sory, kelamaan ya tunggunya....
ya sudah nih part selanjutnya
47
“Nggak
percaya kalau kita bisa telepati, ya? Aku tuh bukan
nebak,
tauk ... tapi ...” celotehan Kugy tahu-tahu
berhenti.
Di hadapannya terbentang lembar pertama buku
Membuka
lembar demi lembar. “Ini ...?”
Keenan
menunjuk satu per satu sketsa tersebut. “Pangeran
Lobak
... Peri Seledri ... Wortelina ... Nyi Kunyit ...
Joni
Gorong ... Hopa-Hopi ... dan ini lembah tempat mereka
tinggal
...” dengan asyik Keenan menjelaskan. Setetes air
tiba-tiba
jatuh di lembar sketsanya. Keenan kontan terdiam
dan
mendongak, mendapatkan Kugy yang sudah berlinangan
air
mata.
“Aduh.
Maaf. Gambarnya kena, ya? Sori ...,” Kugy sibuk
menyeka
air mata di pipinya.
“Nggak
pa-pa, nggak masalah, kok. Justru ... kamu nggak
pa-pa?”
tanya Keenan khawatir.
Kugy
terisak, antara tertawa dan menangis. “Hi-hi. Aku
cengeng,
ya? Tapi ... seumur hidup belum pernah ada yang
membuatkan
ilustrasi buat dongengku ... bagus banget lagi
...
aku ... nggak tahu harus ngomong apa ....”
Keenan
tersenyum. “Cerita kamu yang bagus. Inspiratif.
Makanya
saya tergerak untuk bikin sketsa.”
“Ini
... boleh aku pinjam dulu?” Kugy mendekap buku itu
di
dadanya dengan penuh harap.
“Buku
itu buat kamu, Gy. Ambil aja.”
Tak
ada yang bisa menahan Kugy untuk memeluk
Keenan,
tidak juga dirinya sendiri. Pelukan spontan itu hanya
berlangsung
dua detik karena Kugy langsung beringsut
mundur
dengan muka merah padam. “Makasih ...,” bisiknya
nyaris
tak terdengar.
Keduanya
diam bergeming, antara rikuh dan tak tahu
harus
berbuat apa. Sampai akhirnya Kugy memecah kekakuan
itu
dengan merogoh saku celananya.
48
“Untuk
sementara ... aku cuma bisa kasih kamu ini.”
Keenan
menerima benda yang disodorkan Kugy. Sebatang
pisang
susu yang dibawa dari Pemadam Kelaparan. “Oke.
Saya
anggap kita impas,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
49
Fiat
kuning itu berdesakan dengan mobil-mobil lain yang
menyusuri
Jalan Dago pada malam Minggu. Kugy dan
Keenan
di bangku belakang. Eko mengemudi, di sampingnya
ada
Noni yang tengah bertelepon dengan seseorang.
Noni
mematikan ponselnya dengan lega. “Guys, Mas Itok
berhasil
dapat empat tiket, barisan agak depan, sih. Tapi
lumayan
daripada lu manyun.”
“Sebagai
geng midnight yang profesional, kita memang
............
............ ................ ............ ........ ............ ............
........ .............. ..........
Eko.
......................
.................... .......... .................. ....................
.......... ..........
kang.
Sepuluh
menit kemudian, mobil itu memasuki parkiran
Bandung
Indah Plaza. Dan keempatnya pun langsung bergegas
ke
lantai paling atas.
Seorang
pria kurus berkacamata menyambut mereka,
Mas
Itok, penjaga toko kaset langganan Eko yang suka menyambi
menjadi
pengantre tiket bioskop buat mereka. “Ini
buat
Mas Eko sama Mbak Noni,” ia menyerahkan dua tiket,
“nah,
ini buat Mas Keenan dan pacarnya ....”
6.
HUNUSAN
PEDANG ES
50
Keempatnya
saling berpandangan, lalu tertawa bersama.
Mas
Itok menerima honornya lalu berlalu dari sana, tanpa
tahu
apa yang membuat keempat anak itu tertawa.
“Gawat,”
komentar Eko geli. “Gara-gara keseringan nonton
midnight
bareng, kita berempat nanti bisa jadi double
date
beneran.”
....................
.................... .............. .................. ..........
..................
Empat-empatnya
tertawa lagi. Tapi Kugy sedikit merasa
terusik
dengan celetukan itu. Diam-diam, ia melirik Keenan
yang
berjalan di sampingnya. Mencari sesuatu, mencari semacam
petunjuk
entah apa. Ia sendiri tak mengerti. Tahutahu
Keenan
meliriknya balik. Cepat-cepat Kugy membuang
muka
ke sembarang arah, menemukan mesin popcorn sebagai
objek
perhatian baru yang lebih aman.
“Mau
popcorn, Gy?” Keenan bertanya.
Kugy
merasa tak punya pilihan selain mengangguk.
“Ko,
lu duluan aja. Gua beli popcorn dulu bareng Kugy,”
kata
Keenan pada Eko yang berjalan di depannya.
..............
............ .......... ...... ........ ...................... ..............
................
teater
bersama Noni.
“Yuk,”
Keenan berujar ringan pada Kugy, lalu menggandeng
tangannya.
Kugy
tak yakin apakah Keenan menyadari perubahan
yang
terjadi. Dalam hati, sungguh Kugy berharap langkahnya
yang
berubah tersendat dan otot tangannya yang berubah
tegang
tidak terdeteksi.
Jakarta,
Oktober 1999 ...
Sudah
cukup lama perempuan itu berdiri dekat pesawat telepon
di
ruang tamunya sendiri. Tangannya memegang sebuah
buku
telepon yang terbuka, jemarinya bergerak-gerak tanda
51
gelisah.
Kalau bukan demi sopan santun, sebetulnya aku
tidak
harus melakukan ini, pikirnya. Puluhan tahun telah
berlalu,
tapi tetap ia merasa hal ini tidak mudah. Sambil
menelan
ludah, akhirnya ia membulatkan tekad dan memencet
tombol-tombol
itu: 0-3-6-1 ....
“Halo,
selamat sore.” Terdengar suara laki-laki remaja di
ujung
sana.
“Selamat
sore. Bisa bicara dengan Pak Wayan? Ini dari
Ibu
Lena, Jakarta.”
Tak
lama terdengar sayup suara itu memanggil, “Poyaaan
...9
ada telepon dari Jakartaaa ....”
Telepon
itu kembali diangkat dan kali ini terdengar suara
lelaki
menyapa.
“Wayan?”
panggilnya hati-hati.
Sejenak
sunyi. “Lena?” Suara lelaki itu terdengar tak yakin.
“Iya,
ini Lena. Apa kabar?”
“Kabar
baik. Tumben sekali kamu telepon.” Setiap kata
dilontarkan
dengan kaku.
“Aku
mau bicara soal Keenan. Di liburan semesternya
nanti,
dia kepingin sekali pergi ke tempatmu di Ubud ....”
“Keenan
sudah lama bilang. Sejak dia masih di
Amsterdam,
dia juga pernah meneleponku soal itu,” potong
Wayan.
“Tapi
aku tidak enak kalau tidak langsung minta izin
sama
kamu.”
“Keenan
sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Ini
rumahnya
juga. Kapan pun dia ingin kemari, sudah pasti
kuterima.”
Nada itu berubah tegas.
“Mudah-mudahan
dia tidak akan merepotkan ....”
“Keenan
tidak pernah merepotkan. Seluruh keluargaku di
9
Poyan: Panggilan singkat untuk paman yang bernama Wayan.
52
sini
malah senang kalau dia datang.” Lagi-lagi nada itu tegas
memotong,
seolah Wayan ingin percakapan itu cepat usai.
Lena
menghela napas. “Terima kasih kalau begitu.”
“Cuma
satu yang ingin aku pastikan. Ayahnya memberi
izin
Keenan kemari, kan?”
“Sudah.
Adri sudah kasih izin ...”
“Oke.
Tidak ada masalah lagi kalau begitu.”
Sunyi
lagi. Lena pun tahu sudah saatnya pembicaraan itu
disudahi.
Bandung,
Oktober 1999 ...
Keenan
menaiki anak tangga eskalator sekaligus dua-dua,
menyusuli
orang-orang yang berdiri diam di kanan-kiri, berusaha
tiba
di lantai paling atas secepat-cepatnya. Saat ia
sampai,
sudah ada Eko dan Noni berdiri sambil mengacungkan
tiga
lembar tiket bioskop.
“My
man. Right on time. Pintu bioskopnya udah dibuka,
..........
.............. ............ .............. ............ .............. ........
“Tenang.
Minuman buat lu udah gua beliin,” kata Noni,
menunjukkan
sekantong plastik berisi minuman kotak dan
makanan
ringan.
“Sori
banget telat, ya. Tadi gua ketiduran,” ujar Keenan
dengan
napas yang masih terengah. Tiba-tiba ia tersadar
sesuatu.
Ada yang kurang di situ. “Si Kecil mana?”
“Kugy
kedatangan tamu agung dari Jakarta. Biasaaa ...,”
seloroh
Noni.
Kening
Keenan berkerut. “Tamu agung? Maksudnya?”
“Cowoknya
dia, si Ojos, lagi ngapelin dia ke Bandung.
Jadi
nggak mungkinlah gabung sama geng midnight kita
ini,”
timpal Eko.
“Kalau
Ojos sih pasti candle light dinner gitu, deh ....”
53
“Iya.
Satu-satunya kesempatan Kugy naik kasta dari Pemadam
Kelaparan,”
Eko terkekeh.
Keenan
terdiam sejenak. “Gua baru tahu Kugy punya pacar.
Di
Jakarta?”
Noni
mengangguk, “Pacarnya dari SMA.”
“Galak,”
Eko menambahkan.
“Nggak,
ah ...,” sanggah Noni.
“Ke
semua teman ceweknya nggak. Ke semua teman
cowoknya?
Wuiiih ... galakan Ojos daripada menwa kampus.”
“Pengalaman
pribadi, ya? Itu karena Ojos bisa mendeteksi,
cowok-cowok
mana yang diam-diam naksir Kugy,
tauk,”
ledek Noni sambil menoyor bahu Eko.
................
...................... ........ .................... ..................
.......... ............
cuma
galak kayak menwa, tapi juga sensi kayak herdernya
polisi
....”
Percakapan
itu berlanjut terus hingga keduanya memasuki
ruangan
bioskop, dan Keenan hanya mengikuti dari
belakang
dengan mulut terkunci.
..................
Suara
yang ia kenal. Nada ceria yang ia hafal. Derap langkah
setengah
berlari yang khas. Namun, entah kenapa, kali
ini
Keenan agak enggan menoleh ke belakang. Ditariknya
napas
dalam-dalam sebelum ia akhirnya membalikkan punggung.
“Hai,
Gy.”
............
.......... .............. ............ .............. ..................
.......... ........ ........
nya?
Noni sampai kemimpi-mimpi gitu. Sori ya, aku nggak
gabung.
Udah makan malam belum? Pemadam Kelaparan
yuk
...,” dengan semangat tinggi Kugy menyerocos.
54
“Saya
masih kenyang, dan harus cepat pulang. Banyak
tugas.
Nggak pa-pa, ya?” Keenan menimpali ringkas.
“No
problemo,” Kugy tersenyum lebar, “sebetulnya sih
aku
kepingin ngobrol, tapi ya udah, nanti-nanti aja.”
“Tentang?”
“Mmm
...,” Kugy berpikir sejenak, “udah hampir dua
minggu
aku kasih majalah yang ada cerpenku itu, tapi ...
he-he
... kok, kamu belum komentar,” Kugy mesem-mesem,
“nggak
maksa, sih ... cuma penasaran aja.”
Keenan
menarik napas panjang untuk kedua kali. “Boleh
jujur?”
tanyanya.
................
.............. .......... .......... ..............
“Saya
nggak suka.”
Letupan
dalam hati Kugy mendadak seperti dibanjur air
dingin.
Padam. Air mukanya seketika berubah, meski ia berusaha
tampil
tenang.
“Buat
orang yang nggak tahu kamu, cerpen itu mungkin
bagus.
Tapi saya merasa dongeng-dongeng kamu jauh lebih
otentik,
lebih orisinal, dan lebih mencerminkan kamu yang
sebenarnya.
Dalam cerpen itu, saya tidak menemukan diri
kamu.
Yang saya temukan adalah penulis yang pintar merangkai
kata-kata,
tapi nggak ada nyawa,” sambung Keenan
lagi.
Seluruh
persendian tubuh Kugy serasa dikunci. Kata-kata
Keenan
seolah menyulapnya menjadi patung. Ia cuma bisa
merasakan
air ludahnya tertelan seperti bola bakso yang tak
sempat
terkunyah.
“Maaf
ya, Gy. Kalau memang kamu kepingin saya jujur,
ya
itulah opini saya. Nggak kurang, nggak lebih.”
Kugy
mengangguk kecil. “Makasih udah jujur,” ucapnya
pelan.
Tak
lama kemudian, Keenan pamit pulang, dan Kugy tetap
berdiri
di tempatnya. Merenungi kata demi kata yang
55
menusuknya
bagai hunusan pedang es. Menyakitkan sekaligus
membekukan.
Membuatnya bungkam tanpa bisa melawan.
Malam
itu Kugy terjaga lama di tempat tidur. Telentang
menghadap
langit-langit kamar kosnya dengan pikiran yang
terus
berputar dan hati yang teraduk-aduk. Ia tak mengerti
mengapa
komentar Keenan meninggalkan dampak yang
begitu
dalam. Ia juga tak mengerti mengapa ia begitu menunggu-
nunggu
pendapat Keenan, seolah pendapat manusia
satu
itulah yang terpenting. Ironisnya, semua orang terdekatnya,
termasuk
Ojos, menyukai dan memuji-muji cerpennya.
Hanya
Keenan yang begitu tegas dan tanpa tedeng alingaling
menyatakan
tidak suka.
Seharian
Kugy bertanya dan bertanya: apa yang salah?
Bagaimana
mungkin Keenan menyebutnya penulis yang
cuma
pintar merangkai kata tapi tak bernyawa? Padahal ia
setengah
mati mengerjakan cerita pendek itu. Setiap kata
dipilihnya
dengan cermat dan teliti. Ia menulis dengan plot
..........
............ .............. ............ .............. .............. ........................
..............
momen
yang sudah diperhitungkan. Ia hafal mati formula
dan
teori dari pedoman membuat cerita yang baik dan benar.
Mungkinkah
selera Keenan yang ‘‘salah’’?
Kugy
terduduk tegak. Membuka majalah yang memuat
cerpennya,
dan mulai membaca dari awal hingga akhir. Lalu
ia
menyalakan komputer, membuka salah satu ........dongengnya,
dan
juga membacanya saksama. Kugy mulai menyadari
sesuatu.
Dalam dongengnya, ia seolah berlari bebas, sesuka
hati.
Dalam cerpen itu, ia seperti berjalan meniti tali, berhati-
hati
dan penuh kendali. Dan ada satu perbedaan yang
kini
menjadi sangat jelas baginya: dalam dongengnya ia ber56
cerita
untuk memuaskan dirinya sendiri, sementara dalam
cerpennya
ia bercerita untuk memuaskan orang lain.
Ingatannya
pun kembali mundur ke siang tadi, dan kembali
ia
rasakan perih sayatan kata-kata Keenan. Namun, kali
ini
Kugy ikut merasakan kebenarannya.
57
Bandung,
Desember 1999 ...
Tempat
kos yang lengang itu semakin terasa sepi karena
hampir
semua penghuninya sudah kembali ke kota masingmasing
untuk
menikmati liburan semester. Hanya segelintir
yang
tersisa.
Keenan
memasukkan barang-barang terakhirnya sebelum
tas
itu resmi diamankan dengan gembok kecil.
Pintu
kamarnya yang setengah terbuka tahu-tahu terbuka
lebar.
Bimo, teman kosnya, muncul sambil menenteng travel
bag.
“Hai, Nan. Jadi mau ikut ke Jakarta pakai mobil gua,
nggak?
Masih ada tempat untuk satu lagi.”
Keenan
menggeleng. “Nggak, Bim. Gua pakai kereta api
nanti
sore. Udah beli tiket. Salam buat anak-anak, deh.”
Bimo
yang sudah mau beranjak pergi mendadak menahan
langkahnya,
seperti teringat sesuatu. “Oh, ya ... selamat,
ya.”
“Untuk?”
“Kata
anak-anak, IP lu tertinggi satu angkatan. Nggak
7.
BULAN,
PERJALANAN, KITA
58
percuma
lu disebut Siluman Kampus, kerjanya pulang melulu,
ngerem
di kamar kayak beruang,” Bimo terkekeh.
Keenan
hanya tersenyum sekilas, entah harus merasa
bangga
atau tersindir. Tapi ia cukup suka sebutan itu. Siluman
Kampus.
Begitu
Fiat kuning itu menepi, Keenan yang sudah menunggu
di
teras depan langsung menghampiri bagasi mobil
dan
memasukkan tasnya. Baru setelah membuka pintu, ia
tersadar
akan satu sosok yang tidak ia duga kehadirannya.
“Kugy?
Kamu ke Jakarta hari ini juga?” tanya Keenan
heran.
“Hai,
Nan. Aku tukeran tiket sama Eko,” jawab Kugy berseri-
seri.
Keenan
ganti menatap Eko, “Gua pikir, Fuad dititip ke
Noni
dan lu pulang ke Jakarta hari ini sama gua.”
“Ternyata
gua baru bisa ke Subang lusa, Nan. Jadi Eko
nemenin
gua dulu di Bandung,” Noni menjelaskan.
“Oh.
Oke.” Keenan berkata pendek.
Sebersit
perasaan aneh menyusupi hati Kugy, yang melengkapi
kecurigaannya
selama ini. Tadinya Kugy berasumsi
bahwa
sebulan ini Keenan banyak menyendiri karena belajar
mati-matian,
dan itu memang dibuktikan oleh IP tertinggi
yang
diraihnya. Tapi baru sore ini Kugy merasakan adanya
alasan
lain. Ia merasa dihindari oleh Keenan.
Tanpa
banyak bicara, Keenan mengempaskan tubuhnya
di
jok belakang. Tungkai kakinya yang panjang membuat
lututnya
selalu nyaris beradu dengan jok depan. Dengan
ekor
matanya, Kugy mengamati. Sebagaimana ia mengamati
sepatu
Keenan yang kali ini tampak baru dicuci bersih, sebagaimana
ia
tahu Keenan sedang mengenakan kemeja jins
59
lengan
panjang yang dulu dipakai saat menggandeng tangannya
di
bioskop, sebagaimana ia hafal aroma sampo
yang
meruap dari rambut Keenan yang tergerai. Kugy mengamati
dan
mengingat itu semua. Untuk apa, ia pun tak mengerti.
Namun,
semua itu melekat dalam memorinya, telah
lama
menghantuinya, tanpa bisa ia kendalikan.
Keenan
memejamkan matanya sejak sepuluh menit pertama
kereta
api itu bertolak dari Stasiun Bandung. Ia terbangun
oleh
karena haus yang menggigit dan hening yang dirasakan
terlalu
lama dari seharusnya. Saat matanya membuka, kereta
itu
memang sedang berhenti di sebuah stasiun kecil. Dan
Kugy
tidak ada di sebelahnya.
Dari
kasak-kusuk orang di sekeliling, Keenan menyimpulkan
bahwa
kereta itu sudah berhenti lama di sana, dan keterlambatan
ini
mulai menggelisahkan banyak penumpang.
Penasaran,
Keenan pun memutuskan untuk keluar dan
bertanya
langsung pada petugas.
“Muhun.
Ada kereta yang anjlok, Cep. Jadi kita tertahan
di
sini, mungkin setengah jam sampai sejam. Belum ada
pemberitahuan.”
Petugas stasiun itu menjelaskan. Di atas
kepalanya
tergantung plang: Stasiun Citatah. Kereta itu bahkan
belum
menempuh separuh perjalanan.
Langit
mulai remang, pertanda sore mulai menua. Awan
mendung
yang sejak tadi bergelantungan mulai merintikkan
selapis
gerimis tipis. Meski dianjurkan menunggu di dalam
kereta,
Keenan merasa tak ingin kembali ke sana cepatcepat.
Ia
mengedarkan pandangan, mencari sesuatu yang
sekiranya
membuat perasaannya tertarik. Dan matanya tertumbuk
pada
pelataran depan stasiun.
“Cep!..
.............. ......................
60
Sayup,
Keenan mendengar petugas tadi memperingatkannya.
Namun,
ia merasa kakinya terundang untuk keluar,
menuju
jalanan pedesaan yang setengah becek, berhiaskan
satu-dua
warung kopi yang mulai menyalakan lampu petromaksnya
untuk
menyambut gelap malam.
Di
sebuah warung, Keenan berhenti. Aneka gorengan
yang
terpajang di sana tampak menarik, belum lagi bersisirsisir
pisang
susu yang kuning masak tampak bergelantung
di
kayu penyangga tendanya.
“Mangga,
ngopi dulu, Den.” Ibu tua pemilik warung menyapa
ramah.
Baru
saja Keenan hendak duduk di bangku kayu itu, tibatiba
dari
sisi seberangnya muncul kepala dan kedua tangan
mungil
yang sedang meraih pisang susu.
“Kugy?”
............
.......... ................ ........ .......... .............. ..........
.............. ..........
heran
bukan main.
“Hmm.
Radar Neptunus—mungkin?” cetus Keenan,
antara
geli dan takjub. Ia pun duduk di sebelah Kugy dan
memesan
secangkir kopi panas. Keduanya langsung
mengobrol
dan tertawa-tawa, tak habis pikir bagaimana mereka
bisa
berakhir di tempat yang sama tanpa janjian.
“Sebentar
... sebentar ...” tiba-tiba Kugy memotong pembicaraan.
Wajahnya
tampak siaga seolah-seolah sesuatu akan
menyeruak
muncul.
“Ada
apa?” Keenan ikut melihat ke sekeliling.
“Bau
ini ... kamu cium, nggak?” Kugy mengendusendus.
“Kamu
kentut?”
..................
.......... .......................... .......... ........ ............
.......... ..........
kena
hujan ... kecium, nggak?” Kugy lantas menghirup napas
dalam-dalam,
berkali-kali, dan mukanya seperti orang
ekstase.
“Sedaaaaap ...,” gumamnya.
61
Keenan
ikut mengendus, dan mulai ikut menghirup. “Gy
...
tambah lagi wangi kopi, nih ... hmmm ... enaaak ....”
Kugy
mencomot kulit pisang, “Tambah lagi nih wangi
pisang
... asoooy ....”
Keduanya
sibuk membaui ini-itu, tanpa menyadari ibu
pemilik
warung sudah mulai waswas melihat kelakuan mereka.
“Gerimis,
wangi tanah kena hujan, kopi, dan pisang ...
dahsyat.
Aku nggak bakal lupa kombinasi ini.” Kugy tersenyum
lebar,
kilau di matanya kian bersinar tertimpa sinar
lampu.
“Stasiun
Citatah, warung, lampu templok, dan ... kamu.
Saya
juga nggak bakal lupa.”
Mendengar
itu, Kugy termangu. Ia merasa tergerak untuk
mengatakan
sesuatu, tapi lidahnya kelu. Ia ingin bertanya,
apakah
intuisinya benar? Bahwa Keenan dengan halus telah
menghindarinya.
Bahwa ada keanehan yang terjadi antara
mereka
berdua, tapi entah apa. Namun, Kugy tak tahu harus
memulai
dari mana.
Kembali
dalam keheningan, mereka duduk diam. Keenan
menyeruput
kopinya perlahan. Begitu juga Kugy dengan teh
panasnya.
Namun, kali ini hening itu tidak menjengahkan.
Setiap
detik bergulir sejuk dan khidmat, seperti tetes hujan
yang
kini turun satu-satu.
“Nan
... kamu benar soal cerpenku itu,” tiba-tiba Kugy
memecah
sunyi, “aku nggak menjadi diriku sendiri. Aku
bikin
cerita itu untuk cari duit, untuk cari pengakuan doang
....”
Keenan
mengangkat kepalanya, menatap balik pada Kugy
yang
tengah menatapnya lekat-lekat.
“Makasih,
ya. Kalau bukan karena kamu berani jujur
sama
aku, mungkin aku nggak akan menyadari itu semua.
Nggak
berarti aku bakal berhenti nulis cerpen sama sekali,
62
sih.
Tapi sekarang aku bisa melihat diriku apa adanya, di
mana
kelemahanku, dan di mana kekuatanku.”
Senyum
mengembang di wajah Keenan. Hangat. “Gy,
jalan
kita mungkin berputar, tapi satu saat, entah kapan,
kita
pasti punya kesempatan jadi diri kita sendiri. Satu saat,
kamu
akan jadi penulis dongeng yang hebat. Saya yakin.”
Kugy
menghela napas, pandangan matanya mengembara.
“Gerimis,
melukis, menulis ... satu saat nanti, kita jadi diri
kita
sendiri,” gumamnya lambat, seperti mengeja. Seperti
mengucap
doa.
Dari
jauh terdengar pengumuman bahwa kereta api akan
segera
diberangkatkan. Mereka berdua pun beranjak dari
sana.
Tanpa terburu-buru. Menapaki tanah becek dengan
hati-hati.
Tepat sebelum kereta berjalan, kaki mereka menjejak
gerbong.
Di
gang antargerbong yang sempit dan berguncang keras,
keduanya
berdiri sejenak. Kugy bisa merasakan jarak Keenan
yang
begitu dekat di punggungnya, membaui aroma minyak
wangi
yang samar tercium dari kemejanya, dan terasa sesekali
wajah
Keenan menyentuh rambutnya.
Meski
tempat mereka berdiri sangat berisik, Kugy dapat
mendengar
Keenan berbisik di sela-sela rambutnya yang
berkibar
ditiup angin. Entah Keenan berbisik untuknya, untuk
dirinya
sendiri, atau untuk mereka berdua. Namun, dengan
jelas
Kugy menangkap tiga kata yang dibisikkan
Keenan:
“Bulan, perjalanan, kita ....”
Baru
ketika duduk di bangkunya yang bersebelahan dengan
jendela,
Kugy menyadari bahwa bulan bersinar benderang
di
angkasa. Tanpa bisa ditahan, Kugy merasa pelupuk
matanya
menghangat, dan pandangannya berkaca-kaca. Ingin
rasanya
ia membungkus bisikan Keenan tadi, menyimpannya
di
hati. Tiga kata yang tak sepenuhnya ia pahami, tapi nyata
ia
alami saat ini. Bulan. Perjalanan. Mereka berdua.
63
Sudah
sejam Ojos menunggu di kafe itu, segala macam minuman
dan
donat aneka rasa sudah ia pesan sampai perutnya
penuh
sesak. Dan akhirnya bergaunglah pengumuman
bahwa
kereta api Parahyangan yang ditumpangi Kugy telah
tiba.
Segera ia beranjak dari sana dan menunggu di mulut
pintu
keluar.
Dari
jauh Ojos sudah bisa mengenali sosok mungil itu.
Rambut
sebahunya yang tergerai beradu dengan ransel besar
yang
seolah menenggelamkan tubuh kecilnya, belum lagi
jaket
jins yang sudah bisa dipastikan hasil minjam saking
kebesarannya.
Namun, sesuatu di balik kekacauan berbusana
itulah
yang membuat sosok itu mencuat di mana pun ia berada.
Dari
jarak seperti ini pun Ojos bahkan sudah bisa melihat
hidupnya
binar kedua mata itu, merasakan hangat kehadirannya,
tawanya
yang lepas tanpa beban ... kening Ojos
tahu-tahu
berkerut. Matanya memicing. Ada seseorang yang
berjalan
di sebelah Kugy. Orang yang tidak ia kenal. Saksama,
Ojos
mengamati, seperti menjalankan scanning. Keningnya
semakin
berkeriut.
................
.......... ........................ ................ ..........
..............................
setengah
berlari.
“Hi,
Babe,” Ojos meraih pinggang Kugy, dan mengecupnya
di
pipi. Sigap, ia melepaskan ransel dari bahu Kugy lalu
menyampirkan
barang besar itu di bahunya.
“Jos,
kenalin. Ini sepupunya Eko ....”
“Keenan.”
Keenan langsung mengulurkan tangan dan tersenyum
ramah.
“Hai.
Joshua.” Ojos menyambut tangan itu. Sebelah tangannya
tak
lepas merangkul Kugy.
“Sampai
ketemu semester depan, ya, Gy. Selamat menulis.”
64
“Selamat
melukis. Jangan lupa ....” Kugy menempelkan
kedua
telunjuknya di ubun-ubun seperti antena.
Seketika
Keenan tertawa renyah. “Radar Neptunus ...,” ia
lalu
ikut menempelkan kedua telunjuk di ubun-ubun.
Mata
Ojos tak lepas mengamati itu semua, bahkan ketika
Keenan
sudah pamit pulang dan membalik pergi. Ada gelombang
yang
tertangkap oleh radarnya. Gelombang yang mengisyaratkan
ketidakberesan,
situasi yang tidak aman. Dan
Ojos
tidak merasa nyaman.
65
Meja
makan dengan empat kursi itu baru diisi tiga orang,
satu
kursi masih kosong. Meski hanya bertiga, suasana di
meja
makan itu terasa semarak. Dua bersaudara laki-laki itu
mengobrol
tanpa henti seolah sudah tahunan tak bertemu.
Ibu
mereka sesekali menimpali, atau ikut tertawa bersama.
Terdengar
suara pintu depan terbuka, dan seseorang memasuki
ruang
makan, duduk di kursi keempat.
“Hai,
Pa ...,” Jeroen dan Keenan menyapa.
“Maaf
ya, kalian jadi menunggu. Tamu itu sudah Papa
suruh
datang ke kantor saja, tapi dia maksa datang ke sini
karena
udah nggak ada waktu lagi, katanya.”
“It’s
okay.” Lena tersenyum sambil menuangkan teh panas
ke
cangkir suaminya. “Keenan punya pengumuman buat
kamu,
tuh.”
“Oh,
ya? Apa, Nan?” tanya ayahnya sambil meminum teh
itu
sedikit demi sedikit.
Keenan
melirik ibunya, seperti ragu untuk bicara. “Mmm
...
IP saya 3,7 semester ini.”
“Tertinggi
di angkatannya,” Lena menambahkan dengan
senyum
berseri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar