Cari Blog Ini

Jumat, 21 Juni 2013

Perahu Kertas 1 part 4



sory, kelamaan ya tunggunya....
ya sudah nih part selanjutnya

47
“Nggak percaya kalau kita bisa telepati, ya? Aku tuh bukan
nebak, tauk ... tapi ...” celotehan Kugy tahu-tahu
berhenti. Di hadapannya terbentang lembar pertama buku

sketsa yang dibuka Keenan. Perlahan, Kugy meraih buku itu.
Membuka lembar demi lembar. “Ini ...?”
Keenan menunjuk satu per satu sketsa tersebut. “Pangeran
Lobak ... Peri Seledri ... Wortelina ... Nyi Kunyit ...
Joni Gorong ... Hopa-Hopi ... dan ini lembah tempat mereka
tinggal ...” dengan asyik Keenan menjelaskan. Setetes air
tiba-tiba jatuh di lembar sketsanya. Keenan kontan terdiam
dan mendongak, mendapatkan Kugy yang sudah berlinangan
air mata.
“Aduh. Maaf. Gambarnya kena, ya? Sori ...,” Kugy sibuk
menyeka air mata di pipinya.
“Nggak pa-pa, nggak masalah, kok. Justru ... kamu nggak
pa-pa?” tanya Keenan khawatir.
Kugy terisak, antara tertawa dan menangis. “Hi-hi. Aku
cengeng, ya? Tapi ... seumur hidup belum pernah ada yang
membuatkan ilustrasi buat dongengku ... bagus banget lagi
... aku ... nggak tahu harus ngomong apa ....”
Keenan tersenyum. “Cerita kamu yang bagus. Inspiratif.
Makanya saya tergerak untuk bikin sketsa.”
“Ini ... boleh aku pinjam dulu?” Kugy mendekap buku itu
di dadanya dengan penuh harap.
“Buku itu buat kamu, Gy. Ambil aja.”
Tak ada yang bisa menahan Kugy untuk memeluk
Keenan, tidak juga dirinya sendiri. Pelukan spontan itu hanya
berlangsung dua detik karena Kugy langsung beringsut
mundur dengan muka merah padam. “Makasih ...,” bisiknya
nyaris tak terdengar.
Keduanya diam bergeming, antara rikuh dan tak tahu
harus berbuat apa. Sampai akhirnya Kugy memecah kekakuan
itu dengan merogoh saku celananya.
48
“Untuk sementara ... aku cuma bisa kasih kamu ini.”
Keenan menerima benda yang disodorkan Kugy. Sebatang
pisang susu yang dibawa dari Pemadam Kelaparan. “Oke.
Saya anggap kita impas,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
49
Fiat kuning itu berdesakan dengan mobil-mobil lain yang
menyusuri Jalan Dago pada malam Minggu. Kugy dan
Keenan di bangku belakang. Eko mengemudi, di sampingnya
ada Noni yang tengah bertelepon dengan seseorang.
Noni mematikan ponselnya dengan lega. “Guys, Mas Itok
berhasil dapat empat tiket, barisan agak depan, sih. Tapi
lumayan daripada lu manyun.”
“Sebagai geng midnight yang profesional, kita memang
............ ............ ................ ............ ........ ............ ............ ........ .............. ..........
Eko.
...................... .................... .......... .................. .................... .......... ..........
kang.
Sepuluh menit kemudian, mobil itu memasuki parkiran
Bandung Indah Plaza. Dan keempatnya pun langsung bergegas
ke lantai paling atas.
Seorang pria kurus berkacamata menyambut mereka,
Mas Itok, penjaga toko kaset langganan Eko yang suka menyambi
menjadi pengantre tiket bioskop buat mereka. “Ini
buat Mas Eko sama Mbak Noni,” ia menyerahkan dua tiket,
“nah, ini buat Mas Keenan dan pacarnya ....”
6.
HUNUSAN PEDANG ES
50
Keempatnya saling berpandangan, lalu tertawa bersama.
Mas Itok menerima honornya lalu berlalu dari sana, tanpa
tahu apa yang membuat keempat anak itu tertawa.
“Gawat,” komentar Eko geli. “Gara-gara keseringan nonton
midnight bareng, kita berempat nanti bisa jadi double
date beneran.”
.................... .................... .............. .................. .......... ..................
Empat-empatnya tertawa lagi. Tapi Kugy sedikit merasa
terusik dengan celetukan itu. Diam-diam, ia melirik Keenan
yang berjalan di sampingnya. Mencari sesuatu, mencari semacam
petunjuk entah apa. Ia sendiri tak mengerti. Tahutahu
Keenan meliriknya balik. Cepat-cepat Kugy membuang
muka ke sembarang arah, menemukan mesin popcorn sebagai
objek perhatian baru yang lebih aman.
“Mau popcorn, Gy?” Keenan bertanya.
Kugy merasa tak punya pilihan selain mengangguk.
“Ko, lu duluan aja. Gua beli popcorn dulu bareng Kugy,”
kata Keenan pada Eko yang berjalan di depannya.
.............. ............ .......... ...... ........ ...................... .............. ................
teater bersama Noni.
“Yuk,” Keenan berujar ringan pada Kugy, lalu menggandeng
tangannya.
Kugy tak yakin apakah Keenan menyadari perubahan
yang terjadi. Dalam hati, sungguh Kugy berharap langkahnya
yang berubah tersendat dan otot tangannya yang berubah
tegang tidak terdeteksi.
Jakarta, Oktober 1999 ...
Sudah cukup lama perempuan itu berdiri dekat pesawat telepon
di ruang tamunya sendiri. Tangannya memegang sebuah
buku telepon yang terbuka, jemarinya bergerak-gerak tanda
51
gelisah. Kalau bukan demi sopan santun, sebetulnya aku
tidak harus melakukan ini, pikirnya. Puluhan tahun telah
berlalu, tapi tetap ia merasa hal ini tidak mudah. Sambil
menelan ludah, akhirnya ia membulatkan tekad dan memencet
tombol-tombol itu: 0-3-6-1 ....
“Halo, selamat sore.” Terdengar suara laki-laki remaja di
ujung sana.
“Selamat sore. Bisa bicara dengan Pak Wayan? Ini dari
Ibu Lena, Jakarta.”
Tak lama terdengar sayup suara itu memanggil, “Poyaaan
...9 ada telepon dari Jakartaaa ....”
Telepon itu kembali diangkat dan kali ini terdengar suara
lelaki menyapa.
“Wayan?” panggilnya hati-hati.
Sejenak sunyi. “Lena?” Suara lelaki itu terdengar tak yakin.
“Iya, ini Lena. Apa kabar?”
“Kabar baik. Tumben sekali kamu telepon.” Setiap kata
dilontarkan dengan kaku.
“Aku mau bicara soal Keenan. Di liburan semesternya
nanti, dia kepingin sekali pergi ke tempatmu di Ubud ....”
“Keenan sudah lama bilang. Sejak dia masih di
Amsterdam, dia juga pernah meneleponku soal itu,” potong
Wayan.
“Tapi aku tidak enak kalau tidak langsung minta izin
sama kamu.”
“Keenan sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Ini
rumahnya juga. Kapan pun dia ingin kemari, sudah pasti
kuterima.” Nada itu berubah tegas.
“Mudah-mudahan dia tidak akan merepotkan ....”
“Keenan tidak pernah merepotkan. Seluruh keluargaku di
9 Poyan: Panggilan singkat untuk paman yang bernama Wayan.
52
sini malah senang kalau dia datang.” Lagi-lagi nada itu tegas
memotong, seolah Wayan ingin percakapan itu cepat usai.
Lena menghela napas. “Terima kasih kalau begitu.”
“Cuma satu yang ingin aku pastikan. Ayahnya memberi
izin Keenan kemari, kan?”
“Sudah. Adri sudah kasih izin ...”
“Oke. Tidak ada masalah lagi kalau begitu.”
Sunyi lagi. Lena pun tahu sudah saatnya pembicaraan itu
disudahi.
Bandung, Oktober 1999 ...
Keenan menaiki anak tangga eskalator sekaligus dua-dua,
menyusuli orang-orang yang berdiri diam di kanan-kiri, berusaha
tiba di lantai paling atas secepat-cepatnya. Saat ia
sampai, sudah ada Eko dan Noni berdiri sambil mengacungkan
tiga lembar tiket bioskop.
“My man. Right on time. Pintu bioskopnya udah dibuka,
.......... .............. ............ .............. ............ .............. ........
“Tenang. Minuman buat lu udah gua beliin,” kata Noni,
menunjukkan sekantong plastik berisi minuman kotak dan
makanan ringan.
“Sori banget telat, ya. Tadi gua ketiduran,” ujar Keenan
dengan napas yang masih terengah. Tiba-tiba ia tersadar
sesuatu. Ada yang kurang di situ. “Si Kecil mana?”
“Kugy kedatangan tamu agung dari Jakarta. Biasaaa ...,”
seloroh Noni.
Kening Keenan berkerut. “Tamu agung? Maksudnya?”
“Cowoknya dia, si Ojos, lagi ngapelin dia ke Bandung.
Jadi nggak mungkinlah gabung sama geng midnight kita
ini,” timpal Eko.
“Kalau Ojos sih pasti candle light dinner gitu, deh ....”
53
“Iya. Satu-satunya kesempatan Kugy naik kasta dari Pemadam
Kelaparan,” Eko terkekeh.
Keenan terdiam sejenak. “Gua baru tahu Kugy punya pacar.
Di Jakarta?”
Noni mengangguk, “Pacarnya dari SMA.”
“Galak,” Eko menambahkan.
“Nggak, ah ...,” sanggah Noni.
“Ke semua teman ceweknya nggak. Ke semua teman
cowoknya? Wuiiih ... galakan Ojos daripada menwa kampus.”
“Pengalaman pribadi, ya? Itu karena Ojos bisa mendeteksi,
cowok-cowok mana yang diam-diam naksir Kugy,
tauk,” ledek Noni sambil menoyor bahu Eko.
................ ...................... ........ .................... .................. .......... ............
cuma galak kayak menwa, tapi juga sensi kayak herdernya
polisi ....”
Percakapan itu berlanjut terus hingga keduanya memasuki
ruangan bioskop, dan Keenan hanya mengikuti dari
belakang dengan mulut terkunci.
..................
Suara yang ia kenal. Nada ceria yang ia hafal. Derap langkah
setengah berlari yang khas. Namun, entah kenapa, kali
ini Keenan agak enggan menoleh ke belakang. Ditariknya
napas dalam-dalam sebelum ia akhirnya membalikkan punggung.
“Hai, Gy.”
............ .......... .............. ............ .............. .................. .......... ........ ........
nya? Noni sampai kemimpi-mimpi gitu. Sori ya, aku nggak
gabung. Udah makan malam belum? Pemadam Kelaparan
yuk ...,” dengan semangat tinggi Kugy menyerocos.
54
“Saya masih kenyang, dan harus cepat pulang. Banyak
tugas. Nggak pa-pa, ya?” Keenan menimpali ringkas.
“No problemo,” Kugy tersenyum lebar, “sebetulnya sih
aku kepingin ngobrol, tapi ya udah, nanti-nanti aja.”
“Tentang?”
“Mmm ...,” Kugy berpikir sejenak, “udah hampir dua
minggu aku kasih majalah yang ada cerpenku itu, tapi ...
he-he ... kok, kamu belum komentar,” Kugy mesem-mesem,
“nggak maksa, sih ... cuma penasaran aja.”
Keenan menarik napas panjang untuk kedua kali. “Boleh
jujur?” tanyanya.
................ .............. .......... .......... ..............
“Saya nggak suka.”
Letupan dalam hati Kugy mendadak seperti dibanjur air
dingin. Padam. Air mukanya seketika berubah, meski ia berusaha
tampil tenang.
“Buat orang yang nggak tahu kamu, cerpen itu mungkin
bagus. Tapi saya merasa dongeng-dongeng kamu jauh lebih
otentik, lebih orisinal, dan lebih mencerminkan kamu yang
sebenarnya. Dalam cerpen itu, saya tidak menemukan diri
kamu. Yang saya temukan adalah penulis yang pintar merangkai
kata-kata, tapi nggak ada nyawa,” sambung Keenan
lagi.
Seluruh persendian tubuh Kugy serasa dikunci. Kata-kata
Keenan seolah menyulapnya menjadi patung. Ia cuma bisa
merasakan air ludahnya tertelan seperti bola bakso yang tak
sempat terkunyah.
“Maaf ya, Gy. Kalau memang kamu kepingin saya jujur,
ya itulah opini saya. Nggak kurang, nggak lebih.”
Kugy mengangguk kecil. “Makasih udah jujur,” ucapnya
pelan.
Tak lama kemudian, Keenan pamit pulang, dan Kugy tetap
berdiri di tempatnya. Merenungi kata demi kata yang
55
menusuknya bagai hunusan pedang es. Menyakitkan sekaligus
membekukan. Membuatnya bungkam tanpa bisa melawan.
Malam itu Kugy terjaga lama di tempat tidur. Telentang
menghadap langit-langit kamar kosnya dengan pikiran yang
terus berputar dan hati yang teraduk-aduk. Ia tak mengerti
mengapa komentar Keenan meninggalkan dampak yang
begitu dalam. Ia juga tak mengerti mengapa ia begitu menunggu-
nunggu pendapat Keenan, seolah pendapat manusia
satu itulah yang terpenting. Ironisnya, semua orang terdekatnya,
termasuk Ojos, menyukai dan memuji-muji cerpennya.
Hanya Keenan yang begitu tegas dan tanpa tedeng alingaling
menyatakan tidak suka.
Seharian Kugy bertanya dan bertanya: apa yang salah?
Bagaimana mungkin Keenan menyebutnya penulis yang
cuma pintar merangkai kata tapi tak bernyawa? Padahal ia
setengah mati mengerjakan cerita pendek itu. Setiap kata
dipilihnya dengan cermat dan teliti. Ia menulis dengan plot
.......... ............ .............. ............ .............. .............. ........................ ..............
momen yang sudah diperhitungkan. Ia hafal mati formula
dan teori dari pedoman membuat cerita yang baik dan benar.
Mungkinkah selera Keenan yang ‘‘salah’’?
Kugy terduduk tegak. Membuka majalah yang memuat
cerpennya, dan mulai membaca dari awal hingga akhir. Lalu
ia menyalakan komputer, membuka salah satu ........dongengnya,
dan juga membacanya saksama. Kugy mulai menyadari
sesuatu. Dalam dongengnya, ia seolah berlari bebas, sesuka
hati. Dalam cerpen itu, ia seperti berjalan meniti tali, berhati-
hati dan penuh kendali. Dan ada satu perbedaan yang
kini menjadi sangat jelas baginya: dalam dongengnya ia ber56
cerita untuk memuaskan dirinya sendiri, sementara dalam
cerpennya ia bercerita untuk memuaskan orang lain.
Ingatannya pun kembali mundur ke siang tadi, dan kembali
ia rasakan perih sayatan kata-kata Keenan. Namun, kali
ini Kugy ikut merasakan kebenarannya.
57
Bandung, Desember 1999 ...
Tempat kos yang lengang itu semakin terasa sepi karena
hampir semua penghuninya sudah kembali ke kota masingmasing
untuk menikmati liburan semester. Hanya segelintir
yang tersisa.
Keenan memasukkan barang-barang terakhirnya sebelum
tas itu resmi diamankan dengan gembok kecil.
Pintu kamarnya yang setengah terbuka tahu-tahu terbuka
lebar. Bimo, teman kosnya, muncul sambil menenteng travel
bag. “Hai, Nan. Jadi mau ikut ke Jakarta pakai mobil gua,
nggak? Masih ada tempat untuk satu lagi.”
Keenan menggeleng. “Nggak, Bim. Gua pakai kereta api
nanti sore. Udah beli tiket. Salam buat anak-anak, deh.”
Bimo yang sudah mau beranjak pergi mendadak menahan
langkahnya, seperti teringat sesuatu. “Oh, ya ... selamat,
ya.”
“Untuk?”
“Kata anak-anak, IP lu tertinggi satu angkatan. Nggak
7.
BULAN, PERJALANAN, KITA
58
percuma lu disebut Siluman Kampus, kerjanya pulang melulu,
ngerem di kamar kayak beruang,” Bimo terkekeh.
Keenan hanya tersenyum sekilas, entah harus merasa
bangga atau tersindir. Tapi ia cukup suka sebutan itu. Siluman
Kampus.
Begitu Fiat kuning itu menepi, Keenan yang sudah menunggu
di teras depan langsung menghampiri bagasi mobil
dan memasukkan tasnya. Baru setelah membuka pintu, ia
tersadar akan satu sosok yang tidak ia duga kehadirannya.
“Kugy? Kamu ke Jakarta hari ini juga?” tanya Keenan
heran.
“Hai, Nan. Aku tukeran tiket sama Eko,” jawab Kugy berseri-
seri.
Keenan ganti menatap Eko, “Gua pikir, Fuad dititip ke
Noni dan lu pulang ke Jakarta hari ini sama gua.”
“Ternyata gua baru bisa ke Subang lusa, Nan. Jadi Eko
nemenin gua dulu di Bandung,” Noni menjelaskan.
“Oh. Oke.” Keenan berkata pendek.
Sebersit perasaan aneh menyusupi hati Kugy, yang melengkapi
kecurigaannya selama ini. Tadinya Kugy berasumsi
bahwa sebulan ini Keenan banyak menyendiri karena belajar
mati-matian, dan itu memang dibuktikan oleh IP tertinggi
yang diraihnya. Tapi baru sore ini Kugy merasakan adanya
alasan lain. Ia merasa dihindari oleh Keenan.
Tanpa banyak bicara, Keenan mengempaskan tubuhnya
di jok belakang. Tungkai kakinya yang panjang membuat
lututnya selalu nyaris beradu dengan jok depan. Dengan
ekor matanya, Kugy mengamati. Sebagaimana ia mengamati
sepatu Keenan yang kali ini tampak baru dicuci bersih, sebagaimana
ia tahu Keenan sedang mengenakan kemeja jins
59
lengan panjang yang dulu dipakai saat menggandeng tangannya
di bioskop, sebagaimana ia hafal aroma sampo
yang meruap dari rambut Keenan yang tergerai. Kugy mengamati
dan mengingat itu semua. Untuk apa, ia pun tak mengerti.
Namun, semua itu melekat dalam memorinya, telah
lama menghantuinya, tanpa bisa ia kendalikan.
Keenan memejamkan matanya sejak sepuluh menit pertama
kereta api itu bertolak dari Stasiun Bandung. Ia terbangun
oleh karena haus yang menggigit dan hening yang dirasakan
terlalu lama dari seharusnya. Saat matanya membuka, kereta
itu memang sedang berhenti di sebuah stasiun kecil. Dan
Kugy tidak ada di sebelahnya.
Dari kasak-kusuk orang di sekeliling, Keenan menyimpulkan
bahwa kereta itu sudah berhenti lama di sana, dan keterlambatan
ini mulai menggelisahkan banyak penumpang.
Penasaran, Keenan pun memutuskan untuk keluar dan
bertanya langsung pada petugas.
“Muhun. Ada kereta yang anjlok, Cep. Jadi kita tertahan
di sini, mungkin setengah jam sampai sejam. Belum ada
pemberitahuan.” Petugas stasiun itu menjelaskan. Di atas
kepalanya tergantung plang: Stasiun Citatah. Kereta itu bahkan
belum menempuh separuh perjalanan.
Langit mulai remang, pertanda sore mulai menua. Awan
mendung yang sejak tadi bergelantungan mulai merintikkan
selapis gerimis tipis. Meski dianjurkan menunggu di dalam
kereta, Keenan merasa tak ingin kembali ke sana cepatcepat.
Ia mengedarkan pandangan, mencari sesuatu yang
sekiranya membuat perasaannya tertarik. Dan matanya tertumbuk
pada pelataran depan stasiun.
“Cep!.. .............. ......................
60
Sayup, Keenan mendengar petugas tadi memperingatkannya.
Namun, ia merasa kakinya terundang untuk keluar,
menuju jalanan pedesaan yang setengah becek, berhiaskan
satu-dua warung kopi yang mulai menyalakan lampu petromaksnya
untuk menyambut gelap malam.
Di sebuah warung, Keenan berhenti. Aneka gorengan
yang terpajang di sana tampak menarik, belum lagi bersisirsisir
pisang susu yang kuning masak tampak bergelantung
di kayu penyangga tendanya.
“Mangga, ngopi dulu, Den.” Ibu tua pemilik warung menyapa
ramah.
Baru saja Keenan hendak duduk di bangku kayu itu, tibatiba
dari sisi seberangnya muncul kepala dan kedua tangan
mungil yang sedang meraih pisang susu.
“Kugy?”
............ .......... ................ ........ .......... .............. .......... .............. ..........
heran bukan main.
“Hmm. Radar Neptunus—mungkin?” cetus Keenan,
antara geli dan takjub. Ia pun duduk di sebelah Kugy dan
memesan secangkir kopi panas. Keduanya langsung
mengobrol dan tertawa-tawa, tak habis pikir bagaimana mereka
bisa berakhir di tempat yang sama tanpa janjian.
“Sebentar ... sebentar ...” tiba-tiba Kugy memotong pembicaraan.
Wajahnya tampak siaga seolah-seolah sesuatu akan
menyeruak muncul.
“Ada apa?” Keenan ikut melihat ke sekeliling.
“Bau ini ... kamu cium, nggak?” Kugy mengendusendus.
“Kamu kentut?”
.................. .......... .......................... .......... ........ ............ .......... ..........
kena hujan ... kecium, nggak?” Kugy lantas menghirup napas
dalam-dalam, berkali-kali, dan mukanya seperti orang
ekstase. “Sedaaaaap ...,” gumamnya.
61
Keenan ikut mengendus, dan mulai ikut menghirup. “Gy
... tambah lagi wangi kopi, nih ... hmmm ... enaaak ....”
Kugy mencomot kulit pisang, “Tambah lagi nih wangi
pisang ... asoooy ....”
Keduanya sibuk membaui ini-itu, tanpa menyadari ibu
pemilik warung sudah mulai waswas melihat kelakuan mereka.
“Gerimis, wangi tanah kena hujan, kopi, dan pisang ...
dahsyat. Aku nggak bakal lupa kombinasi ini.” Kugy tersenyum
lebar, kilau di matanya kian bersinar tertimpa sinar
lampu.
“Stasiun Citatah, warung, lampu templok, dan ... kamu.
Saya juga nggak bakal lupa.”
Mendengar itu, Kugy termangu. Ia merasa tergerak untuk
mengatakan sesuatu, tapi lidahnya kelu. Ia ingin bertanya,
apakah intuisinya benar? Bahwa Keenan dengan halus telah
menghindarinya. Bahwa ada keanehan yang terjadi antara
mereka berdua, tapi entah apa. Namun, Kugy tak tahu harus
memulai dari mana.
Kembali dalam keheningan, mereka duduk diam. Keenan
menyeruput kopinya perlahan. Begitu juga Kugy dengan teh
panasnya. Namun, kali ini hening itu tidak menjengahkan.
Setiap detik bergulir sejuk dan khidmat, seperti tetes hujan
yang kini turun satu-satu.
“Nan ... kamu benar soal cerpenku itu,” tiba-tiba Kugy
memecah sunyi, “aku nggak menjadi diriku sendiri. Aku
bikin cerita itu untuk cari duit, untuk cari pengakuan doang
....”
Keenan mengangkat kepalanya, menatap balik pada Kugy
yang tengah menatapnya lekat-lekat.
“Makasih, ya. Kalau bukan karena kamu berani jujur
sama aku, mungkin aku nggak akan menyadari itu semua.
Nggak berarti aku bakal berhenti nulis cerpen sama sekali,
62
sih. Tapi sekarang aku bisa melihat diriku apa adanya, di
mana kelemahanku, dan di mana kekuatanku.”
Senyum mengembang di wajah Keenan. Hangat. “Gy,
jalan kita mungkin berputar, tapi satu saat, entah kapan,
kita pasti punya kesempatan jadi diri kita sendiri. Satu saat,
kamu akan jadi penulis dongeng yang hebat. Saya yakin.”
Kugy menghela napas, pandangan matanya mengembara.
“Gerimis, melukis, menulis ... satu saat nanti, kita jadi diri
kita sendiri,” gumamnya lambat, seperti mengeja. Seperti
mengucap doa.
Dari jauh terdengar pengumuman bahwa kereta api akan
segera diberangkatkan. Mereka berdua pun beranjak dari
sana. Tanpa terburu-buru. Menapaki tanah becek dengan
hati-hati. Tepat sebelum kereta berjalan, kaki mereka menjejak
gerbong.
Di gang antargerbong yang sempit dan berguncang keras,
keduanya berdiri sejenak. Kugy bisa merasakan jarak Keenan
yang begitu dekat di punggungnya, membaui aroma minyak
wangi yang samar tercium dari kemejanya, dan terasa sesekali
wajah Keenan menyentuh rambutnya.
Meski tempat mereka berdiri sangat berisik, Kugy dapat
mendengar Keenan berbisik di sela-sela rambutnya yang
berkibar ditiup angin. Entah Keenan berbisik untuknya, untuk
dirinya sendiri, atau untuk mereka berdua. Namun, dengan
jelas Kugy menangkap tiga kata yang dibisikkan
Keenan: “Bulan, perjalanan, kita ....”
Baru ketika duduk di bangkunya yang bersebelahan dengan
jendela, Kugy menyadari bahwa bulan bersinar benderang
di angkasa. Tanpa bisa ditahan, Kugy merasa pelupuk
matanya menghangat, dan pandangannya berkaca-kaca. Ingin
rasanya ia membungkus bisikan Keenan tadi, menyimpannya
di hati. Tiga kata yang tak sepenuhnya ia pahami, tapi nyata
ia alami saat ini. Bulan. Perjalanan. Mereka berdua.
63
Sudah sejam Ojos menunggu di kafe itu, segala macam minuman
dan donat aneka rasa sudah ia pesan sampai perutnya
penuh sesak. Dan akhirnya bergaunglah pengumuman
bahwa kereta api Parahyangan yang ditumpangi Kugy telah
tiba. Segera ia beranjak dari sana dan menunggu di mulut
pintu keluar.
Dari jauh Ojos sudah bisa mengenali sosok mungil itu.
Rambut sebahunya yang tergerai beradu dengan ransel besar
yang seolah menenggelamkan tubuh kecilnya, belum lagi
jaket jins yang sudah bisa dipastikan hasil minjam saking
kebesarannya. Namun, sesuatu di balik kekacauan berbusana
itulah yang membuat sosok itu mencuat di mana pun ia berada.
Dari jarak seperti ini pun Ojos bahkan sudah bisa melihat
hidupnya binar kedua mata itu, merasakan hangat kehadirannya,
tawanya yang lepas tanpa beban ... kening Ojos
tahu-tahu berkerut. Matanya memicing. Ada seseorang yang
berjalan di sebelah Kugy. Orang yang tidak ia kenal. Saksama,
Ojos mengamati, seperti menjalankan scanning. Keningnya
semakin berkeriut.
................ .......... ........................ ................ .......... ..............................
setengah berlari.
“Hi, Babe,” Ojos meraih pinggang Kugy, dan mengecupnya
di pipi. Sigap, ia melepaskan ransel dari bahu Kugy lalu
menyampirkan barang besar itu di bahunya.
“Jos, kenalin. Ini sepupunya Eko ....”
“Keenan.” Keenan langsung mengulurkan tangan dan tersenyum
ramah.
“Hai. Joshua.” Ojos menyambut tangan itu. Sebelah tangannya
tak lepas merangkul Kugy.
“Sampai ketemu semester depan, ya, Gy. Selamat menulis.”
64
“Selamat melukis. Jangan lupa ....” Kugy menempelkan
kedua telunjuknya di ubun-ubun seperti antena.
Seketika Keenan tertawa renyah. “Radar Neptunus ...,” ia
lalu ikut menempelkan kedua telunjuk di ubun-ubun.
Mata Ojos tak lepas mengamati itu semua, bahkan ketika
Keenan sudah pamit pulang dan membalik pergi. Ada gelombang
yang tertangkap oleh radarnya. Gelombang yang mengisyaratkan
ketidakberesan, situasi yang tidak aman. Dan
Ojos tidak merasa nyaman.


65
Meja makan dengan empat kursi itu baru diisi tiga orang,
satu kursi masih kosong. Meski hanya bertiga, suasana di
meja makan itu terasa semarak. Dua bersaudara laki-laki itu
mengobrol tanpa henti seolah sudah tahunan tak bertemu.
Ibu mereka sesekali menimpali, atau ikut tertawa bersama.
Terdengar suara pintu depan terbuka, dan seseorang memasuki
ruang makan, duduk di kursi keempat.
“Hai, Pa ...,” Jeroen dan Keenan menyapa.
“Maaf ya, kalian jadi menunggu. Tamu itu sudah Papa
suruh datang ke kantor saja, tapi dia maksa datang ke sini
karena udah nggak ada waktu lagi, katanya.”
“It’s okay.” Lena tersenyum sambil menuangkan teh panas
ke cangkir suaminya. “Keenan punya pengumuman buat
kamu, tuh.”
“Oh, ya? Apa, Nan?” tanya ayahnya sambil meminum teh
itu sedikit demi sedikit.
Keenan melirik ibunya, seperti ragu untuk bicara. “Mmm
... IP saya 3,7 semester ini.”
“Tertinggi di angkatannya,” Lena menambahkan dengan
senyum berseri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar