Maaf lagi nih aku baru sempat Posting Perahu kertas 1 lagi. Baru selesai MOS, dan baru aja masuk SMP.Akhirnya masuk Smp favorite juga *curhat, abaikan. Langsung baca aja lah... ini...
8.
MEMULAI
DARI YANG KECIL
66
“Bagus,”
sahut ayahnya datar, ditambah sedikit manggutmanggut.
Namun,
ada kepuasan yang tak bisa disembunyikan
kuliah
di Ekonomi. 0,3 lagi untuk IP sempurna, semester
depan
kira-kira bisa?”
“Mungkin,”
jawab Keenan pendek.
“Apa
pun yang kamu butuh, komputer baru, buku-buku
referensi
... bilang saja. Nanti Papa siapkan.”
“Saya
mau minta waktu.”
Cangkir
teh itu segera diletakkan di meja. “Maksud
kamu?”
“Saya
minta ekstra seminggu dari jatah liburan kuliah.”
“Dia
minta waktu lebih lama di Ubud ...” Lena berusaha
menjelaskan.
“Aku
ngerti maksudnya,” potong ayahnya tajam. “Kamu
minta
izin seminggu bolos kuliah, gitu?”
Keenan
mengangguk.
“Buat
Papa, kuliah kamu harus jadi prioritas. Dan kamu
sudah
membuktikan itu di semester ini. Lalu ... kamu malah
minta
hadiah berupa ... bolos kuliah?”
Keenan
mengangguk lagi.
“Aneh.
Nggak ngerti,” ayahnya geleng-geleng kepala,
“lalu,
barusan kamu bilang mau meningkatkan IP kamu sampai
4,
gimana itu bisa terjadi kalau belum apa-apa langsung
bolos
seminggu?”
“Saya
kan nggak janji, Pa. Saya cuma bilang: mungkin.”
“Nan,
jangan mulai sok pintar, ya ....”
“Pa,
saya nggak minta macam-macam. Saya nggak minta
kendaraan.
Saya nggak minta komputer baru. Saya nggak
minta
buku apa-apa. Saya cuma minta waktu tambahan satu
minggu
di tempat Pak Wayan.” Nada bicara Keenan mulai
mengeras.
“Tapi
minta bolos itu namanya ‘macam-macam’. Se67
..............
............ .......... ........ ........ .......... .................... ..........
......
Ubud?”
“Saya
udah kasih enam bulan buat Papa. Dan sekarang
saya
cuma minta satu minggu ....”
“Memangnya
kamu kuliah buat saya?” sergah ayahnya.
Keenan
tak menjawab, hanya menghela napas, seolah
menghadapi
pertanyaan retoris yang semua orang di situ
tahu
jawabnya.
Tawa
canda yang tadi semarak seperti menguap tanpa
bekas,
berganti dengan ketegangan yang sunyi. Empat orang
duduk
kaku tanpa suara.
“Aku
yakin Keenan nanti bisa mengejar ketinggalan satu
minggunya,”
akhirnya Lena berkata.
“Terserah,”
sahut suaminya setengah menggumam, lalu
berdiri
dan pergi.
Semua
perlengkapannya sudah terkemas rapi. Begitu juga
dengan
Jeroen yang bahkan sudah siap packing sejak dua
hari
yang lalu. Dia akan menemani abangnya beberapa hari
di
Ubud, sebelum menyusul teman-temannya yang study
tour
di Kuta. Jeroen mengaku bisa mati bosan di Ubud yang
sepi,
tapi ia rela mengorbankan beberapa hari liburannya
demi
menghabiskan waktu bersama Keenan.
Hanya
ada satu hal yang Keenan ingin lakukan sebelum
dia
pergi ke bandara sebentar lagi. Dibukanya buku kecil
berisikan
daftar nomor telepon teman-temannya, mencari
satu
nama.
“Halo
....” Suara remaja cewek menyambutnya.
“Selamat
pagi, bisa bicara dengan Kugy?”
Suara
dari ujung sana terdengar riuh, berlatar belakang
..............
.............. ............ .......... ......................
.................. ......................
68
........
............ ............ ...................... .................... ........
............ ............
puan
yang menyahut.
..........
.......... .......... .......... .............. ........ ..................
............ ........ ............
laki-laki
menimpali.
Lalu
terdengar langkah kaki berderap menuruni tangga.
............
.......... .......... ...... ............ ............ ....................
..................
............ ........ .......... ...... ............ .............. ........
....................
........
.......... ................ ........ ..............
“Halo,”
akhirnya terdengar suara Kugy menyapa.
“Hai,
Gy.”
Mata
Kugy membundar seketika. “Keenan?”
“Iya.
Rame banget di rumah kamu. Lagi ada acara?”
“Oh,
nggak. Tiap hari memang begini,” Kugy tertawa
kecil,
“kamu ... apa kabar? Kok, tumben telepon? He-he, bukannya
nggak
boleh, lho. Cuma aneh aja. Bukan aneh
gimana,
sih. Cuma ... yah ....” Kugy mulai salah tingkah.
“Saya
mau ke Bali, mungkin sampai sebulan. Mau pamitan.”
“Oh
....”
“Habis
ini saya juga mau telepon Eko atau Noni. Pamitan
juga,”
gugup Keenan menambahkan. “Mau oleh-oleh apa?”
“Hmm.
Apa, ya?” Kugy berpikir-pikir, “Kaus barong udah
punya
lima, sarung pantai ada tiga, miniatur papan ............
ada
satu ....”
“Kacang
asin?”
..........
.............. .......... ............ .................. ..........
............ ............ ......
beli.”
“Jadi
dicuri?”
Kugy
tergelak, “Bukan. Sesuatu yang harus dibikin.”
“Oke,”
Keenan tersenyum, “saya janji.”
Terasa
ada sesuatu yang mengaliri darahnya. Kugy merasa
hangat.
Terasa ada sesuatu yang menariki kedua ujung
bibirnya.
Kugy merasa ingin terus tersenyum. Sekilas Kugy
69
melihat
bayangannya di lemari kaca, dan merasa tolol sendiri.
“Gy
... udah harus cabut, nih. Sori nggak bisa telepon
lama-lama.
Baik-baik, ya. Sampai ketemu semester depan.”
“Sip.
Sampai ketemu semester depan.” Dan telepon itu
ditutup
dari ujung sana. Kugy meletakkan gagang telepon
dengan
hati-hati, lalu terduduk lama. Percakapan telepon
barusan
tak sampai dua menit, tapi serasa waktu telah melemparkan
jangkarnya
dan berhenti di sana. Dan kini perlahan
Kugy
mencabut jangkar tadi, kembali ke ruang keluarga
rumahnya,
kembali bersama kegaduhan yang rutin
berlangsung
di sana.
Ubud,
Desember 1999 ...
Meski
terletak di Desa Lodtunduh yang agak jauh dari pusat
kota,
semua orang di Ubud tahu keberadaan kompleks keluarga
satu
itu. Di sana tinggallah Pak Wayan dan keluarga
besarnya,
di sebuah tanah berbukit-lembah yang dilewati
sungai
dengan luas hampir lima hektar. Semua anggota keluarga
itu
menjadi seniman-seniman besar. Ada yang mendalami
lukis,
ukir, patung, tari, bahkan perajin perhiasan.
Seolah-olah
semua ragam seni di Bali memiliki wakilnya
masing-masing
di keluarga tersebut. Satu bulan di tempat
keluarga
Pak Wayan membayar seluruh kerinduan Keenan
terhadap
seni, sekaligus mengisi baterainya untuk berbulanbulan
ke
depan.
Ibunya
adalah sahabat lama Pak Wayan, dan Keenan mengenal
sosok
pria itu sejak kecil. Pertemuannya dengan Pak
Wayan
terbilang jarang, tapi amat membekas di hati. Ia bertemu
dengan
pria itu hanya jika ibunya mengunjungi pameran
lukisan
Pak Wayan di galeri di Jakarta. Inilah kun70
jungan
pertamanya ke Desa Lodtunduh, tempat yang selama
ini
cuma ia lihat dari foto-foto yang dikirimi Pak Wayan.
Keenan
langsung jatuh cinta pada tempat itu. Ia merasa bisa
tinggal
selamanya di sana.
Sejak
pindah ke Amsterdam, baru kali inilah Keenan bertemu
langsung
dengan Pak Wayan lagi. Keduanya tak berhenti
berkorespondensi.
Keenan selalu mengirimkan fotofoto
lukisannya,
begitu juga dengan Pak Wayan. Keenan
bahkan
berkorespondensi dengan beberapa keponakan Pak
Wayan
yang seumur dengannya, dan mereka akrab seperti
saudara
meski belum pernah bertemu langsung. Kedatangannya
kali
ini memang lebih terasa seperti mengunjungi keluarga
di
kampung halaman.
Tidak
setiap hari Keenan menghabiskan waktunya untuk
melukis,
terkadang ia merasa cukup puas hanya menontoni
aneka
kegiatan seni yang dilakukan sanak-saudara itu. Seharian
ini
ia cuma menguntit Banyu, salah satu keponakan
Pak
Wayan, yang sedang mengerjakan pesanan patung.
Pak
Wayan berdiri tak jauh dari sana, tempat Keenan
jongkok
di sebelah Banyu dengan mata nyaris tak berkedip.
“Tertarik
belajar mahat, Nan? Serius sekali.”
Keenan
tertawa ringan. “Cuma mengagumi, Poyan. Saya
belum
pernah coba. Poyan sendiri—bisa memahat?”
Pak
Wayan gantian tertawa sambil memampangkan kedua
telapaknya,
“Ini jari kuas. Bukan jari perkakas. Biar
sajalah
itu jadi jatahnya Banyu dan bapaknya.”
“Dicoba
saja, Nan. Siapa tahu cocok ...,” Banyu ikut
menimpali.
Keenan
melihat sekelilingnya. Bonggol-bonggol kayu dan
perkakas
pahat yang berserakan. Air mukanya mulai menunjukkan
ketertarikan.
“Sudah,
tunggu apa lagi? Mumpung bapaknya si Banyu
71
juga
lagi di sini. Jadi kamu bisa tanya-tanya. Karya mereka
ini
bahkan disegani di Desa Mas, pusatnya seni patung,” Pak
Wayan
ikut memanas-manasi.
“Oke,
oke. Hari ini saya nonton dulu aja, Poyan,” sambil
mesem-mesem
Keenan berkata. Ia pun kembali menontoni
Banyu
dengan setia.
Menjelang
petang, Keenan kembali masuk ke studio patung
keluarga
Pak Putu. Kali ini ia cuma sendirian di sana. Di
studio
itulah Pak Putu dan anaknya, Banyu, biasa bekerja.
Hanya
terpisahkan sepetak taman dengan studio lukis Pak
Wayan.
Ada
banyak bahan mentah berbagai ukuran yang teronggok
di
sana. Keenan mengenali beberapa. Ada kayu sonokeling,
kayu
kamboja, kayu suar, kayu belalu, kayu ketapang,
dan
beberapa elemen tambahan seperti akar, serat, serta
ranting-ranting.
Setelah membolak-balik beberapa bahan,
Keenan
akhirnya mengambil sepotong kayu yang berukuran
agak
kecil.
Memulai
dari yang kecil, pikirnya. Tak lama kemudian,
Keenan
mengambil posisi, menyiapkan perkakas yang ia
butuhkan,
dan mulai memahat. Sampai larut malam ia tak
keluar-keluar
dari sana.
72
Jakarta,
Desember 1999 ...
Kugy
punya kesibukan baru sekarang. Ia kembali seperti
anak
sekolah yang punya tugas prakarya. Ia memfotokopi
semua
sketsa dari Keenan, lalu memotongnya menjadi
kotak-kotak.
Printer kecil di kamarnya tak henti-henti berbunyi,
mencetak
seluruh dokumen dongengnya. Setelah semua
siap,
Kugy mulai menggabungkan teks-teks dongengnya
dengan
sketsa-sketsa Keenan, membuat semacam buku
buatan
tangan. Dan ia mengerjakan setiap detail dengan sepenuh
hati.
Ada
satu tanggal yang menginspirasinya untuk membuat
buku
itu. Tanggal itu jugalah yang mendorongnya untuk
bekerja
dengan semangat penuh. Kugy sudah melingkari
tanggal
itu di kalendernya. Tanggal yang hanya terpaut sehari
dari
ulang tahunnya sendiri.
9.
PROYEK
PERCOMBLANGAN
73
Kuta,
malam tahun baru 2000 ...
Keenan
memutuskan keluar dari ‘‘gua beruang’’-nya, turun
gunung
dari Ubud. Malam ini ia ikut dengan Banyu dan
Agung
ke Kuta untuk bertahun baru. Jalan Legian penuh
sesak
dengan orang-orang, mobil-mobil bahkan nyaris tak
bergerak.
Hampir setiap kafe dipadati pengunjung yang sampai
tumpah
ruah ke trotoar jalan. Mereka bertiga bahkan
harus
bicara dengan berteriak-teriak.
“Jadi,
kita mau ke mana?” seru Banyu pada keduanya.
Mobil
mereka sudah diparkir di sebuah rumah dan mereka
memutuskan
untuk jalan kaki.
Keenan
mengangkat bahu, berdiri di pinggir jalan saja
sudah
terasa sedang berpesta saking ramainya. Sejujurnya,
ia
malah ingin cepat pulang ke Lodtunduh.
Agung
menunjuk satu kafe di pojokan jalan. “Ke situ
............
........ .................... .............. ............ ............
.......... ............ .......... ............
............
Mereka
bertiga akhirnya bergerak menuju kafe temaram
berhiaskan
ornamen-ornamen Buddha yang hanya beberapa
puluh
meter dari tempat mereka berdiri tadi. Namun, langkah
Keenan
sempat tersendat ketika ia melihat wartel kecil
yang
menyempil di antara toko-toko.
................
.............. .................. ........ ............ ..............
.......... ................
seru
Keenan sambil memasuki wartel itu. Ada satu bilik
yang
kosong. Keenan segera merogoh dompetnya, mencari
catatan
kecil yang ia selipkan.
Nomor
telepon seluler yang ia hubungi tersambung ke
kotak
suara. Ia mencoba satu nomor lagi.
“Halo
....”
Keenan
masih ingat suara itu. Suara yang juga mengangkat
telepon
darinya terakhir kali.
“Halo,
bisa bicara dengan Kugy?”
74
“Sebentar,
ya,” suara itu menyahut manis. Dan saat kop
telepon
dijauhkan, suara manis itu berubah menjadi teriakan
..................
.................. .......... .......... ............ .......... ............
........ ............
............
................ .......... ............ .......... .............. ........
............ ........ ..........
telepon
aku sih dari tadi?”
..............
.............. ............ ............ ........ .......... ............
.................... ......
nyahut.
“Dasar
ABG. Entar tuaan dikit kamu bakal males terima
telepon,
tauk.”
“Kalo
teleponnya buat orang lain melulu, nggak usah
nunggu
tua, sekarang juga udah males.”
Lalu
terdengar suara derap kaki menuruni tangga. Sejenak
kemudian
telepon itu berpindah tangan. “Halo?”
Keenan
spontan tersenyum. Sepotong ‘‘halo’’ yang baru
saja
ia dengar sudah cukup membuat suasana hatinya kembali
cerah.
“Kamar
kamu di lantai atas, ya? Saya selalu dengar kamu
lari-lari
turun tangga.”
“Keenan?”
Kugy hampir melonjak dari tempat duduknya.
............
........ ..............
“Kabar
baik. Saya lagi di Kuta, mau tahun baruan dengan
keponakan-keponakannya
Pak Wayan. Tadi tiba-tiba inget
kamu,
dan kepingin nelepon. Saya pikir kamu nggak bakal
ada
di rumah. Nggak ada acara?”
“Tawaran
banyak, tapi aku tolak semua,” Kugy terkekeh.
“Ada
acara di rumah?”
“Nggak
juga. Aku lagi ada kerjaan.”
Mata
Keenan membesar, “Sebegitu pentingnya sampai
melewatkan
tahun baruan segala?”
“Hmm
... begitulah,” jawab Kugy sambil melirik
jemarinya
yang masih bersaputkan sisa lem akibat kegiatan
tempel
menempelnya sejak beberapa hari terakhir.
75
“Di
sini kan lebih awal sejam, dan sebentar lagi udah
mau
jam 12. Jadi ... selamat tahun baru, ya, Kecil. Jangan
cepat
gede, nanti nggak seru lagi.”
Entah
mengapa, omongan Keenan yang setengah bercanda
itu
malah membuat Kugy terharu. “Makasih. Selamat
tahun
baru juga,” ucapnya setelah menelan ludah terlebih
dulu.
“Saya
sebetulnya pingin cerita banyak. Tapi begitu nelepon,
malah
bingung. Mungkin nanti aja kalau kita ketemu
di
Bandung lagi, ya.”
Dalam
hati, Kugy merasakan sebersit kecewa. Agaknya
percakapan
telepon ini tidak akan lebih dari dua menit lagi.
“Oleh-oleh
buatku—nggak lupa, kan?”
“Kaus
barong?” gurau Keenan, yang langsung disahut gelak
tawa
di ujung sana. Sementara itu pikirannya melayang
pada
satu benda yang hampir tak lepas dari tangannya beberapa
hari
terakhir ini, yang membuat Pak Wayan dan
Banyu
geleng-geleng kepala saking seriusnya Keenan mengulik
benda
satu itu, bolak-balik dihaluskan dan disempurnakan
setiap
hari.
“Pokoknya
kamu utang Pemadam Kelaparan kalau sampai
nanti
cuma bawain kaus barong, atau sarung pantai, atau
miniatur
papan ............ ....”
“Kacang
asin?”
“Seneng
amat sih sama kacang asin.”
“Saya
bakal bawain itu semua, plus sesuatu yang saya
bikin.
Jadi, kita tetap nge-date ke Pemadam Kelaparan. Gimana?”
“Setuju,”
ujar Kugy berseri-seri.
Tak
lama kemudian, telepon itu disudahi. Kembali Kugy
melirik
jam. Dugaannya benar. Telepon dua menit itu kembali
terjadi.
Dan kembali Sang Waktu membuang sauhnya,
berhenti
di sana. Dan kembali Kugy mendapatkan dirinya
76
tertambat
dalam ruang dan waktu yang membeku, tempat
segala
kenangan tentang mereka dikristalkan.
Bandung,
Januari 2000 ...
Tiga
orang itu menduduki meja kebangsaan mereka dengan
membawa
piring masing-masing. Ketiganya juga membawa
kisah
masing-masing seputar kegiatan mereka selama liburan
semester.
Eko
memulai dengan menceritakan program penyembuhan
yang
telah dijalani Fuad. “Fuad udah ganti mesin,
ibarat
orang nyawanya diganti baru. Sekarang Fuad bodinya
............
.......... .......... .............. .......... ....................
“Yang
dalam bahasa Indonesia artinya adalah ...?”
“Statistik
mogok Fuad akan menurun dan hidup kalian
lebih
tenteram,” demikian penutup dari Eko.
....................
.......... ........ .......... ..................
“Lu
ngapain aja, Gy?” tanya Noni.
“Gua
banyak di rumah. Merenungi nasib.”
“Nggak
ada yang lebih menarik?” Eko melengos.
“Gua
juga lagi bikin ....” Kugy terdiam sejenak, merasa
tidak
perlu melanjutkan.
“Gantung
amat,” celetuk Noni.
“Lu
ngapain aja, Non?” Kugy balas bertanya, cepat-cepat
mengalihkan
bola panas itu.
Wajah
Noni seketika cerah seperti disorot lampu, seperti
hendak
menyampaikan berita spektakuler yang disimpannya
sejak
tadi. “Gua udah cerita dikit ke Eko soal ini, dan dia
juga
setuju kalo rencana ini sangat brilian.”
Mata
Kugy ikut berbinar. Duduknya menegak. “Kayaknya
seru,
nih ...,” desisnya penasaran.
“Dimulai
dengan Latar Belakang Masalah,” celetuk Eko.
77
“Oke.
Latar Belakang Masalah. Ehm. Jadi begini,” Noni
mulai
memaparkan, “selama ini ada ketimpangan di geng
kita.
Lu punya pacar, gua punya pacar, cuma Keenan doang
yang
jomblo. Dan anak itu kayaknya terlalu antisosial untuk
cari
pacar sendiri. Jadi ....”
Napas
Kugy mendadak tertahan.
“Jadi
... Neng satu ini mau mencoba peruntungannya jadi
Mak
Comblang,” timpal Eko seraya menyentuh sekilas ujung
hidung
Noni.
“Gua
punya saudara, sepupu nggak langsung sih, tapi hubungan
kita
lumayan deket. Dia lama tinggal di Melbourne.
Sekarang
ini dia lagi cuti kuliah, pulang ke Indonesia buat
magang
di perusahaan bokapnya. Dia mau main ke Bandung
minggu
depan. Pas banget momennya dengan Keenan pulang
dari
Bali,” Noni melanjutkan.
Badan
Kugy rasanya semakin tidak rileks. “Terus?” tanyanya.
“Terus
... ya, mereka berdua mau dipertemukan, gitu lho,
Jeng
Kugy,” Eko menyambar.
“Memangnya
Keenan mau dicomblangin gitu? Kok gua
nggak
yakin,” kata Kugy. Ia sungguh tidak bisa memaksakan
diri
untuk tampak antusias dengan proyek Noni.
“Jangan
ketahuan, dong. Semuanya harus na-tu-ral,”
Noni
mengeja, “yang tahu percomblangan ini cukup kita bertiga
doang.”
“Kalian
berdua aja, deh. Gua nggak bakat nyomblangin
orang.
Statistik kegagalan gua seratus persen,” sahut Kugy
malas.
Tubuhnya yang tadi tegak kini kembali bersandar ke
kursi.
“Lu
kok pesimis gitu, Gy,” tukas Eko. “Bayangkan, nanti
kita
bisa triple-date. Gua dan Noni, lu dan Ojos, Keenan
dan—siapa
namanya?”
“Wanda.”
78
“…
dan Wanda. Seru, kan?”
“Yah,
gua hargai optimisme lu. Tapi udahlah, mereka berdua
ketemu
aja belum. Belum tentu nyantol. Nggak usah
mengkhayal
triple-date dulu,” kata Kugy, hampir tak bisa
menutupi
nada suaranya yang berubah ketus.
“Bukannya
lu yang selama ini seorang pengkhayal profesional?
Aneh,”
komentar Eko.
Noni
terkekeh, “Kalo cuma soal nyantol, gua yakin mereka
bakal
nyantol.”
“Oh,
ya?” Kugy menyahut sangsi.
“Lihat
aja nanti,” Noni tersenyum simpul.
Bukan
hanya karena pembicaraan di Pemadam Kelaparan
tadi
siang, sudah beberapa minggu belakangan ini Kugy merasa
ada
yang tidak beres dengan dirinya. Meski rasanya
sudah
di ujung lidah, Kugy belum bisa menguraikan apa
yang
sesungguhnya terjadi. Tidak juga pada dirinya sendiri.
Ia
merasa sudah saatnya bicara dengan seseorang. Kugy berharap
bisa
memperoleh kejelasan dengan setidaknya memberanikan
diri
untuk bercerita.
Diketuknya
pintu Noni yang setengah terbuka, “Non ...
lagi
sibuk?”
Noni
tengah berbicara dengan seseorang di ponselnya.
Namun,
isyarat tangannya menyuruh Kugy untuk masuk.
Kugy
pun duduk menunggu di sudut tempat tidur.
“Oke
... weekend depan udah pasti, ya? Perlu dijemput?
Ya.
Nanti aku sama Eko jemput kamu ke hotelmu aja, baru
kita
jalan bareng. Iya ... nanti ada teman-temanku juga. Oke.
..............
................ ........ Take care ... bye!” Noni meletakkan
ponselnya,
“Sori, Gy. Gua baru teleponan sama Wanda.
What’s
up?”
79
Mendengar
nama itu, kembali rasa tidak nyaman merambati
tubuh
Kugy. Ia merasa makin tidak beres. Ditatapnya
Noni
yang juga menatapnya dengan tatapan menunggu.
Entah
kenapa, tiba-tiba Kugy merasa Noni bukanlah orang
yang
tepat untuk diajak bicara masalah ini, tidak dengan
adanya
proyek percomblangan yang sepertinya betul-betul
diseriusi
sahabatnya itu.
“Kenapa,
Gy?” Noni bertanya lagi.
“Nggak.
Nggak jadi. Gua lupa mau ngomong apa. He-he.
Sori,”
Kugy pun bangkit berdiri.
“Yakin?”
Noni mengamati air muka sahabatnya. “Hari ini
lu
banyak gantung, deh.”
“Mungkin
udah saatnya gua bertobat dan banyak berbuat
baik,”
cetus Kugy asal sambil ngeloyor pergi.
“Dasar
gila,” Noni nyengir, lalu menutup pintu kamarnya.
80
Lewat
pukul lima, Kugy baru sampai ke tempat kosnya. Ia
baru
saja kembali dari pertemuan Klub Kakak Asuh yang
mengundangnya
untuk menjadi pengajar sukarela di sebuah
sekolah
dasar darurat. Sekolah itu akan dinamai “Sakola
Alit”
dan akan mengambil tempat di alam terbuka di daerah
perbukitan
Bojong Koneng. Tepatnya, mereka tak punya
dana
cukup untuk menyewa bangunan dan terpaksa melaksanakan
kegiatan
belajar mengajar di saung-saung ladang
atau
di bawah pohon.
“Kamu
nggak percaya kan di kota secanggih Bandung ini
masih
ada anak-anak yang nggak bisa baca tulis, padahal
umur
mereka sudah sembilan-sepuluh tahun?” kata Ami
pada
Kugy di pertemuan tadi.
“Jadi,
kita harus mulai dari mana?” Kugy bertanya.
“Kita
akan bagi tiap kelas sesuai kemampuan mereka
masing-masing.
Kelas paling dasar hanya akan belajar membaca,
menghitung,
dan menggambar. Persis pelajaran anak
TK.
Tapi dalam satu kelas umurnya bisa bervariasi, dari mulai
empat
tahun sampai sepuluh tahun.”
10.
KURATOR
MUDA
81
Kugy
terdiam mendengar penjelasan itu. Matanya tak lepas
mengamati
foto-foto anak-anak yang akan dibina oleh
Ami
dan teman-temannya.
“Kamu
pikirkan dulu aja, Gy. Kita berkomitmen mengajar
mereka
empat hari seminggu. Jadi lumayan menyita waktu.”
“Berapa
sukarelawan yang sudah terkumpul sekarang?”
“Dua
orang, termasuk aku.”
“Anak
yang harus diajar?”
“Dua
puluh dua.”
Kugy
terdiam lagi. “Oke, aku kabari dalam minggu ini,
ya.”
Sepanjang
perjalanan pulang, Kugy tak bisa menanggalkan
wajah
anak-anak itu dari ingatannya. Perhatiannya baru teralih
saat
ia membuka pintu kamar dan melihat ada setumpuk
benda
asing di tempat tidur. Kugy menyalakan lampu.
................
........ ........................ .................. .............. ..........
....................
Terdengar
ada suara yang menyahut dari kamar sebelah.
Tak
lama, Noni muncul di pintu.
“Keenan
ke sini?” tanya Kugy segera.
“Iya,
tadi dia mampir sama Eko, cari lu, tapi nggak ada.
Dia
titip oleh-oleh, tuh. Udah lihat, ya?”
Kugy
mengangguk, menatap kaus putih bergambar barong
dan
sarung hitam bercorak yang terlipat rapi. Di atasnya
tergeletak
papan ..............mini dan sekotak kacang asin.
“Nanti
malam gua sama Eko janjian mau ke tempat kosnya.
Mau
ikut, nggak?”
............
............ .......... .................. ..................
.................. ........ ..........
gup
menyembunyikan kegembiraan yang membeludak.
Ketika
Noni sudah keluar, Kugy membuka laci meja
belajarnya.
Sekadar mengecek buku buatan tangannya yang
kini
sudah rampung. Sesuatu serasa merekah di hatinya. Tak
sabar
rasanya menanti malam datang.
82
“Udah
siap, Gy?” Noni melongok ke kamar Kugy dan sedikit
terperanjat,
“tumben lu agak cakepan.”
“Nggak
... biasa aja, kok.” Gugup, Kugy merapikan baju
terusan
hitam selututnya. Baju terbaik yang pernah ia miliki
dan
tak pernah keluar lemari saking istimewanya. Tahutahu,
Kugy
menyambar jaket jins Karel dan buru-buru mengenakannya.
“Yaaah
... rusak lagi, deh,” Eko tertawa, “tapi lebih sesuai
..............
............ ........ ........
Tiba-tiba
sesosok perempuan tak dikenal muncul di balik
punggung
Eko dan Noni. Tubuh semampai itu melangkah
anggun
dalam jins ketat dan tank-top. Sepatu wedge yang
tebal
dan trendi tampak serasi dengan tas kecil yang ia pegang.
Rambut
panjang itu tampak tertata rapi seperti baru
keluar
dari salon. Semilir parfum .......... tercium di udara
tiap
kali perempuan itu bergerak. Dan semua itu membuat
Kugy
terpaku.
“Gy,
kenalin. Ini sepupu gua, Wanda,” Noni berkata.
“Wanda,”
ia mengulang namanya dengan nada merdu
bak
resepsionis kantor.
Kugy
menerima uluran tangan Wanda. Tampak barisan
kuku
terlapis cat biru metalik yang berkilau tertimpa sinar
lampu.
Kugy pun menyadari, bola mata Wanda dilapisi lensa
kontak
biru yang serasi dengan warna kukunya. Setiap inci
penampilan
Wanda seperti direncanakan dengan matang.
Satu
hal yang rasanya mustahil dilakukan Kugy.
“Non,
shall we?” Wanda memutar tubuhnya menghadap
Noni.
“Gua
nyusul bentar lagi. Kalian duluan aja ke depan,”
ujar
Kugy. Dan ketika tiga orang itu pergi, Kugy mengempaskan
tubuhnya
ke tempat tidur. Perasaannya campur aduk.
83
Ada
kegelisahan yang nyaris tak bisa ia tahankan. Segala
sesuatu
tentang Wanda, rencana Noni, dan aneka kemungkinan
yang
bisa terjadi malam ini, seperti melumpuhkan
sistemnya.
Dan Kugy akhirnya memutuskan sesuatu.
Ia
berlari ke depan, menemui teman-temannya yang sudah
menunggu
di mobil, membuat alasan palsu yang membatalkan
kepergiannya
ke tempat kos Keenan. Sebagai ganti,
Kugy
meringkuk di tempat tidurnya semalaman.
Dari
dalam kamar, Keenan sudah bisa mendengar Fuad menepi.
Tak
lama, ia mendengar langkah-langkah kaki mendekati
kamarnya.
Keenan pun segera berdiri, membuka
pintu.
Sejenak ia menyadari detak jantungnya yang sedikit
bertambah
cepat, seolah mengantisipasi sesuatu.
Pintu
terbuka. Tampak Noni dan Eko nyengir selebarlebarnya.
“Si
Kecil mana?” tanya Keenan langsung.
Terdengar
suara hak sepatu beradu dengan ubin dari kejauhan,
menuju
arah mereka. “Sorry, guys. I just dropped
my
contact. Untung ketemu lagi ....”
Keenan
terheran-heran melihat seorang cewek tinggi tak
dikenal
berjalan ke arah mereka dengan mata berkedipkedip
seperti
orang kelilipan. Ia ganti menatap Noni dan
Eko,
meminta penjelasan.
“Nan,
ini Wanda. Sepupu gua dari Melbourne. Kamu pernah
dengar
Galeri Warsita di Menteng, nggak? Nah, ayah
Wanda
itu pemiliknya. Wanda senang lukisan juga. Dia pokoknya
ngerti
banget soal yang seni-seni gitu. Gua bilang
juga
ke dia kalo lu hobi melukis. Wanda ceritanya lagi
hunting
lukisan di Bandung, lho,” Noni menyerocos seperti
tukang obat sedang
promosi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar