Cari Blog Ini

Selasa, 30 Juli 2013

Perahu Kertas 1 ( part 5 )


Maaf lagi nih aku baru sempat Posting Perahu kertas 1 lagi. Baru selesai MOS, dan baru aja masuk SMP.Akhirnya masuk Smp favorite juga *curhat, abaikan. Langsung baca aja lah... ini...
 


8.
MEMULAI DARI YANG KECIL
66
“Bagus,” sahut ayahnya datar, ditambah sedikit manggutmanggut.
Namun, ada kepuasan yang tak bisa disembunyikan

membersit di wajahnya. “Sudah kubilang kamu memang cocok
kuliah di Ekonomi. 0,3 lagi untuk IP sempurna, semester
depan kira-kira bisa?”
“Mungkin,” jawab Keenan pendek.
“Apa pun yang kamu butuh, komputer baru, buku-buku
referensi ... bilang saja. Nanti Papa siapkan.”
“Saya mau minta waktu.”
Cangkir teh itu segera diletakkan di meja. “Maksud
kamu?”
“Saya minta ekstra seminggu dari jatah liburan kuliah.”
“Dia minta waktu lebih lama di Ubud ...” Lena berusaha
menjelaskan.
“Aku ngerti maksudnya,” potong ayahnya tajam. “Kamu
minta izin seminggu bolos kuliah, gitu?”
Keenan mengangguk.
“Buat Papa, kuliah kamu harus jadi prioritas. Dan kamu
sudah membuktikan itu di semester ini. Lalu ... kamu malah
minta hadiah berupa ... bolos kuliah?”
Keenan mengangguk lagi.
“Aneh. Nggak ngerti,” ayahnya geleng-geleng kepala,
“lalu, barusan kamu bilang mau meningkatkan IP kamu sampai
4, gimana itu bisa terjadi kalau belum apa-apa langsung
bolos seminggu?”
“Saya kan nggak janji, Pa. Saya cuma bilang: mungkin.”
“Nan, jangan mulai sok pintar, ya ....”
“Pa, saya nggak minta macam-macam. Saya nggak minta
kendaraan. Saya nggak minta komputer baru. Saya nggak
minta buku apa-apa. Saya cuma minta waktu tambahan satu
minggu di tempat Pak Wayan.” Nada bicara Keenan mulai
mengeras.
“Tapi minta bolos itu namanya ‘macam-macam’. Se67
.............. ............ .......... ........ ........ .......... .................... .......... ......
Ubud?”
“Saya udah kasih enam bulan buat Papa. Dan sekarang
saya cuma minta satu minggu ....”
“Memangnya kamu kuliah buat saya?” sergah ayahnya.
Keenan tak menjawab, hanya menghela napas, seolah
menghadapi pertanyaan retoris yang semua orang di situ
tahu jawabnya.
Tawa canda yang tadi semarak seperti menguap tanpa
bekas, berganti dengan ketegangan yang sunyi. Empat orang
duduk kaku tanpa suara.
“Aku yakin Keenan nanti bisa mengejar ketinggalan satu
minggunya,” akhirnya Lena berkata.
“Terserah,” sahut suaminya setengah menggumam, lalu
berdiri dan pergi.
Semua perlengkapannya sudah terkemas rapi. Begitu juga
dengan Jeroen yang bahkan sudah siap packing sejak dua
hari yang lalu. Dia akan menemani abangnya beberapa hari
di Ubud, sebelum menyusul teman-temannya yang study
tour di Kuta. Jeroen mengaku bisa mati bosan di Ubud yang
sepi, tapi ia rela mengorbankan beberapa hari liburannya
demi menghabiskan waktu bersama Keenan.
Hanya ada satu hal yang Keenan ingin lakukan sebelum
dia pergi ke bandara sebentar lagi. Dibukanya buku kecil
berisikan daftar nomor telepon teman-temannya, mencari
satu nama.
“Halo ....” Suara remaja cewek menyambutnya.
“Selamat pagi, bisa bicara dengan Kugy?”
Suara dari ujung sana terdengar riuh, berlatar belakang
.............. .............. ............ .......... ...................... .................. ......................
68
........ ............ ............ ...................... .................... ........ ............ ............
puan yang menyahut.
.......... .......... .......... .......... .............. ........ .................. ............ ........ ............
laki-laki menimpali.
Lalu terdengar langkah kaki berderap menuruni tangga.
............ .......... .......... ...... ............ ............ ....................
.................. ............ ........ .......... ...... ............ .............. ........ ....................
........ .......... ................ ........ ..............
“Halo,” akhirnya terdengar suara Kugy menyapa.
“Hai, Gy.”
Mata Kugy membundar seketika. “Keenan?”
“Iya. Rame banget di rumah kamu. Lagi ada acara?”
“Oh, nggak. Tiap hari memang begini,” Kugy tertawa
kecil, “kamu ... apa kabar? Kok, tumben telepon? He-he, bukannya
nggak boleh, lho. Cuma aneh aja. Bukan aneh
gimana, sih. Cuma ... yah ....” Kugy mulai salah tingkah.
“Saya mau ke Bali, mungkin sampai sebulan. Mau pamitan.”
“Oh ....”
“Habis ini saya juga mau telepon Eko atau Noni. Pamitan
juga,” gugup Keenan menambahkan. “Mau oleh-oleh apa?”
“Hmm. Apa, ya?” Kugy berpikir-pikir, “Kaus barong udah
punya lima, sarung pantai ada tiga, miniatur papan ............
ada satu ....”
“Kacang asin?”
.......... .............. .......... ............ .................. .......... ............ ............ ......
beli.”
“Jadi dicuri?”
Kugy tergelak, “Bukan. Sesuatu yang harus dibikin.”
“Oke,” Keenan tersenyum, “saya janji.”
Terasa ada sesuatu yang mengaliri darahnya. Kugy merasa
hangat. Terasa ada sesuatu yang menariki kedua ujung
bibirnya. Kugy merasa ingin terus tersenyum. Sekilas Kugy
69
melihat bayangannya di lemari kaca, dan merasa tolol sendiri.
“Gy ... udah harus cabut, nih. Sori nggak bisa telepon
lama-lama. Baik-baik, ya. Sampai ketemu semester depan.”
“Sip. Sampai ketemu semester depan.” Dan telepon itu
ditutup dari ujung sana. Kugy meletakkan gagang telepon
dengan hati-hati, lalu terduduk lama. Percakapan telepon
barusan tak sampai dua menit, tapi serasa waktu telah melemparkan
jangkarnya dan berhenti di sana. Dan kini perlahan
Kugy mencabut jangkar tadi, kembali ke ruang keluarga
rumahnya, kembali bersama kegaduhan yang rutin
berlangsung di sana.
Ubud, Desember 1999 ...
Meski terletak di Desa Lodtunduh yang agak jauh dari pusat
kota, semua orang di Ubud tahu keberadaan kompleks keluarga
satu itu. Di sana tinggallah Pak Wayan dan keluarga
besarnya, di sebuah tanah berbukit-lembah yang dilewati
sungai dengan luas hampir lima hektar. Semua anggota keluarga
itu menjadi seniman-seniman besar. Ada yang mendalami
lukis, ukir, patung, tari, bahkan perajin perhiasan.
Seolah-olah semua ragam seni di Bali memiliki wakilnya
masing-masing di keluarga tersebut. Satu bulan di tempat
keluarga Pak Wayan membayar seluruh kerinduan Keenan
terhadap seni, sekaligus mengisi baterainya untuk berbulanbulan
ke depan.
Ibunya adalah sahabat lama Pak Wayan, dan Keenan mengenal
sosok pria itu sejak kecil. Pertemuannya dengan Pak
Wayan terbilang jarang, tapi amat membekas di hati. Ia bertemu
dengan pria itu hanya jika ibunya mengunjungi pameran
lukisan Pak Wayan di galeri di Jakarta. Inilah kun70
jungan pertamanya ke Desa Lodtunduh, tempat yang selama
ini cuma ia lihat dari foto-foto yang dikirimi Pak Wayan.
Keenan langsung jatuh cinta pada tempat itu. Ia merasa bisa
tinggal selamanya di sana.
Sejak pindah ke Amsterdam, baru kali inilah Keenan bertemu
langsung dengan Pak Wayan lagi. Keduanya tak berhenti
berkorespondensi. Keenan selalu mengirimkan fotofoto
lukisannya, begitu juga dengan Pak Wayan. Keenan
bahkan berkorespondensi dengan beberapa keponakan Pak
Wayan yang seumur dengannya, dan mereka akrab seperti
saudara meski belum pernah bertemu langsung. Kedatangannya
kali ini memang lebih terasa seperti mengunjungi keluarga
di kampung halaman.
Tidak setiap hari Keenan menghabiskan waktunya untuk
melukis, terkadang ia merasa cukup puas hanya menontoni
aneka kegiatan seni yang dilakukan sanak-saudara itu. Seharian
ini ia cuma menguntit Banyu, salah satu keponakan
Pak Wayan, yang sedang mengerjakan pesanan patung.
Pak Wayan berdiri tak jauh dari sana, tempat Keenan
jongkok di sebelah Banyu dengan mata nyaris tak berkedip.
“Tertarik belajar mahat, Nan? Serius sekali.”
Keenan tertawa ringan. “Cuma mengagumi, Poyan. Saya
belum pernah coba. Poyan sendiri—bisa memahat?”
Pak Wayan gantian tertawa sambil memampangkan kedua
telapaknya, “Ini jari kuas. Bukan jari perkakas. Biar
sajalah itu jadi jatahnya Banyu dan bapaknya.”
“Dicoba saja, Nan. Siapa tahu cocok ...,” Banyu ikut
menimpali.
Keenan melihat sekelilingnya. Bonggol-bonggol kayu dan
perkakas pahat yang berserakan. Air mukanya mulai menunjukkan
ketertarikan.
“Sudah, tunggu apa lagi? Mumpung bapaknya si Banyu
71
juga lagi di sini. Jadi kamu bisa tanya-tanya. Karya mereka
ini bahkan disegani di Desa Mas, pusatnya seni patung,” Pak
Wayan ikut memanas-manasi.
“Oke, oke. Hari ini saya nonton dulu aja, Poyan,” sambil
mesem-mesem Keenan berkata. Ia pun kembali menontoni
Banyu dengan setia.
Menjelang petang, Keenan kembali masuk ke studio patung
keluarga Pak Putu. Kali ini ia cuma sendirian di sana. Di
studio itulah Pak Putu dan anaknya, Banyu, biasa bekerja.
Hanya terpisahkan sepetak taman dengan studio lukis Pak
Wayan.
Ada banyak bahan mentah berbagai ukuran yang teronggok
di sana. Keenan mengenali beberapa. Ada kayu sonokeling,
kayu kamboja, kayu suar, kayu belalu, kayu ketapang,
dan beberapa elemen tambahan seperti akar, serat, serta
ranting-ranting. Setelah membolak-balik beberapa bahan,
Keenan akhirnya mengambil sepotong kayu yang berukuran
agak kecil.
Memulai dari yang kecil, pikirnya. Tak lama kemudian,
Keenan mengambil posisi, menyiapkan perkakas yang ia
butuhkan, dan mulai memahat. Sampai larut malam ia tak
keluar-keluar dari sana.
72
Jakarta, Desember 1999 ...
Kugy punya kesibukan baru sekarang. Ia kembali seperti
anak sekolah yang punya tugas prakarya. Ia memfotokopi
semua sketsa dari Keenan, lalu memotongnya menjadi
kotak-kotak. Printer kecil di kamarnya tak henti-henti berbunyi,
mencetak seluruh dokumen dongengnya. Setelah semua
siap, Kugy mulai menggabungkan teks-teks dongengnya
dengan sketsa-sketsa Keenan, membuat semacam buku
buatan tangan. Dan ia mengerjakan setiap detail dengan sepenuh
hati.
Ada satu tanggal yang menginspirasinya untuk membuat
buku itu. Tanggal itu jugalah yang mendorongnya untuk
bekerja dengan semangat penuh. Kugy sudah melingkari
tanggal itu di kalendernya. Tanggal yang hanya terpaut sehari
dari ulang tahunnya sendiri.
9.
PROYEK PERCOMBLANGAN
73
Kuta, malam tahun baru 2000 ...
Keenan memutuskan keluar dari ‘‘gua beruang’’-nya, turun
gunung dari Ubud. Malam ini ia ikut dengan Banyu dan
Agung ke Kuta untuk bertahun baru. Jalan Legian penuh
sesak dengan orang-orang, mobil-mobil bahkan nyaris tak
bergerak. Hampir setiap kafe dipadati pengunjung yang sampai
tumpah ruah ke trotoar jalan. Mereka bertiga bahkan
harus bicara dengan berteriak-teriak.
“Jadi, kita mau ke mana?” seru Banyu pada keduanya.
Mobil mereka sudah diparkir di sebuah rumah dan mereka
memutuskan untuk jalan kaki.
Keenan mengangkat bahu, berdiri di pinggir jalan saja
sudah terasa sedang berpesta saking ramainya. Sejujurnya,
ia malah ingin cepat pulang ke Lodtunduh.
Agung menunjuk satu kafe di pojokan jalan. “Ke situ
............ ........ .................... .............. ............ ............ .......... ............ .......... ............
............
Mereka bertiga akhirnya bergerak menuju kafe temaram
berhiaskan ornamen-ornamen Buddha yang hanya beberapa
puluh meter dari tempat mereka berdiri tadi. Namun, langkah
Keenan sempat tersendat ketika ia melihat wartel kecil
yang menyempil di antara toko-toko.
................ .............. .................. ........ ............ .............. .......... ................
seru Keenan sambil memasuki wartel itu. Ada satu bilik
yang kosong. Keenan segera merogoh dompetnya, mencari
catatan kecil yang ia selipkan.
Nomor telepon seluler yang ia hubungi tersambung ke
kotak suara. Ia mencoba satu nomor lagi.
“Halo ....”
Keenan masih ingat suara itu. Suara yang juga mengangkat
telepon darinya terakhir kali.
“Halo, bisa bicara dengan Kugy?”
74
“Sebentar, ya,” suara itu menyahut manis. Dan saat kop
telepon dijauhkan, suara manis itu berubah menjadi teriakan
.................. .................. .......... .......... ............ .......... ............ ........ ............
............ ................ .......... ............ .......... .............. ........ ............ ........ ..........
telepon aku sih dari tadi?”
.............. .............. ............ ............ ........ .......... ............ .................... ......
nyahut.
“Dasar ABG. Entar tuaan dikit kamu bakal males terima
telepon, tauk.”
“Kalo teleponnya buat orang lain melulu, nggak usah
nunggu tua, sekarang juga udah males.”
Lalu terdengar suara derap kaki menuruni tangga. Sejenak
kemudian telepon itu berpindah tangan. “Halo?”
Keenan spontan tersenyum. Sepotong ‘‘halo’’ yang baru
saja ia dengar sudah cukup membuat suasana hatinya kembali
cerah.
“Kamar kamu di lantai atas, ya? Saya selalu dengar kamu
lari-lari turun tangga.”
“Keenan?” Kugy hampir melonjak dari tempat duduknya.
............ ........ ..............
“Kabar baik. Saya lagi di Kuta, mau tahun baruan dengan
keponakan-keponakannya Pak Wayan. Tadi tiba-tiba inget
kamu, dan kepingin nelepon. Saya pikir kamu nggak bakal
ada di rumah. Nggak ada acara?”
“Tawaran banyak, tapi aku tolak semua,” Kugy terkekeh.
“Ada acara di rumah?”
“Nggak juga. Aku lagi ada kerjaan.”
Mata Keenan membesar, “Sebegitu pentingnya sampai
melewatkan tahun baruan segala?”
“Hmm ... begitulah,” jawab Kugy sambil melirik
jemarinya yang masih bersaputkan sisa lem akibat kegiatan
tempel menempelnya sejak beberapa hari terakhir.
75
“Di sini kan lebih awal sejam, dan sebentar lagi udah
mau jam 12. Jadi ... selamat tahun baru, ya, Kecil. Jangan
cepat gede, nanti nggak seru lagi.”
Entah mengapa, omongan Keenan yang setengah bercanda
itu malah membuat Kugy terharu. “Makasih. Selamat
tahun baru juga,” ucapnya setelah menelan ludah terlebih
dulu.
“Saya sebetulnya pingin cerita banyak. Tapi begitu nelepon,
malah bingung. Mungkin nanti aja kalau kita ketemu
di Bandung lagi, ya.”
Dalam hati, Kugy merasakan sebersit kecewa. Agaknya
percakapan telepon ini tidak akan lebih dari dua menit lagi.
“Oleh-oleh buatku—nggak lupa, kan?”
“Kaus barong?” gurau Keenan, yang langsung disahut gelak
tawa di ujung sana. Sementara itu pikirannya melayang
pada satu benda yang hampir tak lepas dari tangannya beberapa
hari terakhir ini, yang membuat Pak Wayan dan
Banyu geleng-geleng kepala saking seriusnya Keenan mengulik
benda satu itu, bolak-balik dihaluskan dan disempurnakan
setiap hari.
“Pokoknya kamu utang Pemadam Kelaparan kalau sampai
nanti cuma bawain kaus barong, atau sarung pantai, atau
miniatur papan ............ ....”
“Kacang asin?”
“Seneng amat sih sama kacang asin.”
“Saya bakal bawain itu semua, plus sesuatu yang saya
bikin. Jadi, kita tetap nge-date ke Pemadam Kelaparan. Gimana?”
“Setuju,” ujar Kugy berseri-seri.
Tak lama kemudian, telepon itu disudahi. Kembali Kugy
melirik jam. Dugaannya benar. Telepon dua menit itu kembali
terjadi. Dan kembali Sang Waktu membuang sauhnya,
berhenti di sana. Dan kembali Kugy mendapatkan dirinya
76
tertambat dalam ruang dan waktu yang membeku, tempat
segala kenangan tentang mereka dikristalkan.
Bandung, Januari 2000 ...
Tiga orang itu menduduki meja kebangsaan mereka dengan
membawa piring masing-masing. Ketiganya juga membawa
kisah masing-masing seputar kegiatan mereka selama liburan
semester.
Eko memulai dengan menceritakan program penyembuhan
yang telah dijalani Fuad. “Fuad udah ganti mesin,
ibarat orang nyawanya diganti baru. Sekarang Fuad bodinya
............ .......... .......... .............. .......... ....................
“Yang dalam bahasa Indonesia artinya adalah ...?”
“Statistik mogok Fuad akan menurun dan hidup kalian
lebih tenteram,” demikian penutup dari Eko.
.................... .......... ........ .......... ..................
“Lu ngapain aja, Gy?” tanya Noni.
“Gua banyak di rumah. Merenungi nasib.”
“Nggak ada yang lebih menarik?” Eko melengos.
“Gua juga lagi bikin ....” Kugy terdiam sejenak, merasa
tidak perlu melanjutkan.
“Gantung amat,” celetuk Noni.
“Lu ngapain aja, Non?” Kugy balas bertanya, cepat-cepat
mengalihkan bola panas itu.
Wajah Noni seketika cerah seperti disorot lampu, seperti
hendak menyampaikan berita spektakuler yang disimpannya
sejak tadi. “Gua udah cerita dikit ke Eko soal ini, dan dia
juga setuju kalo rencana ini sangat brilian.”
Mata Kugy ikut berbinar. Duduknya menegak. “Kayaknya
seru, nih ...,” desisnya penasaran.
“Dimulai dengan Latar Belakang Masalah,” celetuk Eko.
77
“Oke. Latar Belakang Masalah. Ehm. Jadi begini,” Noni
mulai memaparkan, “selama ini ada ketimpangan di geng
kita. Lu punya pacar, gua punya pacar, cuma Keenan doang
yang jomblo. Dan anak itu kayaknya terlalu antisosial untuk
cari pacar sendiri. Jadi ....”
Napas Kugy mendadak tertahan.
“Jadi ... Neng satu ini mau mencoba peruntungannya jadi
Mak Comblang,” timpal Eko seraya menyentuh sekilas ujung
hidung Noni.
“Gua punya saudara, sepupu nggak langsung sih, tapi hubungan
kita lumayan deket. Dia lama tinggal di Melbourne.
Sekarang ini dia lagi cuti kuliah, pulang ke Indonesia buat
magang di perusahaan bokapnya. Dia mau main ke Bandung
minggu depan. Pas banget momennya dengan Keenan pulang
dari Bali,” Noni melanjutkan.
Badan Kugy rasanya semakin tidak rileks. “Terus?” tanyanya.
“Terus ... ya, mereka berdua mau dipertemukan, gitu lho,
Jeng Kugy,” Eko menyambar.
“Memangnya Keenan mau dicomblangin gitu? Kok gua
nggak yakin,” kata Kugy. Ia sungguh tidak bisa memaksakan
diri untuk tampak antusias dengan proyek Noni.
“Jangan ketahuan, dong. Semuanya harus na-tu-ral,”
Noni mengeja, “yang tahu percomblangan ini cukup kita bertiga
doang.”
“Kalian berdua aja, deh. Gua nggak bakat nyomblangin
orang. Statistik kegagalan gua seratus persen,” sahut Kugy
malas. Tubuhnya yang tadi tegak kini kembali bersandar ke
kursi.
“Lu kok pesimis gitu, Gy,” tukas Eko. “Bayangkan, nanti
kita bisa triple-date. Gua dan Noni, lu dan Ojos, Keenan
dan—siapa namanya?”
“Wanda.”

78

“… dan Wanda. Seru, kan?”
“Yah, gua hargai optimisme lu. Tapi udahlah, mereka berdua
ketemu aja belum. Belum tentu nyantol. Nggak usah
mengkhayal triple-date dulu,” kata Kugy, hampir tak bisa
menutupi nada suaranya yang berubah ketus.
“Bukannya lu yang selama ini seorang pengkhayal profesional?
Aneh,” komentar Eko.
Noni terkekeh, “Kalo cuma soal nyantol, gua yakin mereka
bakal nyantol.”
“Oh, ya?” Kugy menyahut sangsi.
“Lihat aja nanti,” Noni tersenyum simpul.
Bukan hanya karena pembicaraan di Pemadam Kelaparan
tadi siang, sudah beberapa minggu belakangan ini Kugy merasa
ada yang tidak beres dengan dirinya. Meski rasanya
sudah di ujung lidah, Kugy belum bisa menguraikan apa
yang sesungguhnya terjadi. Tidak juga pada dirinya sendiri.
Ia merasa sudah saatnya bicara dengan seseorang. Kugy berharap
bisa memperoleh kejelasan dengan setidaknya memberanikan
diri untuk bercerita.
Diketuknya pintu Noni yang setengah terbuka, “Non ...
lagi sibuk?”
Noni tengah berbicara dengan seseorang di ponselnya.
Namun, isyarat tangannya menyuruh Kugy untuk masuk.
Kugy pun duduk menunggu di sudut tempat tidur.
“Oke ... weekend depan udah pasti, ya? Perlu dijemput?
Ya. Nanti aku sama Eko jemput kamu ke hotelmu aja, baru
kita jalan bareng. Iya ... nanti ada teman-temanku juga. Oke.
.............. ................ ........ Take care ... bye!” Noni meletakkan
ponselnya, “Sori, Gy. Gua baru teleponan sama Wanda.
What’s up?”
79
Mendengar nama itu, kembali rasa tidak nyaman merambati
tubuh Kugy. Ia merasa makin tidak beres. Ditatapnya
Noni yang juga menatapnya dengan tatapan menunggu.
Entah kenapa, tiba-tiba Kugy merasa Noni bukanlah orang
yang tepat untuk diajak bicara masalah ini, tidak dengan
adanya proyek percomblangan yang sepertinya betul-betul
diseriusi sahabatnya itu.
“Kenapa, Gy?” Noni bertanya lagi.
“Nggak. Nggak jadi. Gua lupa mau ngomong apa. He-he.
Sori,” Kugy pun bangkit berdiri.
“Yakin?” Noni mengamati air muka sahabatnya. “Hari ini
lu banyak gantung, deh.”
“Mungkin udah saatnya gua bertobat dan banyak berbuat
baik,” cetus Kugy asal sambil ngeloyor pergi.
“Dasar gila,” Noni nyengir, lalu menutup pintu kamarnya.
80
Lewat pukul lima, Kugy baru sampai ke tempat kosnya. Ia
baru saja kembali dari pertemuan Klub Kakak Asuh yang
mengundangnya untuk menjadi pengajar sukarela di sebuah
sekolah dasar darurat. Sekolah itu akan dinamai “Sakola
Alit” dan akan mengambil tempat di alam terbuka di daerah
perbukitan Bojong Koneng. Tepatnya, mereka tak punya
dana cukup untuk menyewa bangunan dan terpaksa melaksanakan
kegiatan belajar mengajar di saung-saung ladang
atau di bawah pohon.
“Kamu nggak percaya kan di kota secanggih Bandung ini
masih ada anak-anak yang nggak bisa baca tulis, padahal
umur mereka sudah sembilan-sepuluh tahun?” kata Ami
pada Kugy di pertemuan tadi.
“Jadi, kita harus mulai dari mana?” Kugy bertanya.
“Kita akan bagi tiap kelas sesuai kemampuan mereka
masing-masing. Kelas paling dasar hanya akan belajar membaca,
menghitung, dan menggambar. Persis pelajaran anak
TK. Tapi dalam satu kelas umurnya bisa bervariasi, dari mulai
empat tahun sampai sepuluh tahun.”
10.
KURATOR MUDA
81
Kugy terdiam mendengar penjelasan itu. Matanya tak lepas
mengamati foto-foto anak-anak yang akan dibina oleh
Ami dan teman-temannya.
“Kamu pikirkan dulu aja, Gy. Kita berkomitmen mengajar
mereka empat hari seminggu. Jadi lumayan menyita waktu.”
“Berapa sukarelawan yang sudah terkumpul sekarang?”
“Dua orang, termasuk aku.”
“Anak yang harus diajar?”
“Dua puluh dua.”
Kugy terdiam lagi. “Oke, aku kabari dalam minggu ini,
ya.”
Sepanjang perjalanan pulang, Kugy tak bisa menanggalkan
wajah anak-anak itu dari ingatannya. Perhatiannya baru teralih
saat ia membuka pintu kamar dan melihat ada setumpuk
benda asing di tempat tidur. Kugy menyalakan lampu.
................ ........ ........................ .................. .............. .......... ....................
Terdengar ada suara yang menyahut dari kamar sebelah.
Tak lama, Noni muncul di pintu.
“Keenan ke sini?” tanya Kugy segera.
“Iya, tadi dia mampir sama Eko, cari lu, tapi nggak ada.
Dia titip oleh-oleh, tuh. Udah lihat, ya?”
Kugy mengangguk, menatap kaus putih bergambar barong
dan sarung hitam bercorak yang terlipat rapi. Di atasnya
tergeletak papan ..............mini dan sekotak kacang asin.
“Nanti malam gua sama Eko janjian mau ke tempat kosnya.
Mau ikut, nggak?”
............ ............ .......... .................. .................. .................. ........ ..........
gup menyembunyikan kegembiraan yang membeludak.
Ketika Noni sudah keluar, Kugy membuka laci meja
belajarnya. Sekadar mengecek buku buatan tangannya yang
kini sudah rampung. Sesuatu serasa merekah di hatinya. Tak
sabar rasanya menanti malam datang.
82
“Udah siap, Gy?” Noni melongok ke kamar Kugy dan sedikit
terperanjat, “tumben lu agak cakepan.”
“Nggak ... biasa aja, kok.” Gugup, Kugy merapikan baju
terusan hitam selututnya. Baju terbaik yang pernah ia miliki
dan tak pernah keluar lemari saking istimewanya. Tahutahu,
Kugy menyambar jaket jins Karel dan buru-buru mengenakannya.
“Yaaah ... rusak lagi, deh,” Eko tertawa, “tapi lebih sesuai
.............. ............ ........ ........
Tiba-tiba sesosok perempuan tak dikenal muncul di balik
punggung Eko dan Noni. Tubuh semampai itu melangkah
anggun dalam jins ketat dan tank-top. Sepatu wedge yang
tebal dan trendi tampak serasi dengan tas kecil yang ia pegang.
Rambut panjang itu tampak tertata rapi seperti baru
keluar dari salon. Semilir parfum .......... tercium di udara
tiap kali perempuan itu bergerak. Dan semua itu membuat
Kugy terpaku.
“Gy, kenalin. Ini sepupu gua, Wanda,” Noni berkata.
“Wanda,” ia mengulang namanya dengan nada merdu
bak resepsionis kantor.
Kugy menerima uluran tangan Wanda. Tampak barisan
kuku terlapis cat biru metalik yang berkilau tertimpa sinar
lampu. Kugy pun menyadari, bola mata Wanda dilapisi lensa
kontak biru yang serasi dengan warna kukunya. Setiap inci
penampilan Wanda seperti direncanakan dengan matang.
Satu hal yang rasanya mustahil dilakukan Kugy.
“Non, shall we?” Wanda memutar tubuhnya menghadap
Noni.
“Gua nyusul bentar lagi. Kalian duluan aja ke depan,”
ujar Kugy. Dan ketika tiga orang itu pergi, Kugy mengempaskan
tubuhnya ke tempat tidur. Perasaannya campur aduk.
83
Ada kegelisahan yang nyaris tak bisa ia tahankan. Segala
sesuatu tentang Wanda, rencana Noni, dan aneka kemungkinan
yang bisa terjadi malam ini, seperti melumpuhkan
sistemnya. Dan Kugy akhirnya memutuskan sesuatu.
Ia berlari ke depan, menemui teman-temannya yang sudah
menunggu di mobil, membuat alasan palsu yang membatalkan
kepergiannya ke tempat kos Keenan. Sebagai ganti,
Kugy meringkuk di tempat tidurnya semalaman.
Dari dalam kamar, Keenan sudah bisa mendengar Fuad menepi.
Tak lama, ia mendengar langkah-langkah kaki mendekati
kamarnya. Keenan pun segera berdiri, membuka
pintu. Sejenak ia menyadari detak jantungnya yang sedikit
bertambah cepat, seolah mengantisipasi sesuatu.
Pintu terbuka. Tampak Noni dan Eko nyengir selebarlebarnya.
“Si Kecil mana?” tanya Keenan langsung.
Terdengar suara hak sepatu beradu dengan ubin dari kejauhan,
menuju arah mereka. “Sorry, guys. I just dropped
my contact. Untung ketemu lagi ....”
Keenan terheran-heran melihat seorang cewek tinggi tak
dikenal berjalan ke arah mereka dengan mata berkedipkedip
seperti orang kelilipan. Ia ganti menatap Noni dan
Eko, meminta penjelasan.
“Nan, ini Wanda. Sepupu gua dari Melbourne. Kamu pernah
dengar Galeri Warsita di Menteng, nggak? Nah, ayah
Wanda itu pemiliknya. Wanda senang lukisan juga. Dia pokoknya
ngerti banget soal yang seni-seni gitu. Gua bilang
juga ke dia kalo lu hobi melukis. Wanda ceritanya lagi
hunting lukisan di Bandung, lho,” Noni menyerocos seperti
tukang obat sedang promosi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar