan mama
Andre. Lantas, di belakangnya dua orang pembantu datang menyusul. Keduanya
membawa loyang kue ulang
tahun
berukuran sedang. Lilinnya belum dinyalakan. Bella dan Rene berdiri agak
menjauh.
Papa
dan mamanya langsung memeluk Andre, lalu mengatakan, “Selamat Ulang Tahun,
Sayang …!”
Andre
menyambutnya dengan anggukan dan tersenyum.
Dari
sudut lain, Belia menatap itu semua dengan bingung.Sedangkan Rene, cuma
tersenyum-senyum.
“Sori,
Bel. Kali ini, elo gue kerjain,” bisik Rene. “Jadi … Andre nggak amnesia, kan?”
“Gue rasa, dia tetep amnesia. Tapi amnesia khusus untuk elo.”
“Kupret
lo, Ren!”
“Ini
April Mop, Sayang. Udah deh, tuh … kayaknya Andre nunggu elo.”
Belia
kembali berjalan ke arah Andre. Setelah beramah tamah sebentar dengan papa dan
mama Andre, Belia memukul-mukul tubuh Andre dengan manja. Belia nggak terima
dirinya dikerjain, di hari ultah cowoknya sendiri.
Angkot
D15
PAGI ini adalah pagi yang menyebalkan. Sebab Pak Abdul, sopirku,
nggak bisa mengantarku ke sekolah seperti biasanya, dengan alasan sakit perut.
Papa lagi di luar kota. Mama berangkat siang, karena pagi ini masih banyak
urusan rumah.
Buat
nunggu taksi yang dipesan mama, rasanya nggak mungkin, karena setelah
dihubungi, taksi tersebut baru bisa datang dua jam lagi. Aku ngerti, mungkin
seandainya ada, pasti taksi itu cuma beralasan,nggak mau ngantar penumpang yang
jaraknya nggak terlalu jauh.Akhirnya terpaksa,untuk pertama kalinya terjadi
dalam hidupku, aku ke sekolah naik angkot alias ang-kut-an kota!
Dari
jalan depan rumahku, mama nyuruh tukang ojek yang lagi mangkal mengantarku
sampai gerbang perumahan.Aku naik ojek yang tukang ojeknya bertampang tengil
dan genit,tapi aromanya lumayan harum; bau parfum aneh.Meskipun begitu,dia
nggak bisa ngumpetin bau badannya yang asem campur asin. Hufffh hidungku sangat
sensitif sama bau-bauan. Baik bau harum maupun bau tak sedap.
“Tumben
naik ojek?” kata si tukang ojek tengil itu, di tengah perjalanan.
“Ya,”
kujawab malas-malasan. “Sekolahnya di mana, sih?”
Ya
ampun! Males banget pagi-pagi ngobrol sama tukang ojek. Aku diem ajaKalo
ditanggapi, aku takut dia semakin cerewet Apalagi akhirnya dia tanya begini,
“Udah punya pacar belum? Hehehe
Aku
tetap nggak jawab. Dan, si tukang ojek terus aja tertawa. Aku benci sekali dan
sangsi, kah dia udah sikat gigi hingga begitu pedenya ketawa di dekat seorang
Bunga Citra Lestari?
“Pasti
belum punya pacar ya? Hehehe Si tukang ojek mungkin nggak tau kalo aku sedang
cemberut. Uh, kenapa perjalanan dari jalan depan rumah belum juga sampai ke
gerbang perumahan ?
“Ngomong-ngomong,
namanya siapa, sih?” Alhamdulillah, udah nyampe. Aku nggak mau menjawab
pertanyaan si tukang ojek ini. Aku keluarkan uang pecahan dua puluh ribu. Lalu
kuberikan padanya, “Nih, Bang! Jangan banyak ngomong, deh!”
“Deuelaaah
cakep-cakep kok, galak amat, sih?! Hehehe …. Duh, duitnya besar banget!”
What?
Dua puluh ribu … apakah terlalu besar?
“Nggak
ada kembaliannya, Neng!”
“Nama
saya Bunga! Bukan Neneng!” ralatku, sambil melotot. Si tukang ojek itu bukannya
takut, tapi malah tersenyum.
“Hehehe
nggak ada kembaliannya. Saya tukar dulu, ya?!”
“Terserah
deh, Bang!” Kutunggu si tukang ojek itu menukarkan uang
dua
puluh ribuan. Hampir lima menit aku menunggu, ia belum juga kembali. Namun, aku
bisa melihat kegigihannya mendatangi para pedagang di sekitar gerbang
perumahan, menukarkan uang itu pada tukang bubur ayam, bubur kacang ijo, susu
kedelai, soto ayam, dan pada teman-temannya sesama tukang ojek. Setelah itu,
dia kembali padaku.
“Bunga,
nggak ada kembaliannya. Pakai uang receh aja! Emangnya nggak ada?”
“Berapa,
sih?”
“Tiga
ribu lima ratus!” Kucari uang pecahan yang diminta. Dan kutemukan empat lembar
ribuan di dalam tas, lalu kuserahkan pada si tukang ojek menyebalkan itu.
“Nih,
Bang! Makasih, ya!”
Kutinggalkan
si tukang ojek. Tetapi, ia memanggilku.
“Bunga!
Ini kembaliannya!” Si tukang ojek itu mengejarku sambil memberikan kembalian
uang receh lima ratus rupiah.
Hm
jujur juga nih orang. Andai saja dia jadi pejabat, bukan jadi tukang ojek,
pasti negara ini udah maju meninggalkan Malaysia atau Singapura . Negara kita
mendatangkan pekerja perempuan dari negara-negara tetangga, nggak sebaliknya
seperti sekarang ini. Yeah, Aku baca di koran, banyak pejabat yang nggak jujur.
Tapi, seandainya tukang ojek yang jujur ini jadi pejabat, jangan-jangan
genitnya malah menjadi-jadi?
“Kembaliannya
buat Abang aja!” kataku, sambil terus bergegas meninggalkannya.
SETELAH lepas dari tukang ojek,
kutunggu angkot. Tadi, mama mengingatkan, jika gagal mendapatkan taksi untuk
sampai ke sekolah, aku harus naik angkot D1S. Daripada telat, aku harus naik
angkot.
Kulambaikan
sebelah tanganku setiap kulihat tulisan D1S di kaca bagian atas angkot-angkot
yang lewat. Tetapi, tak satu pun berhenti. Muatannya selalu penuh. Kalo udah
begini, Pak Abdul yang kuingat! Kenapa pagi ini sopir pribadiku harus sakit
perut, ya?
Akhirnya,
setelah sepuluh menit,ada juga angkot D1S yang berhenti. Tetapi, ketika separuh
tubuhku udah masuk,setelah kulihat ke dalamnya, tak ada tempat duduk
kosong.Seseorang berteriak pada sopir, “Udah penuh, Bang! Mau ditaruh di
mana?!” “Naik di depan, Dik!” sopir itu berteriak.
Apa dia
bilang? Dik? Emangnya, aku adiknya
apa?
Aku
kembali turun dan melongok ke depan, ke arah sopir.Pintu depan terbuka, dan
seorang cowok berseragam sekolah turun. Lalu, cowok itu mempersilakan aku naik.
“Kamu
di dalam aja,” ujar cowok itu. Sekilas kutatap wajahnya. Ia tersenyum dan
mengangkat bahunya.Tadinya, aku males banget naik angkot ini. Apa enaknya naik
mobil sempit ini bertiga di depan ?
Toh,
aku tetap naik juga. Dengan alasan, pertama susah menunggu angkot yang kosong.
Kedua, karena cowok supercare di sebelahku keren banget!
Ups!
Kalo
tau ada cowok keren kayak dia naik angkot, mungkin udah tiap hari aku naik
angkot. Sumpah! Selama ini, aku nggak pernah liat tampang cowok seperti cowok
di sebelahku ini di sekolah. Atau jangan-jangan, dia emang lain sekolah?
Aku
berharap cowok di sebelahku ini mau bertanya padaku, seperti tukang ojek genit
tadi. Tetapi, cowok ini diam aja. Ia malah membuka tasnya, lalu mengambil
sebuah buku lumayan tebal berwarna cokelat. Hilang sudah harapanku untuk bisa
ngobrol dengannya.
Wow,
dia membaca novel The Da Vinci Code.Novel kesukaanku! Ini mungkin kesempatan
aku buat nanya-nanya dia. Tapi, apa enaknya kalo orang lagi baca diajak
ngobrol? Apalagi pagi-pagi gini. Duh, jangan-jangan di mata cowok ini nantinya
aku jadi seperti tukang ojek tadi. Biarin aja, deh!
“Kamu
suka Dan Brown juga?”tanyaku akhirnya. Cowok itu mengangguk, lalu menoleh ke
arahku dan tersenyum, “Kamu suka juga?”
“Suka
banget! Aku juga udah baca Angels and Demons, Robert Langdon’s First Adventure
….”
“Ummm …
Malaikat dan Iblis, ya? Aku juga udah baca. Dua buku Dan Brown yang udah
diter-jemahin, kan?”
“Kamu
beli di toko buku mana?”
“Aku
pinjem sama temen. Aku juga udah baca
buku-buku
Dan Brown lainnya, Kayak Deception Point dan Digital
Fortress!”
sambungku.
Kamu
udah tau juga?”
Tau
dong, aku udah beli!”
Keren-keren,
ya?!”
Iya.”
Terminal
habis! Terminal habis!” tiba-tiba, Pak Sopir berteriak-teriak pada seluruh
penumpang. Oh, rupanya udah sampai di terminal. Nggak kerasa banget, deh!
Cowok
itu turun, lalu merogoh saku. Aku membayar dengan uang pecahan dua puluh ribu.
Uang yang tadi nggak ada kembaliannya itu. Setelah kuberikan, Pak Sopir yang
tengah menerima ongkos dari penumpang lainnya bilang, “Uang pas aja!”
“Berapa,
Pak?”
“Seribu!”
Kucari
di tas, siapa tau ada pecahan seribu rupiah. Ternyata, enggak ada.
“Aku
aja yang bayar!” Tiba-tiba, cowok itu memberikan uang dua ribu rupiah pada Pak
Sopir angkot. Setelah itu, dia menarik tasku,meninggalkan angkot itu. Ketika
menarik tasku,aku seperti tengah bersama-sama dengan cowok yang udah lama
sekali kukenal.
“Selain
baca, kamu suka apa?” tanya cowok itu, setelah melepaskan lenganku.
“Aku
suka … nonton, denger musik, sesekali jalan ke toko buku. Kalo kamu?”
“Kok,
hobi kita bisa sama, ya?” Cowok itu tersenyum. Aku cuma bisa menghela napas.
Baru kali ini kutemukan cowok hobinya sama!
“Oke,
deh! Kayaknya, kita mesti pisah di sini. Aku masih harus naik sekali lagi,”
ujar cowok itu sambil melambaikan tangan.
“Oke!
Sampai ketemu!”
“Daaagh
…!”
“Daaagh
…!”
Aku dan
cowok itu berpisah. Dia naik bus kota, dan aku cukup berjalan kaki menuju
gerbang sekolah. Ringan sekali kakiku melangkah. Kalo udah begini, aku nggak
lagi sebal kalo ingat Pak Abdul. Aku justru harus berterima kasih kepadanya.
Kalo aja pagi ini ia nggak sakit perut, aku belum tentu bisa ketemu sama cowok
di Angkot D1S itu!
Apakah
aku akan bertemu lagi dengan cowok itu? Ya ampun, kenapa tadi aku lupa tanya
nomor teleponnya? Selain itu, siapa nama cowok tadi?
Kucari-cari
bus kota yang tadi ia tumpangi. Sayangnya, bus itu udah jauh meninggalkan
terminal. Damn!
- ;fr
KEESOKAN harinya, aku nggak mau
diantar sama Pak Abdul. Aku naik ojek seperti kemarin, dan menunggu angkot yang
sama. Nggak peduli sama tukang ojeknya yang genit abis. Nggak peduli meskipun
angkot D1S selalu penuh penum-pang.
Sayangnya,
aku nggak ketemu sama cowok yang kemarin itu. Nggak ada cara lain untuk bisa
ketemu sama cowok itu, aku harus naik angkot D1S setiap pagi. Terkadang, pulang
sekolah pun aku nggak mau dijemput. Pak Abdul kusuruh menunggu di gerbang
perumahan,biar aku terhindar dari si tukang ojek itu.
SUDAH sebulan lebih aku naik
angkot D1S, tetapi nggak pernah ketemu sama cowok yang pernah satu angkot
denganku. Bukan aja aku punya utang seribu rupiah padanya.Namun,aku masih ingin
banyak ngobrol tentang banyak hal dengannya. Pasti asyik banget punya temen
cowok yang punya hobi sama.
Papa
dan mama menghargai pilihanku naik angkot ke sekolah, meskipun sebenarnya
mereka agak-agak khawatir. Tapi, mereka nggak bisa berbuat banyak, apalagi udah
tiga minggu ini Pak Abdul nggak pernah masuk karena sakit.
Sore
ini, papa dan mama mengajakku menengok Pak Abdul ke rumahnya. Meskipun malas,
aku mau ikut.Pak Abdul sudah kuanggap bagian dari keluargaku. Dia orang yang
baik, rajin, dan penyabar.
Setibanya
di rumah Pak Abdul yang sangat sederhana, kami disambut dengan ramah oleh beliau.
Pak Abdul masih tampak lemah. Papa dan mama
pernah
bilang, Pak Abdul yang udah nggak punya istri ini nggak pernah mau berobat ke
rumah sakit. “Sekarang sudah agak lumayan, Tuan. Saya mulai enak makan. Mungkin
dua hari lagi saya sudah bisa masuk kerja.”
“Nggak
apa-apa, Pak. Barangkali Pak Abdul memang perlu istirahat. Lagi pula, Bunga
mulai suka naik angkot, kok.”
Pak
Abdul tersenyum mendengar pengakuan
papa.
“Ya
ampun, saya lupa menyediakan minuman. Sebentar, ya? Sam! Sam! Tolong bawa
minumannya! Dari tadi baca terus, sih!” Pak Abdul berteriak-teriak memanggil
seseorang. Tak lama, seorang cowok membawa minuman dengan sebuah nampan.
“Iya,
Pak. Ini minumannya ujar cowok itu, sambil melirik ke arahku. Cukup lama kami
bertatapan.
“Kamu
Aku menunjuk-nunjuk ke arahnya, sambil mencoba mengembalikan ingatannya. Siapa
tahu, dia lupa sama aku. Aku adalah … cewek yang pernah satu angkot dengannya!
“Kamu …
Sophie Neveu … from The Da Vinci Code, kan?” ujar cowok itu, sambil meletakkan
minuman.
“Benar,
Robert Langdon …do you remember about Angels and Demons?” aku ikut menyebutkan
tokoh cerita dari salah satu bacaan favorit kami lainnya.
“Kalian
sudah saling kenal, ya?” terka mama, melihat keakraban kami.
Aku
cuma tersenyum malu-malu. Sore ini, aku bahagia sekali. Akhirnya, aku bisa
bertemu kembali dengan cowok ini. Aha, yang pasti namanya bukan Robert Langdon,
melainkan Sam!
Rahasia
Cowok
DI
antara teman-temannya, Lulu terkenal paling tau soal cowok. Dari A sampai Z. Ia
tahu cara menghadapi persoalan bila dijauhin cowok, cara meredakan kemarahan
cowok kalo marah, cara mengambil simpati cowok, sampai hal lainnya tentang
makhluk berjenis cowok itu.
Karena
itu, nggak sedikit teman-teman yang berkonsultasi padanya kalo punya masalah
sama cowok. Seperti Nanda, yang ngeluh dicuekin cowoknya. Nanda nggak tahu
kenapa cowok yang sangat disayanginya itu akhir-akhir ini cuek.
“Dia
nggak kayak dulu lagi, waktu pertama kali kenal gue!” seru Nanda pada Lulu,
waktu mengeluh soal cowoknya.
“Mungkin,elo
pernah menyinggung perasaannya?!” ujar Lulu, teramat tenang.”Menyinggung
perasaannya? Apa mungkin cowok gue orangnya perasa? Bukankah cowok nggak
sesensitif cewek?”
“Jangan
salah, Nda!” potong Lulu. “Bukan cuma cewek yang punya sifat perasa. Cowok juga
punya.Emang sih, cowok biasanya suka blak-blakan kalo tersinggung. Tapi, ada
juga yang cuma menyimpannya di hati.”
“Terus,
apa saran elo supaya gue nggak dicuekin?”
“Elo
mesti ngomong baik-baik ke dia! Elo jangan diem aja, apalagi ngebalas nyuekin
dia!”
“Iya,
gue pernah berpikir mau nyuekin dia!”
“Jangan,
Nda! Kalo elo ngikutin cuek, bisa bahaya. Nanti akan timbul kesan kalo hubungan
elo sama dia tuh, udah nggak ada kecocokan! Menurut gue, elo mesti tanya
baik-baik. Tanya kenapa dia nyuekin elo!”
“Oke
deh, gue coba! Thanks ya, Lu!” Tiga hari kemudian, Nanda balik lagi ke Lulu dan
kembali ngomongin cowoknya. Nanda nyeritain kalo cowoknya udah berhenti nyuekin
dia.
“Elo
bener juga, Lu! Akhirnya, cowok gue ngaku kenapa dia cuek sama gue.
Ternyata,doi tersinggung sama omongan gue. Waktu itu, gue nge-banding-bandingin
dia sama mantan gue. Gue pikir, dia baik-baik aja. Eh, ternyata nyuekin gue!”
“Bener
kan, apa kata gue?!Coba kalo elo bales nyuekin dia, sampe sekarang elo pasti
masih main cuek-cuekan! Untung elo masih tahap dicuekin! Coba kalo dia marah
beneran?!”
SETELAH Nanda berhasil kembali
rukun dengan cowoknya, giliran Allisa yang punya masalah sama cowoknya. Allisa
ribut sama cowoknya karena cowoknya jalan dengan cewek lain. Karena itu, Allisa
selalu
menjauh dari cowoknya, nggak pernah mau ngangkat teleponnya, apalagi
didatengin.
“Jangan
buruk sangka dulu, Sa! Elo mesti nyelidikin kenapa semua ini bisa terjadi.
Selain itu, elo harus tahu juga siapa cewek yang jalan bareng dengannya.”
“Waktu
itu, mereka mesra banget, Lu! Gue benci banget ngeliatnya!”
“Selama
ini, elo pernah nanya ke cowok elo nggak, siapa cewek itu?!”
“Nggak
pernah! Seandainya dia ngomong, pasti dia ngibul!”
“Lho?
Elo mesti beri dia kesempatan, dong! Suruh dia memberikan alasan kenapa dia
jalan sama cewek lain. Siapa tau ….”
Lulu
berhenti sebentar, karena ada telepon masuk. Lulu mengangkat HP-nya. Ternyata
dari Intan. Intan nelepon Lulu dengan suara terisak. Intan mengaku menyesal
karena mengatakan putus dengan cowoknya!
“Terusin
dong, Lu!”
“Tadi
sampe mana?!”
“Gue
mesti nanya alasan cowok gue … siapa tau maksudnya apa, nih?!”
“Oh,
itu. Ya, siapa tau cewek yang jalan bareng cowok elo itu bukan
siapa-siapa.Maksudnya, jangan mikir macam-macam dulu! Kadang, cowok suka iseng.
Cowok kan, emang sifatnya mata keranjang, walaupun nggak semua cowok gitu. Nah,
yang jenis mata keranjang ini, sebenernya dia juga punya cewek yang bener-bener
jadi dambaan hati-
nya.
Kalo seandainya cowok elo jenis ini, elo nggak perlu khawatir. Siapa tau cewek
yang jalan bareng dia tuh, cuma temen jalan aja, atau jangan-jangan …
sodaranya?!”
“Tapi,
cowok gue bukan mata keranjang, Lu! Dan, dia nggak punya sodara cewek!”
“Kok,
elo bisa tau kalo dia bukan mata keranjang?! Emangnya, dia pernah ngomong ke
elo kalo dia bukan mata keranjang?!”
“Senggaknya
menurut gue, Lu!”
“Buktinya,
dia jalan sama cewek lain?! Apa itu bukan mata keranjang?!”
“Iya,
juga, ya?”
“Sori,
Al, tadi itu cuman becanda! Gue yakin, cowok elo bukan tipe kayak gitu. Elo
juga harus yakin, kalo cowok elo tuh cowok baik-baik. Sebelum bisa membuktikan
bahwa dia mata keranjang, jangan percaya dulu!”
“Aduh,
bikin bingung aja, Lu! Gimana dong, jalan keluarnya?”
“Oke,
oke. Sekarang gini aja, deh. Elo selidiki dulu baik-baik,tanya pelan-pelan ke
doi, soal cewek yang jalan bareng dengannya. Selama ini, elo nggak pernah mau
denger penjelasan dia. Nah, kasih dia kesempatan! Biarin dia ngeluarin
alasan-alasannya jalan bareng cewek lain. Ada kemungkinan dia juga butuh
perhatian ekstra dari elo!”
“Oke
deh, Lu. Gue coba.”
Seminggu
kemudian, Allisa balik lagi ke Lulu. Allisa datang dengan wajah berbinar-binar.
Bukan main senangnya Allisa, karena akhirnya kembali akur
dengan
cowoknya!
“Elo
emang temen yang paling hebat, Lu! Ternyata setelah gue mau denger
penjelasannya, gue jadi tau kalo ternyata cewek yang jalan bareng dengannya itu
anak omnya! Sial, hampir aja gue ke-jebak! Kalo nggak minta penjelasan dari
elo, mungkin udah gue putusin tuh cowok! Oke deh, Lu! Trims ya, udah bantu
gue.”
“Sama-sama,
Al. Gue juga seneng banget bisa nolong elo, apalagi soal cowok. Menurut gue,
meskipun cowok makhluk misterius, kita mesti bisa tau rahasia-rahasia yang ada
di dalamnya.Makanya,gue seneng banget mecahin perkara kayak gini. Bukan cuma
elo yang punya masalah sama cowok. Minggu lalu, Nanda hampir putus sama
cowoknya. Dan dua minggu sebelumnya,Riana.Anita juga pernah nanya-nanya soal
cowok ke gue! Padahal, si Anita kan, udah lebih dari lima kali pacaran!”
“Elo
emang hebat, Lu! Gue beruntung punya sobat kayak elo!”
SETELAH masalah Allisa selesai,
giliran Intan yang harus mengalami masalah dengan cowoknya. Seperti yang ia
katakan di HP, Intan telah mengucapkan kata-kata yang sangat sakral dalam dunia
pacaran. Ia langsung mengatakan “putus” sama cowoknya. Padahal, dia masih cinta
berat.
“Gue
bener-bener nyesel! Nyesel abis, Lu!”
“Penyesalan
nggak ada gunanya, Intan.”
“Abis,
gimana dong, Lu?”
“Emang,
kenapa bisa bilang putus?”
“Dia
nggak dateng dua malam Minggu ber-turut-turut!”
“Cuma
gitu masalahnya? Ya, ampun!”
“Iya,
Lu! Gimana, dong?! Gue baru tau sekarang, nyokapnya sakit udah dua minggu! Dia
nggak bisa dateng malam Minggu karena harus nungguin nyokapnya di rumah sakit!”
“Kok,
elo nggak pernah tau kalo nyokapnya sakit udah dua minggu?!”
“Dia
nggak pernah cerita. Aduh, gimana doong?! Gue nyesel banget mutusin dia gitu
aja! Padahal, gue masih suka banget sama dia! Gimana dong, Lu?”
“Elo
mesti tahu, In. Cowok itu nggak sama kayak cewek. Gue pikir, elo bisa menarik
kata-kata yang pernah elo ucapin itu. Emang sih, jadi seperti menjilat ludah
yang elo buang ke tanah! Menurut gue, kalo emang tuh cowok masih sayang sama
elo, dia pasti mau nerima elo kembali jadi ceweknya!”
“Dia
pasti tersinggung, Lu! Dia pasti udah muak sama gue!”
“Belum
tentu, Intan! Coba deh, saran gue ini. Pertama,telepon dia baik-baik.Tanya
kabarnya,atau sekadar basa-basi. Lakukan seperti nggak pernah terjadi apa-apa.
Kedua, kalo elo nggak berani ngomong, elo bisa minta bantuan temen deketnya.
Kasih dia hadiah. Nantinya, tuh cowok akan berpikir, bahwa elo masih suka sama
dia. Ketiga, ini yang paling hebat. Datengin dia langsung! Minta maaf
padanya!
Pasti beres. Dan, kalo dia masih sayang sama elo, elo nggak bakalan kesulitan!”
“Oke
deh, In! Gue coba!”
“Nah,
gitu, dong!” Sehari kemudian, Intan udah kelihatan happy. Berkat saran Lulu,
Intan mengaku kembali menjalin hubungan sama cowok tersayangnya. Sebagai ucapan
terima kasih, Intan ngajak Lulu makan di fast-food. Nggak ketinggalan, Nanda
dan Allisa diajak.
“Elo
emang hebat, LuiGue bangga punya sobat kayak elo!”
“Iya,
Lu! Elo emang jagonya soal cowok!” tambah Nanda.
“Kalo
nggak ada elo, kita-kita bisa ngejomblo lagi!” tukas Allisa, membuat yang
lainnya tertawa.
“Ah,
jangan berlebihan! Gue kan, cuma nyumbang saran. Kalo ternyata itu ampuh,
mungkin cuma kebetulan aja.”
“Jangan
ngerendah gitu, Lu! Gue yakin dan percaya, semua rahasia tentang cowok ada
ditang-an elo! Iya, nggak?”
“Akuuur
…!”
“Ngomong-ngomong,
sekarang cowok elo siapa, Lu?!” tiba-tiba, Nanda mengalihkan pembicaraan.
“Pasti
yang ketemu di mal dua tahun lalu, kan?”terka Intan.
“Kalo
nggak, cowok yang pernah elo kirimin surat itu?!” tebak Allisa.
Ditanya
gitu, Lulu diem aja. Sekejap kemudian, ketiga sahabatnya udah menemukan
titik-titik bening di kedua pipi Lulu. Lulu menangis.
“Inilah
yang jadi masalah gue selama ini … gue belum pernah punya cowok!”
Ketiga
sahabat Lulu melongo.
Tentang
Rumah Hantu
RARA mematikan televisi, lalu beringsut ketem-pat tidur, merebahkan
tubuhnya di sana, dan pengin segera tidur. Namun, bola matanya sulit terpejam.
Acara misteri di teve tadi menjadi lekat di kepalanya; kuburan, pocong, hantu
perempuan yang ketawa cekikikan.Ih, syerem! Sampai beberapa saat lamanya, Rara
nggak mampu memejamkan mata meskipun ia memaksakan diri buat segera tidur. Mata
Rara terasa kering.Rara masih mikirin gimana kalo tiba-tiba ada hantu seperti
di teve tadi masuk kolong tempat tidurnya!
Akhirnya,
Rara ke luar kamar, menuju kamar papi maminya. Ia hendak mengetuk pintu, tapi
ragu karena nggak mau mengganggu mereka.
Kenapa
nggak ke kamar Mbok Yum aja? Rara ke kamar Mbok Yum, pembokat yang sejak kecil
merawatnya. Ia bangunkan Mbok Yum, lantas mengajaknya ke kamar Rara. Malam itu,
apa boleh buat, Rara tidur ditemani Mbok Yum.
Ketika
sudah berada di kamarnya, Mbok Yum melanjutkan tidurnya. Mbok Yum tampak
nyenyak dan damai! Rara sendiri masih nggak mampu memejamkan mata!
Rara
tetap nggak bisa tidur. Padahal, papanya pernah bilang, “Ra, hantu hanya
mendatangi seseorang yang kosong jiwanya. Hantu hanya bisa dilihat oleh orang
yang percaya bahwa sosok hantu memang benar-benar ada!”
Huaaah,
sekarang ini jiwa Rara kosong? Apakah Rara percaya sama hantu?
Uh,
ampun, deh! Tiba-tiba, tawa seorang presenter acara misteri di salah satu
televisi swasta itu meledak-ledak di kepalanya.
“Huahahaha
…. Hukaaa-hukaaa
Bersamaan
dengan itu, Rara ingat ucapan guru agama di sekolahnya, bahwa hantu itu nggak
bisa dilihat dengan mata biasa.Akhirnya, Rara sadar kalo ia nggak bisa
melihatnya. Kenapa mesti takut?
Rara
membangunkan Mbok Yum, memintanya kembali ke kamar Mbok Yum lagi. Dengan
langkah malas, Mbok Yum berjalan tertatih-tatih ke kamarnya. Kini, Rara kembali
sendirian di kamarnya. Dan, munkin Mbok Yum udah kembali nyenyak di kamarnya.
Rara
senyum-senyum sendiri, ngerasa puas bisa ngalahin rasa takutnya. Rara kembali
berusaha memejamkan matanya. Tapi, sayang, masih belum juga bisa. Bersamaan
dengan itu, jam dinding di ruang tengah berdentang dua belas kali. Suaranya
sama persis dengan jam di acara misteri tadi.
Teng!
Teng! Teng!
Uh,
Rara ingat lagi acara misteri tentang rumah kosong itu!
Rumah
kosong, biasanya suka ditempati
makhluk-makhluk
halus, hantu-hantu penasaran. Rumah kosong? Uh, ia ingat. Di depan rumahnya
yang besar dan asri ini, tepat di depan jendela kamar Rara, ada rumah kosong.
Rumah kosong di seberang jalan itu sudah ada sejak Rara belum pindah. Rara
nggak tahu siapa penghuni rumah kosong itu. Sebelum ini, Rara nggak pernah
peduli sama cerita-cerita seram tentang rumah kosong itu. Habis, Rara emang
nggak percaya sama hal-hal gituan.
Meskipun
ada yang bilang bahwa dulunya ada yang gantung diri di rumah itu, Rara nggak
peduli. Ada yang cerita kalo di sekitar rumah itu suka ada cewek cantik
“jadi-jadian” yang hobi menggoda pejalan kaki,bisa menghilang atau berubah jadi
nenek-nenek jelek kayak Mak Lampir. Rara juga nggak peduli. Dan, ada pula
hal-hal yang juga nggak pernah Rara pedulikan tentang rumah sebelahnya itu,
yakni adanya suara seseorang merintih tengah malam!
Tiba-tiba,
semua yang nggak pernah Rara pedulikan itu, malam ini muncul secara seketika di
kepalanya. Rara kembali teringat adegan di teve tadi, seorang perempuan cantik
tertawa-tawa di depan rumah kosong, tetapi setelah didekati oleh seorang
pejalan kaki atau pengen-dara sepeda motor, perempuan itu menghilang!
Rara
bangkit dari tidurnya, merapatkan tubuhnya ke dinding.Mendadak napasnya
ngos-ngosan turun naik, seperti seseorang yang berlari berjarak ribuan meter!
Sekujur tubuhnya bermandi keringat. Ketika tubuhnya telah rapat ke dinding,
yang jaraknya beberapa senti dari jendela kamarnya,
Rara
menyibak gorden jendela itu. Tampaklah rumah kosong itu yang tampak gelap.
Pepohonan yang tumbuh nggak keurus di halaman rumah itu, meliuk-liuk tertiup
angin.Rara terus menatap pintujendela-jendela, dan keseluruhan rumah kosong
itu. Sepertinya, ada seorang cewek bergaun putih-putih melambai-lambaikan
tangan ke arahnya! Sepertinya …. JLEGER!
Suara
petir bergemuruh setelah dua kali kilatan yang menyambar-nyambar di atas atap
rumah kosong itu.Rara menjerit kaget.Bersamaan dengan itu, hujan turun.
JLEGER!
Petir
bergemuruh lagi, diiringi hujan. Rara kembali menatap rumah kosong itu dari
balik jendela kamarnya. Nggak ada siapa-siapa di sana!
Tetapi,
bulu kuduknya merinding. Rara kembali teringat adegan di acara misteri, hantu
perempuan tertawa cekikikan di tengah gemuruhnya hujan. Tawa cekikikan hantu
itu sungguh menakutkan Rara. Kini, suara itu seperti terdengar dari rumah
kosong!
Rara
segera menghambur ke luar kamar, mengetuk pintu kamar Mbok Yum!
m
SORE ini, sepulang sekolah, Rara mendapati sekumpulan orang di depan
halaman rumahnya. Orang-orang itu ternyata lagi melihat rumah kosong itu. Entah
apa yang terjadi di sana, hingga begitu
banyaknya
orang berkumpul sampai ke halaman rumah Rara.
“Ada
apa, Pak?” Rara bertanya sama satpam kompleks. Satpam ini udah nggak asing lagi
bagi Rara karena beliau udah bekerja sejak kompleks perumahan elite ini baru
dibangun.
“Itu
lho, Non! Katanya, dini hari tadi ada tukang bakso lewat di depan rumah kosong
ini. Lalu,ia berhenti tepat di depan rumah ini karena ada yang memesan bakso,”
jelas satpam itu.
“Siapa
yang memesan bakso? Bukankah itu rumah kosong?” potong Rara.
“Saya
juga nggak tau, Non. Tau-tau, mangkuknya udah tergeletak di depan rumah kosong
ini! Tukang bakso itu tiba-tiba menghilang!”
“Terus,
gimana?” Rara tambah penasaran.
“Sabar
dulu, dong! Tarik napas dulu. Emang, Non nggak tau apa, kalo semalam ada tukang
bakso keliling?”
“Saya
kan, udah tidur!” Rara pura-pura bego. “Oh
“Terus,
gimana?” tanya Rara.
“Terus,
sampai di mana tadi?”
“Tukang
bakso itu tiba-tiba menghilangiHuuuh gimana, sih?!” Rara jadi jengkel.
“Oh,
ya. Setelah itu, beberapa satpam menemukan dua mangkuk yang habis dipakai di
depan halaman rumah kosong itu. Mungkin, tukang bakso itu menghilang di dalam
rumah kosong itu!”
“Tapi,
siapa yang menjamin kalo tukang bakso itu masih berada di dalam rumah kosong
itu?!”
desak
Rara semakin penasaran.
“Waduh,
Bapak juga kata orang!” satpam itu kebingungan.
“Terus,
orang-orang ini ngapain?”
“Mereka
penasaran apakah tukang bakso itu ada di dalam rumah kosong atau nggak.”
“Sudah
lapor polisi?”
“Polisi
datang tadi siang, tapi cuma meriksa.” “Mereka bilang apa?”
“Susah!
Hal-hal gaib itu kan, nggak ada dalam undang-undang?”
“Ih,
Bapak ngomong apa, sih?!” Rara pura-pura
pilon.
“Baca
koran, dong! Emangnya, hantu bisa dijerat hukum?”
“Hah?!
Kayaknya, makin nggak jelas aja, nih!” Rara tambah bingung.
“Kesimpulannya,
polisi malah mengusir orang-orang yang berkerumun di rumah kosong ini karena
nggak ada bukti kejahatan yang bisa dilacak! Cuma, mereka masih penasaran. Di
antara mereka, ada paranormal segala, lho!”
“Ya
udah, deh! Rara jadi bingung, nih.”
Setelah
itu,Rara memasuki halaman rumahnya, dan bergegas masuk ke rumah. Rara masih
nggak ngerti, kenapa tadi malam ia nggak melihat sebuah gerobak bakso di depan
rumah kosong itu! Lagi pula, Rara nggak percaya sedikit pun, atas apa yang baru
diceritakan oleh satpam itu. Namun, orang-orang yang berkerumun itu, kenapa
mereka berada di sekitar rumah kosong itu? Jangan-jangan, mereka
percaya
kalo tukang bakso keliling yang disebut-sebut satpam itu masih berada di dalam
rumah kosong itu.
Hiiiyyy
… Rara bergidik setengah mati. Ketika berada di dalam rumah, Rara langsung
disambut Mbok Yum.
“Aduh,
gawat! Gawat!” teriak Mbok Yum, dengan suara bergetar.
“Gawat
kenapa?” Rara pura-pura nggak ngerti. Padahal Rara tau, pasti Mbok Yum mau
ngomong tentang rumah kosong itu!
“Itu
lho, rumah kosong itu!”
“Iya,
kenapa?”
“Non
liat, kan, orang-orang yang pada
ngumpul?”
“Iya,
iya, Rara tau!”
“Mereka
lagi nunggu tukang bakso itu keluar!”
“Tukang
bakso?!” Rara semakin berlagak pilon.
“Iya.
Setelah mengantar pesanan ke rumah kosong itu, katanya tukang bakso itu nggak
pernah kembali!”
Uh,
pasti Mbok Yum termakan omongan satpam itu. Tapi apa bener, ya?
“Non!
Non! Kok, malah bengong?”
“Eh,
iya, Mbok! Terus, Mbok?”
“Terus
Non, katanya malam ini papi sama mami nggak pulang. Ada rapat penting di hotel.
Kata mami, tadi nelepon ke HP Non Rara, tapi nggak nyam-bung-nyambung!”
“Ya
udah. Papi mami kan, emang udah biasa ada rapat mendadak kayak gini?”
“Mbok
Yum tau. Tapi “Kenapa?”
“Biasanya
kan, kalo papi sama mami Non Rara nggak pulang, Non Rara bisa ditemani sama
Mbok.” “Lha, iya lah!”
“Iya
bagaimanaTI/l/ong malam ini Mbok Yum mau menginap di rumah saudara Mbok Yum.”
“Mbok
Yum juga mau pergi?”
“Iya,
saudara Mbok Yum sakit. Mbok Yum sudah minta izin sama papi-mami Non.”
“Mereka
ngasih izin?”
“Kata
mereka, sih … terserah Non Rara.”
Rara
jadi bimbang. Apakah ia ngizinin atau nggak. Rasanya, ia terlalu kejam kalo
nggak ngizinin Mbok Yum nginep di rumah sodaranya yang sakit itu. Tapi, kalo
Rara izinin, siapa yang nanti malam menemaninya di rumah?!
“Ya
sudahlah. Mbok Yum boleh menginap!”
“Bener,
Non?” Mbok Yum nggak percaya.
“Bener!”
“Non
Rara nggak takut sendirian di rumah?” “Takut? Takut apa?” “Hehehe … kali aja
m
MALAM ini, papi, mami, dan Mbok
Yum nggak ada di rumah. Rara mengunci seluruh pintu dan jendela rumahnya
rapat-rapat.Sebelum memeriksa jendela kamarnya sendiri, ia menyibak gordennya,
dan
tampak
rumah kosong itu!
Rumah
kosong di seberang jalan itu begitu gelap dan sepi. Rupanya, orang-orang yang
berkumpul sejak siang sampai sore tadi sudah meninggalkannya.Apalagi,sore ini
gerimis tumpah menyiram tanah.
Setelah
semua beres, Rara merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya sempat melirik
televisi.Hm ia ragu menghidupkannya. Belakangan ini, Rara rajin nonton acara
berbau gaib dan misteri. Apakah malam Jumat ini ia pun menon-tonnya lagi?
Tiba-tiba,
Rara teringat adegan demi adegan yang berbau pocong, kuburan, dan hantu
penasaran. Bulu kuduknya mendadak berdiri. Rara menggeser letak telepon di
sebelah tempat tidurnya, berharap bisa langsung menghubungi nomor seseorang kalo
ia membutuhkannya!
Kriiing
…f f f
Rara
melonjak kaget karena tiba-tiba telepon itu berdering. Ia ingin mengangkatnya,
tapi ragu. Jangan-jangan, telepon itu dari …. Dalam sebuah adegan sinetron
misteri, hantu bisa menelepon seseorang yang tengah sendirian!
Rara
makin ngeri aja! Pada saat bersamaan, iseng-iseng Rara menyibak gorden jendela
kamarnya. Rara mengamati sosok berbaju putih melambai-lambaikan tangannya. Rara
langsung menutup gordennya.Tapi … tiba-tiba,Rara merasa kenal dengan orang yang
melambai-lambaikan tangan itu. Perempuan itu seperti … mamanya!
Rara
kembali menyingkap gorden jendela
kamarnya.
Mendongakkan kepala, mendapati mama, papa, dan satpam yang berteriak-teriak.
Tampak mamanya menghidupkan HP.Dan terdengarlah dering telepon di kamarnya.
“Halo
…!” Rara mengangkatnya, karena merasa telah mengenali orang yang meneleponnya.
“Halo,
Ra! Kok, nggak diangkat-angkat? Ini Mama sama papai Kamu ini gimana, sih? Semua
pintu kamu kunci dari dalam! Mama sama papa nggak bisa masuk!”
Rara
langsung menutup telepon, setengah berlari keluar kamar membuka pintu rumah.
Mimpi
Selebritis
SUDAH dua hari ini, Siska nggak
masuk sekolah. Semua teman di kelas nggak heran. Siska nggak masuk karena izin
buat keperluan casting. Ia bilang, memenuhi tawaran seorang produser untuk
membintangi sebuah sinetron! Seisi kelas jadi seneng abis. Karena sebentar
lagi, sohib mereka bakal ada yang jadi bintang sinetron! Jadi selebritis!
“Duh,
Siska! Coba, gue punya tampang manis kayak dia. Gue juga kepengin main
sinetron!” ucap Dara, pada Rini dan Sasa. Temen-temen lainnya ikutan nguping.
“Emangnya,
jadi pemain sinetron harus yang manis-manis, apa?” celetuk Kiki, yang katanya
selalu sirik sama manusia bertampang manis.Habis, te-men-temennya bilang, doi
ini bertampang misterius, semacam Tante Suzana yang demen banget berperan jadi
Sundel Bolong itu! Hihihi padahal aslinya Tante Suzana itu manis, lho! Kalo
Kiki, emang sehari-harinya keliatan misterius!
“Nggak
juga sih, Ki. Kalo semua bintang sinetron bertampang manis, ntar siapa dong,
yang berperan jadi pembokat?” sodok Jejen yang belakangan ini diam-diam suka
merhatiin Kiki.
“Kalo
cuma jadi pembokat, gue sih, ogah jadi bintang sinetron! Malu-maluin aja!”
sambar Dara sambil pasang muka sinis.
“Emangnya,
siapa yang sudi ngajak elo jadi bintang sinetron, Ra?!” Rini kesal.
“Iya,
Ra. Lagian, biar peran pembokat, yang penting bintang sinetron! Elo pasti nggak
tau sinetron Inem Pelayan Seksi, ya? Coba kalo elo tonton, bakalan kaget
ngeliat Inem yang pembokat itu tampangnya cute banget!” Sasa ikutan komentar.
“Nggak
seberuntung Siska. Sampe peran pembantu pun, gue nggak mungkin!” ucap Dara,
lunak tapi kenes.
“Maaf
ya, Ra! Gue nggak bermaksud nyakitin elo.Dan, Siska emang udah sepantasnya
meraih apa yang ia cita-citakan sejak lama, jadi bintang sinetron. Nggak
percuma kalo selama ini, Siska suka keliling-keliling mal atau ikutan lomba
foto model,” Rini ikutan melunak.
“Mmm …
Siska ikutan lomba foto model sih,gue udah tau, Rin. Bahkan, dia pernah masuk
nominasi cover gir/. Tapi … keliling-keliling mal itu apa maksudnya?” tanya
Dara akhirnya.
“Ooo
elo belum tau ya, Ra? Siska itu sering ke mal karena berharap ada produser yang
mengajaknya main sinetron! Kan, emang enggak sedikit artis sinetron yang
ditemuin dari mal?” kata Rini.
“Elo
bener, Rin. Gue juga pernah baca di tabloid hiburan,artis sinetron yang awalnya
diajak main sinetron gara-gara ditemuin di mal!” Sasa menambahkan.
“Wah …
coba gue sering-sering nongkrong di mal?!” Jejen, cowok yang seneng
berpenampilan dekil itu, ikutan ngomong lagi.
“Waduh,
kalo elo sampe sering nongkrong di mal, bisa gawat, Jen! Kasian sama satpamnya!
Mereka bakal sibuk merhatiin elo!” cerocos Sasa.
“Eh …
emangnya, tampang gue kayak maling, apa?” Jejen kesal.
“Beda-beda
tipis, lah!” sahut Kiki, sambil ketawa ngakak.Semua anak ikutan ngetawain
Jejen.
“Ya,
udah! Liat aja nanti!”ancam Jejen. “Paling nggak, kalo Siska udah ngetop,gue
bakalan selalu mendampingi dia jalan-jalan ke mal. Jadi … body guard-r\ya"
lanjutnya bersemangat, sampe-sampe mulutnya berbusa.
“Eh,
ngaca! Ngaca! Siska nggak bakalan mau sama elo! Jijay, tau?!” sambar Rini,
sengit.
“Tunggu
tanggal mainnya!”teriak Jejen, nggak kalah sengit. Setelah itu, Jejen keluar
kelas sambil menutupi kedua telinganya, karena semua anak mendamparatnya.
“Huuu
…! Jejen dekil!”
“Jejen
kumal!”
“Jejen
kumuh!”
“Psssttt
… udah, udah … kasian Jejen! Kalo rapi, sebenernya Jejen itu lumayan, tau!”
Kiki menengahi teman-temannya.
“Ketauan,
ya?! Kalo naksir, sana kejar!” teriak anak-anak.
“Gue,
naksir si Jejen? Sori, ya! Enggak level! Soalnya, gue pun bentar lagi jadi
bintang sinetron!”
“Hah?
Elo, Ki? Jadi bintang sinetron? Mimpi kali, yeee …!”
“Tunggu
aja! Mulai siang ini, pas bubar sekolah,gue langsung nongkrong di mal!!!11
“Mau
ngapain?!” tanya anak-anak, heran.
“Masa
nawarin parfum? Ya cari produser sinetron, lah!” sahut Kiki, sambil ngacir
keluar kelas, nyusul Jejen.
HARI ini,Siska masuk sekolah dan keliatan lelah setelah dua hari
berturut-turut nggak masuk lantaran ikutan casting sinetron itu.
“Emang,
capek ya, Sis?!” selidik Dara.
“Gila,
Ra! Yang casting antre!”
“Terus,
elo lulus nggak?”
“Tinggal
nunggu kabar. Paling,satu-dua hari ini.” “Gue doain, Sis. Mudah-mudahan, elo
lulus tes!” “Makasih, Ra.”
“Tapijangan
lupa sama kita-kita ya,Sis!” harap
Rini.
“Maksud,
elo?”
“Gue
khawatir aja. Ntar, kalo elo udah ngetop, elo lupa sama kita-kita.”
“Don t
worry, friends! Gue bukan ‘kacang lupa sama kulitnya’.”
“He-eh,Sis!
Gue ngerti maksud elo!”serobot Jejen, yang tau-tau udah masuk ke kerumunan
anak-anak cewek.
“Sok
tau! Kacang lupa sama kulitnya itu apa, hayo?!” sembur Kiki.
“Gini,
Ki. Siska itu kan, nantinya bintang sinetron. Nah, pas doi makan kacang, doi
enggak lupa mesti ngupas kulitnya dulu! Masa, mentang-mentang bintang sinetron,
makan kacang sampai sama kulit-kulitnya?!”
“Huuu
…!” semua anak yang mendengar ocehan Jejen, serentak mencubiti tubuhnya.
“Ampuuun
…! Ampuuun …!”Jejen teriak-teriak.
“Ngakunya
mau jadi body guard?1. Baru dikeroyok lima cewek aja udah kalang-kabut!” umpat
Dara.
m
PAGI ini, Siska nggak masuk sekolah. Menurut kabar, doi udah mulai
syuting sinetron hari ini!
“Elo
tau dari siapa, Ra?” selidik Sasa.
“Semalam,
Siska nelepon gue. Katanya, dia lulus casting1. Wuih, heboh banget, ya?!” ucap
Dara berapi-api, tapi mulutnya enggak sampe ngeluarin asap, sih.
“Ya,
Tuhan! Siska lulus casting?! Woooy … semuanya! Denger, ya! SISKA MAIN SINETRON!” teriak Sasa
sambil berlari ke sana-kemari, kayak orang kebakaran jenggot. Untung, Sasa
nggak punya jenggot.
“Aduh,
duh, duh … hik, hik, hik akhirnya, sohib gue jadi bintang sinetron!” Jejen
malah terharu,
“Hah?
Gila! Hebat! Agnes Monica bakal punya saingan beraaat .,,!” teriak Kiki, sambil
melompat-lompat, persis nenek-nenek kebakaran bulu ketek! Hihihi kalah tuh
hutan di Kalimantan.
“Judul
sinetronnya apa, sih?”
“Lawan
mainnya siapa? Roger? Revaldo? Syah-rul? Atau … Irwansyah? Ck, ck,ck!”
“Nggak
tau,deh. Kita tunggu aja kabar selanjutnya.”
HAMPIR seminggu, Siska nggak
masuk sekolah. Semuanya menanti kehadirannya. Mereka pada enggak sabar
menunggu.
“Emangnya,
berapa hari sih, syutingnya?”tanya Sasa.
“Bisa
jadi sebulan,” jawab Dara asal.
“Walah
…! Sebulan? Apa nggak lebih baik sekalian berhenti sekolah aja?”
“Hus!
Udah nggak aneh bintang sinetron tuh kayak gitu! Tapi, biasanya orang macam
Siska da-pet dispensasi dari sekolah. Artis kan, emang gitu? Nanti mendatangkan
guru privat ke lokasi syuting! Mmm … pokoknya, jadi bintang sinetron itu oke
banget!” Jejen sok tau.
“Gue
enggak percaya sama omongan elo, Jen! Mulut elo aja bau jengkol!!”
“Emangnya,
kenapa kalo mulut gue bau jengkol?! Asal elo pada tau, bagi gue, rasa jengkol
tuh,
surga
dunia!”
“Bau
jengkol aja bangga! Biar bau jengkolnya ilang, sono, makan pete!” hardik Kiki.
“Bodyguard
kok, suka makan jengkol? Kasian atuh, para penggemar!”
“Udah,
udah …! Kenapa jadi ngebahas jengkol, sen?”
“Iya,
neh! Sono, Jen, bersihin mulut elo! Perasaan, di kantin kita nggak ada menu
jengkol?” “Jejen pesen di warteg seberang sekolah, bo!” “Pantes.”
“Terus,
masalah Siska, gimana, dong?” “Ya mau gimana? Kita tunggu aja kabar
selanjutnya.”
“Udah
dihubungi lewat HP?”
“Enggak
aktif. Sibuk ngelayanin wartawan,
kali?”
“Uh,
bintang sinetron!”
SISKA kembali masuk. Kontan,
semua anak pada mengerumuninya. Malah, ada yang pura-pura minta tanda tangan
segala.
Gimana
syutingnya, Sis?”
Lawan
mainnya siapa aja?”
Judul
sinetronnya apa, sih?”
Tayangnya
kapan?”
Di
stasiun apa?”
Gimana
rasanya main sinteron?”
Bertumpuk-tumpuk
pertanyaan menyerang Siska. Sayang, Siska nggak mau menjawab.Ia cuma bilang,
“Tunggu aja beritanya di tabloid, satu atau dua minggu lagi. Soalnya, sang
produser ngelarang para pemain ngasih bocoran sama siapa pun! Masih rahasia!”
“Jeee
elo, Sis! Kita-kita kan, bukan wartawan. Kenapa mesti rahasia-rahasiaan, sih?!”
Kiki yang paling penasaran, protes keras.
“Iya,
Sis. Please deh, ah Semua anak
merengek-rengek.
Siska
nggak peduli sama rengekan teman-temannya. Lagi puia, Siska pikir, pasti
teman-temanku nggak bakaian puas seandainya aku menjawab.
Namun,karena
serangan teman-temannya yang bertubi-tubi, terutama Kiki yang cerewet, akhirnya
Siska menjawab satu pertanyaan yang membuat teman-temannya puas.
“Gue
main di FTV ucap
Siska, yang langsung membuat teman-temannya paham.
Semua
pada tau, FTV itu
Film Televisi alias telesinema, sinetron yang sekali tayang langsung tamat.
“Judulnya?”
sodok Kiki.
“Misteri
Rumah Hantu.” Ups! Siska keceplosan, ngasih tau judulnya!
“FTV Misteri, ya?” tebak Dara.
“Udah,
ah! Kok, jadi terus-terusan tanya, sih? Nanti aja, tunggu tanggal mainnya!”
Siska jadi berang.
“Pertanyaan
terakhir,” ucap Kiki, persis reporter yang mau menyudahi wawancara. “Tayangnya
kapan?” lanjut Kiki.
Karena
ngerasa bosan dikerumuni anak-anak, akhirnya Siska nyerah.
“Hari
Jumat depan, jam delapan malam!”jawab Siska, dan nggak lupa menyebut stasiun
teve yang bakal menayangkannya.
Merasa
puas akan jawaban itu, anak-anak akhirnya menyingkir dari Siska. Siska menghela
napas, merasa lega dijauhin sohib-sohibnya. Kasihan Siska, baru mengalami
sekali syuting, udah merasakan seperti bintang sinetron top yang diserbu
penggemarnya!
SABTU pagi, kelas Siska gaduh.
Semua anak pada diskusi soal film televisi yang mereka tonton semalam.
“Perasaan,
gue nggak liat tampang Siska, deh!”ucap Kiki dengan nada kecewa.
“Itu
tuuh … yang jadi cewek di pos ronda, yang menggoda penduduk yang melintas,”kata
Dara.
“Yang
mana, ya? Habis,muka tuh cewek pucat gitu, sih. Udah gitu, gue agak-agak ngeri
nonton tuh sinetron!”
“Yeee …
nggak nyimak, sih!!!” timpal Jejen.
“Wah …
gue juga nggak fokus ke salah satu stasiun teve tuh. Ng … jadi, waktu syuting
Siska
yang
seminggu itu, cuma nongol lima menit itu doang?!” sungut Rini, tak kalah
kecewa.
Semua
anak mengangkat bahu.
“Pssttt
… Siska udah dateng bisik Rini
kemudian.
Semua
anak kompakan diam.
“Gimana,
bagus nggak, akting gue?” tanya Siska, begitu tiba di depan sohib-sohibnya.
Kontan,
semua anak terbengong-bengong. “Emangnya, elo yang jadi siapa sih, Sis? Eee
sori, gue nggak begitu merhatiin tuh sinetron,” tanya Sasa polos.
“Ya
ampun, elo, Sa! Gue kan, yang jadi kuntilanak jadi-jadian itu!” jawab Siska,
datar, lalu menghambur ke mejanya.
Sohib-sohibnya
pada kebingungan,tapi akhirnya tersadar, sebagian dari mereka yang menonton
sinetron itu pasti paham. Tokoh kuntilanak jadi-jadian yang diperankan Siska
bertampang jelek, seperti Mak Lampir, yang sepanjang sinetron itu sering
ke-tawa menyeramkan. Kecuali pas adegan di pos ronda,yang memakai wajah manis
Siska sesungguhnya, tentu dengan make-up dibuat agak seram.
“Ya
ampun, Siska … yang jadi kuntilanak itu elo, ya? Yang ketawanya serem banget?”
Siska
mengangguk senang. “Wah, selamat deeeh …!”
Satu
persatu, sohib Siska memberi ucapan selamat pada Siska, yang mereka anggap
berakting bagus. Saking bagusnya, mereka sampe nggak tahu kalo Siska sebenarnya
pemeran utama sinetron itu!
Cheerleader
SEMUA anak cewek ngomongin
penampilan dahsyat anak-anak cheerleader, yang jadi penggembira pada
pertandingan basket antarkelas. “Ya ampun, mereka keren abis, deh!” “Piramid
yang mereka bikin lain dari yang lain!” “Gerakan mereka yahud banget!” “Aku
pengin banget deh, ikut latihan sama mereka.”
“Tapi,
nggak semua anak bisa ikut cheer’s, lho! Banyak persyaratannya.”
Memang,
nggak semua anak bisa jadi anggota cheerleader. Padahal, banyak banget anak
cewek yang jadi anggotanya.Salah satu cewek yang ngebet banget jadi anggota
cheerleader adalah Bianca Sisilia Rombey, siswi kelas satu K. Udah lama banget
Bianca mimpi pengin jadi anggota cheer’s, tapi itu enggak mungkin banget.
Masalahnya,
temen-temennya bilang Bianca nggak punya senyum manis kayak anak-anak cheer’s
itu.Bianca enggak mungkin bisa menghafal gerakan-gerakan yang biasa
diperlihatkan anak-anak cheer’s . Dan, kalo Bianca ngotot gabung sama anak-anak
cheer’s, dipastikan bakal memperburuk penampilan
anggota
cheer’s lain, sebab dianggap akan merusak pemandangan!
“Ya
ampun, Bi, elo nggak pantes banget masuk tim cheer’s1.”
“Cocoknya
topeng monyet kali! Hahaha
“Jadi
Sarimin-nya, dong! Hehehe
Bianca
sebenarnya nggak peduli pendapat sinis teman-temannya itu. Masalah senyum, itu
gampang dipelajari. Soal gerakan-gerakan, bisa dihafal setiap hari. Penampilan
juga bisa dibuat stylist, kok. But, the main problem is … Bianca emang nggak
bisa menutupi diri, kalo ia punya bodi balon gas! Kayaknya, nggak banget deh,
kalo tubuhnya yang gempal melompat-lompat mengikuti gerakan-gerakan anak-anak
cheer’s lainnya.
Persoalan
sebenarnya adalah, kalo Bianca ngotot ikutan cheer’s, apakah dia bisa
menurunkan berat badannya lima belas kilo aja?! Oh, kayaknya berat banget!
Sementara itu, diet cuma bikin sengsara. Kalo ngomong soal diet, Bianca
langsung pusing tujuh keliling pangkat tiga belas. Life is hell!
Taruhlah
Bianca bisa menurunkan bobotnya, tapi apa bisa ia meninggikan tubuhnya dua
puluh lima senti lagi, hingga keseluruhannya minimal jadi 160 senti?
Dan
kini Jelaslah … bagi Bianca Sisilia Rombey, jadi anggota cheer’s cuma mimpi
belaka!
“Gue
bilang juga apa?! Elo tuh, cocoknya main basket!” ujar Lola, satu-satunya anak
cewek yang mau jadi temen deket Bianca.
“Masa
sih, main basket? Menghina banget, deh!”
“Abis,
apa lagi? Anak-anak cheer’s kan, manis-manis, langsing-langsing, seksi-seksi ….
Nah elo …?”
“Oke,
gue terima. Nah, elo malah bilang gue pantesnya main basket! Gila aja. Tapi …
oke juga sih, saran elo. Kayaknya, gue bisa main basket. Cuma … kira-kira,
posisi gue apa?”
“Taelaaa
elo tuh main basket bukan jadi pemainnya, tapi jadi bolanya!”
Bianca
nggak marah meskipun Lola sebenarnya keterlaluan. Lagian, buat apa marah?
Nanti, bisa-bisa dia nggak punya teman.
AKHIRNYA, Bianca nggak mau pusing dan menyadari sepenuhnya, kalo dirinya
nggak mungkin jadi anggota cheer’s. Pada akhirnya, Bianca cuma bisa mengkhayal,
seandainya dia bisa jadi salah satu anak cheer’s.
Bianca
merasa beruntung memiliki kegemaran menulis cerita. Keinginannya yang nggak
bisa terwujud itu, ia tuliskan di dalam sebuah cerita. Dalam cerita yang ia
buat, ia menjadi tokoh yang bisa menjadi anggota cheer’s. Dalam sebuah
karangan, segalanya menjadi mungkin, termasuk Bianca yang punya bodi nggak
mendukung, toh ia tetap bisa menjadi anggota cheerleader dalam cerita yang ia
karang!
Meskipun
memiliki tubuh supergendut dan
pendek,
akhirnya Bianca bisa jadi anggota cheer’s sekolahnya. Anak-anak cheer’s mau
nerima keadaan Bianca.
Seminggu
sekali, Bianca ikut latihan bareng anak-anak lainnya. Namun, ia sendiri
berlatih setiap hari di rumah. Angkat barbel, push up, sit up, lompat, lari,
renang, semua ia lakukan agar tubuhnya bisa lentur dan kuat. Tak lupa pula
menghafalkan semua gerakan cheer’s-nya.
Hebatnya,
ternyata Bianca mampu menandingi teman-temannya sesama cheer’s. Bianca bahkan
bisa menjadi maskot cheer’s karena gerakannya yang gesit dan lincah. Setiap
kali cheerleader yang beranggotakan Bianca, selalu mendapat sambutan yang
sangat meriah dari orang-orang.
Pada
akhirnya,karena kehebatannya itu,Bianca jadi cheerleader inti sekolah. Di
setiap pertandingan, Bianca selalu tampil bareng tim cheer’s-nya. Bahkan, para
penonton selalu menanti-nantikan kehadiran Bianca dalam setiap penampilannya.
Bianca mampu tampil seperti anak-anak cewek lain yang bertubuh langsing.
Hanya,
semua itu cuma dalam cerita yang dibuat Bianca! Karena yang terjadi
sesungguhnya, Bianca tetaplah Bianca, si gendut pendek yang nggak akan mampu
bisa jadi anggota cheer’s, kecuali menuliskannya dalam sebuah cerita.
TULISAN Bianca tentang anggota
tim cheer’s sekolah yang gendut pendek itu,dibaca oleh temen-temen sekelas.
Ketika selesai membacanya, salah satu teman Bianca terenyuh, namun lega ketika
baca ending-nya.Naskah Bianca yang sudah dijilid rapi itu, diberikan pada
anak-anak di kelas lain. Bahkan jadi rebutan!
Seorang
guru bahasa Indonesia ikut membaca tulisan Bianca. Beliau meminta disketnya dan
mengatakan akan memberikan disket berikut naskah yang sudah d-print out itu
pada penerbit.
“Kamu
akan menjadi penulis terkenal, Bianca!” ujar guru bahasa Indonesia pada Bianca.
BUKU itu diterbitkan!
Bianca
nggak nyadar kalo cewek seperti dirinya bisa menjadi ‘sesuatu1. Meskipun nggak
bisa jadi anggota cheerleader, dia bisa bisa jadi seorang penulis! Apalagi,
ketika dihubungi, penerbit mengatakan kalo novel itu udah dua kali cetak ulang
dalam waktu seminggu sejak diterbitkan!
Aha,
Bianca kini menjadi sangat berarti hidupnya. Ketika promosi novelnya di salah
satu sekolah, seorang cowok keren meminta tanda tangannya.Dia mengaku sangat
menyukai novel itu. Si cowok itu juga meminta nomor HP Bianca.
Pada
akhirnya, cowok itu jadi temen curhat Bianca. Mereka seringkah saling SMS-an.
Dan pada
suatu
malam Minggu, si cowok ngajak Bianca jalan-jalan. Tapi, Bianca menolaknya,
karena dia mengaku sedang sibuk menulis cerita lainnya.
Zaenal
Radar T., kelahiran Tangerang,7 Desember 1973 Bu-kunya yang telah terbit:
Jerawatan (Cinta, 2005), Bunda, Aku Jatuh Cinta (MU: 3 Books, 2DD5), The Last
Lajang-er (Lajang Terakhir), ditulis bareng Dono Indarto (Gagas Media, 2DDS),
Kantin Love Story (LPPH,
2DD4), Airmata Laki-laki (FBA,
2DD4), Ketemu Camer (DARI Mizan,
2DD4), Harga Kematian (DARI Mizan,
2DD3), dan beberapa buah buku anak-anak serta sejumlah antologi bersama penulis
lain. Cerpen-cerpennya dimuat dalam sejumlah media, di antaranya majalah CEWEK, Kawanku, ANEKA Yessl, FANTASI Teen, Mahardika, KEREN Beken, GAUL, CINTA, dan
lain-lain. Saat ini, ia menjadi kontributor sejumlah media serta menulis cerita
dan skenario sebuah rumah produksi di Jakarta.Setelah semua lapangan sepak bola
di daerahnya tergusur dan diganti dengan perumahan dan mal, hobi main sepak
bolanya menjadi bersepeda keliling kampung. Dan tentu saja, bila senja datang,
Zaenal selalu menyempatkan diri untuk minum teh sambil membaca atau menonton
film.