Cari Blog Ini

Minggu, 19 Mei 2013

Perahu Kertas 1 (part 3)


sory.. udah nunggu lama. maklum baru UN....
silahkan......


36
Nama depannya dari ‘K’ semua,” Kugy menjelaskan, “Ini
abangku paling besar, Karel. Kakak perempuanku, Karin. Ini
abangku yang cuma beda setahun sama aku, Kevin. Dan
adik bungsuku, Keshia.”
“Nama kamu yang paling unik, ya.”
“Tepatnya, yang paling aneh,” Kugy tergelak, “kayaknya
waktu itu orangtuaku habis bahan. Masih untung nggak jadi
Karbol.”
“Tapi kamu yang paling cantik.”
Mendadak kerongkongan Kugy seperti tercekat. Tangannya
serta-merta menunjuk ke arah rak buku tempat koleksi
komik dan buku dongengnya berbaris rapi, demi mengalihkan
pembicaraan. “Ini sebagian kecil koleksiku. Yang di rumah
jauh lebih banyak.”
“Kata Eko, kamu suka nulis dongeng, ya?”
“Iya. Hobi sejak kecil.”
“Tulisan kamu udah banyak?”
“Kalau kuantitas sih banyak, tapi pembaca nggak ada.
Dan bukannya tulisan baru bermakna kalau ada yang baca?”
Kugy tertawa kecil, “Sejauh ini sih cuma dinikmati sendiri
aja.”
“Kenapa gitu?”
“Siapa sih yang mau baca dongeng?” Kugy terkekeh lagi.
“Mungkin aku harus jadi guru TK dulu, supaya punya pembaca.
Minimal dongengku bisa dibacakan di kelas.”
“Banyak penulis cerita dongeng yang bisa terkenal, dan
nggak harus jadi guru TK dulu untuk punya pembaca.”
Senyum simpul mengembang di wajah Kugy, seolah-olah
hendak menjawab pertanyaan klasik yang sudah ia hafal
mati jawabannya. “Keenan, umurku 18 tahun, kuliah jurusan
Sastra, kepingin jadi penulis serius dan dihargai sebagai penulis
serius. Orang-orang di lingkunganku kepingin jadi
juara menulis cerpen di majalah dewasa, atau juara lomba
37
novel Dewan Kesenian Jakarta, dan itu menjadi pembuktian
yang dianggap sah. Sementara isi kepalaku cuma Pangeran
Lobak, Peri Seledri, Penyihir Nyi Kunyit, dan banyak lagi
tokoh-tokoh sejenis. Di umurku, harusnya aku nulis kisah
cinta, kisah remaja, kisah dewasa ....”
“Banyak cerita dongeng yang isinya kisah cinta.”
“Intinya adalah: semua itu nggak matching! Antara umur-
........ .................. .......................... ...................... .......... ............ ........ ............
dan isi kepala ini.”
“Saya masih nggak ngerti.” Keenan melipat tangannya di
dada.
“Waktu aku kecil, punya cita-cita ingin jadi penulis dongeng
masih terdengar lucu. Begitu sudah besar begini, penulis
dongeng terdengar konyol dan nggak realistis. Setidaknya,
aku harus jadi penulis serius dulu. Baru nanti setelah
mapan, lalu orang-orang mulai percaya, aku bisa nulis dongeng
sesuka-sukaku.”
“Jadi ... kamu ingin menjadi sesuatu yang bukan diri
kamu dulu, untuk akhirnya menjadi diri kamu yang asli,
begitu?”
“Yah, kalau memang harus begitu jalannya, kenapa
nggak?”
“Bukannya itu yang nggak matching?” tanya Keenan lagi,
tajam.
“Asal kamu tahu, di negara ini, cuma segelintir penulis
yang bisa cari makan dari nulis tok. Kebanyakan dari mereka
punya pekerjaan lain, jadi wartawan kek, dosen kek,
copy writer di biro iklan kek. Apalagi kalau mau jadi penulis
.................. .................... ........ .............. .................... .................. .......... ......
nulis dongeng bukan pekerjaan ‘serius’. Nggak bisa makan.”
“Tadi kamu makan pizza. Nggak ada masalah, kan? Artinya
kamu bisa makan.”
38
“Aku harus bisa mandiri, punya penghasilan yang jelas,
baru setelah itu ... TER-SE-RAH,” nada suara Kugy mulai
tinggi, “aku nggak tahu kamu selama ini ada di planet mana,
tapi di planet bernama Realitas ini, aturan mainnya ya
begitu.”
Keenan terdiam. Di kepalanya melintas gulungan-gulungan
kanvas bertorehkan lukisan yang ia tinggalkan di
Amsterdam. “Betul. Memang begitu aturan mainnya,” gumamnya.
Keduanya membisu, cukup lama hingga suasana di kamar
itu terasa menjengahkan.
“Saya tunggu di luar, ya. Siapa tahu Eko bentar lagi mau
pulang.” Keenan pun berjalan ke arah pintu.
“Sebentar,” sergah Kugy, “aku mau kasih pinjam kamu
sesuatu.” Ia lalu membuka lemari kecil di bagian bawah
meja belajarnya dan mengeluarkan bundel tebal berukuran
A-4 yang dijilid ring logam.
Keenan menerima bundel yang disodorkan padanya. Di
sampul depannya tertulis: “Kumpulan Dongeng Dari Peti
Ajaib—Oleh: Kugy Karmachameleon”.
“Aku punya peti kuno, dikasih sama Karel, abangku. Bentuknya
kayak peti harta karun yang ada di komik-komik.
Karel bilang, peti itu diambil dari perahu karam, dan isinya
gulungan-gulungan naskah sejarah yang jadi hancur karena
terendam air laut. Aku senang sekali dapat peti itu, dan aku
bertekad untuk mengisinya ulang dengan naskah-naskah dongeng
buatanku, supaya peti itu kembali berisikan sesuatu.
Aku menulis dengan super semangat. Bertahun-tahun. Dan
jadilah bundel itu. Silakan kamu baca-baca. Kamu bisa kembalikan
kapan pun kamu mau.”
Keenan menatap Kugy, kehilangan kata-kata. Diusapnya
sampul depan bundel itu dengan hati-hati.
“Barang itu belum pernah berpindah tangan sebelumnya.
39
Aku juga nggak tahu kenapa bisa tergerak meminjamkannya
sama orang yang baru aku kenal tadi sore,” ucap Kugy
pelan.
“Makasih. Dan maaf kalau tadi saya ....”
“Baru beberapa tahun yang lalu aku tahu kalau peti itu
dibeli Karel dan ayahku di toko barang antik, di Jalan
Surabaya, di Jakarta. Peti itu bukan peti harta karun. Bukan
juga dari kapal karam. Sama seperti Neptunus yang tidak
ada, dan surat-suratku yang mungkin cuma jadi mainan
ikan, atau jadi sampah yang bikin sungai banjir,” Kugy menatap
Keenan tajam, “dan itulah kenyataan di planet bernama
Realitas ini.”
Keenan kembali kehilangan kata-kata. Keheningan kembali
membungkus ruangan itu.
Namun, ada satu hal yang mengusik Keenan, dan ia memutuskan
untuk bertanya. “Nama lengkap kamu Kugy
Karmachameleon?”
“Bukan. Kugy Alisa Nugroho.”
“Jauh, ya?”
Malam itu, Keenan terjaga hingga larut. Ia tenggelam dalam
dunia khayal Kugy yang membawanya jauh ke Negeri Antigravitia
yang menggantung di selapis langit sebelum bulan,
ke bawah tanah tempatnya Joni Gorong si undur-undur
penggali, ke dunia sayur-mayur tempat Wortelina menjadi
penari balet yang ternama.
Keenan menyadari betapa berharganya bundel yang ada
di tangannya itu. Setiap helai bernapaskan semangat dan
rasa percaya yang begitu kuat. Sebagian besar naskah itu
ditulis Kugy menggunakan komputer, tapi ada banyak juga
yang ia tulis dengan tangan. Bahkan beberapa kali Kugy ke40
dapatan mencoba menggambar, membuat ilustrasi atas
tokoh-tokohnya sendiri.
Ada rasa haru yang spontan membersit ketika Keenan
melihat usaha Kugy itu. Anak ini adalah penulis yang luar
biasa, tapi dia sama sekali tidak bisa menggambar, komentarnya
dalam hati. Keenan lalu meraih buku sketsanya yang
masih baru, meraih peralatannya yang masih tersimpan di
dalam tas, dan ia mulai menggambar dengan tekun. Sepanjang
malam, Keenan membuat puluhan sketsa sekaligus.
Saat ayam berkokok dari kejauhan, Keenan baru berhenti.
Tersadar bahwa baru kali itulah ia menggambar begitu banyak
untuk seseorang yang baru dikenalnya tadi sore.
41
Bandung, September 1999 ...
Dari kejauhan Kugy seketika bisa mengenali sosok itu. Tubuh
yang menjulang tinggi dengan rambut melewati bahu
yang diikat satu. Di punggungnya tergandul ransel merah
marun dengan emblem huruf “K” warna hitam yang dijahit
di tengah-tengah. Dia satu-satunya yang berambut gondrong
di tengah anak-anak angkatan baru yang dipotong cepak
gara-gara ikut opspek. Dia memilih tidak ikut opspek daripada
kehilangan kuncirnya itu—satu-satunya peninggalan
otentik dari Amsterdam yang terbawa sampai ke Bandung,
katanya begitu.
“Hey, Kay ....”
“Hey ... another Kay.” Keenan tertawa lebar sambil
sekilas mengacak rambut Kugy. “Baru mandi, ya?”
Kugy langsung manyun. “Segitu kelihatannyakah?”
“Oh, jelas sekali. Rambut kamu masih basah, dan kamu
kelihatan agak cemerlang dari biasa.”
Kugy manyun lagi. “Tumben aku ketemu kamu di kam-
5.
SEBATANG PISANG SUSU
42
pus. Kalau bukan kita berempat punya ritual nonton midnight
setiap Sabtu, kayaknya aku nggak akan ketemu kamu
di mana-mana lagi. Sibuk, ya?”
Keenan menebarkan pandangannya ke sekitar, mengangkat
bahu sekilas. “Saya di kampus hanya seperlunya aja.
Nggak terlalu suka nongkrong-nongkrong.”
Kugy ingin berceletuk: pantas saja. Hampir setiap hari ia
melewati Fakultas Ekonomi, tempat Keenan berkuliah. Dan
hampir setiap hari ia melongok untuk melihat keberadaan
ransel merah marun bertuliskan huruf “K” itu. Kugy bahkan
sempat curiga jangan-jangan Keenan sebetulnya kuliah lewat
jalur Universitas Terbuka.
“Kalau makan siang di kampus—masih berminat?” tanya
Kugy.
“Tergantung siapa yang ngajak.”
Kugy menggelengkan kepala, “Jawaban yang salah. Harusnya:
tergantung siapa yang bayar.”
“Jadi, saya bakal ditraktir, nih?”
“Ada satu tempat makan yang wajib dijajal. Jangan ngaku
anak kampus deh kalau belum pernah ke sana ....”
“Enak banget, ya?”
“Bukan. Murah banget.”
“Oh. Pantesan nraktir ...,” gumam Keenan sambil mengekeh
pelan.
Warung nasi dengan dinding bambu itu tampak padat.
Orang-orang berderet memilih makanan yang disajikan prasmanan.
Keenan berhenti sejenak untuk membaca plang yang
tergantung di pintu: “Warteg Pemadam Kelaparan”.
Mereka lalu duduk di pojok dekat jendela, bersebelahan
dengan pisang susu yang digantung bertumpuk.
43
Keenan sungguhan terpana melihat nasi yang menggunung
sampai nyaris tumpah dari pinggiran piring Kugy.
“Kecil-kecil makannya banyak juga, ya,” komentarnya.
“Menurut survei: selain narik becak dan gali kubur, pekerjaan
mengkhayal dan menulis ternyata juga butuh asupan
kalori tinggi,” sahut Kugy, lalu mencabut dua pisang susu
yang bergantung di sebelah kepalanya.
Keenan menatap adegan itu dengan decak kagum. “Kamu
memang makhluk penuh kejutan.”
.......... ........ ............ ............ ................ ............ .................. ............ ..........
................ ................ ............ ...................... .... ........ ..................
“Handphone?” Keenan memicingkan mata.
................ .......... ................ .............. .............. .................. .................. ........
penku dimuat. Honornya cukup buat beli HP baru dan traktir
kamu makan siang sekarang.”
“Wah, kejutan baru lagi. Selamat, ya,” Keenan menyalami
Kugy, “mau baca cerpennya, dong.”
Kugy tampak gelagapan. Mendadak ia merasa gugup. Sesungguhnya,
salah satu alasan ia sering lewat-lewat fakultas
Keenan adalah untuk memberikan majalah yang memuat
cerpennya, yang sudah ia siapkan di dalam ranselnya dan ia
bawa setiap hari. Kugy lalu membongkar tasnya dan menyerahkan
majalah yang sudah agak ringsek itu. “Ini, aku
sudah siapkan satu untuk kamu.”
Keenan menerimanya dengan mata berbinar. “Kugy
Karmachameleon ... jadi penulis betulan. Hebat.”
Kugy tergelak, “Aku memang sudah mengusulkan ke
mamaku untuk ganti nama jadi Karma. Tapi belum ada tanggapan.”
“Saya boleh kasih tahu kamu sesuatu? Menurut saya,
kamu penulis yang sangat bagus.”
Muka Kugy memerah. “Baca aja belum, kok bisa bilang
bagus ....”
44
“Saya bukan ngomongin cerpen kamu, tapi dongengdongeng
kamu.”
Mendadak Kugy merasa mati gaya. Mati langkah. Ia tersadar,
satu hal langka telah terjadi: dirinya salah tingkah.
Benar-benar tidak tahu harus merespons apa. Akhirnya Kugy
mencomot satu lagi pisang susu. Mengunyahnya lahap.
“Kamu terakhir makan kapan, sih? Lapar berat, ya?”
“Aku suka lukisan-lukisan kamu.”
“Memangnya kamu udah lihat?”
“Belum. Justru itu. Belum lihat aja suka, apalagi kalau
udah lihat,” Kugy terkekeh sendiri. Ia merasa wajahnya semakin
panas, dan omongannya semakin ngaco.
“Kalau gitu, habis makan siang, kita ke tempat saya, yuk.
Saya mau kasih lihat lukisan-lukisan saya.”
Kugy mengangguk. Ada senyum spontan yang tak bisa ia
tahan. Mendadak ia mensyukuri celetukan asalnya tadi. Mendadak
ia ingin cepat-cepat menuntaskan makan siang ini.
Tempat kos Keenan terletak agak jauh dari kampus mereka.
Sebuah rumah peninggalan zaman Belanda yang dikelilingi
pepohonan rindang. Berbeda dengan tempat kos Kugy dan
Noni yang padat, tempat kos Keenan hanya diisi oleh beberapa
orang saja. Kamar-kamarnya berukuran luas dengan
langit-langit yang tinggi.
Napas Kugy seketika tertahan ketika pintu besar itu terbuka
dan Keenan menyalakan sakelar lampu. Rel-rel kawat
bersaling silang di bawah plafon dengan lampu-lampu halogen
kecil yang bergantungan menerangi beberapa spot tempat
lukisan-lukisan Keenan yang terpaku di dinding atau
didirikan begitu saja di atas lantai. Kamar dengan ubin abuabu
itu tampak lengang karena tidak banyak perabot. Hanya
45
satu tempat tidur, lemari pakaian kecil yang di atasnya diletakkan
sebuah mini compo, dan meja belajar besar tempat
alat-alat gambar Keenan berjajar rapi.
“Nan ..., harusnya kamu bukan kuliah Manajemen, tapi
Seni Rupa ...,” gumam Kugy sambil pelan-pelan melangkah
masuk, “dan ini lebih pantas disebut galeri ketimbang kamar
kos ....”
Keenan membawa Kugy berkeliling melihat lukisan-lukisannya,
seperti orang pameran. “Ini judulnya: Sunset from the
Rooftop ... ini judulnya: Heart of Bliss ... yang ini: The Shady
Morning ... yang ini: Silent Confession ... dan ini ....”
“Yang ini yang paling aneh,” potong Kugy, menunjuk lukisan
yang hanya seperti gradasi warna dan garis-garis halus
seperti larik-larik kapas. “Yang lain ada gambar orangnya
semua. Cuma ini yang nggak ada.”
“Tebak judulnya apa.”
“Gila, itu sih mission impossible, namanya. Mana mungkin
ketebak.”
“Lukisan yang satu ini jangan dipikir, tapi harus dirasa.
Apa perasaan yang muncul ketika kamu lihat lukisan ini?
Itulah judulnya.”
Kugy menatap lukisan itu lekat-lekat. Lalu ia memejamkan
mata. Lama. Lantas terdengar napasnya mengembus,
dan setengah berbisik ia mengucap, “Bebas.”
Giliran Keenan yang terpaku. Perlahan, ia membalik lukisan
yang berdiri di lantai itu, dan menunjuk judul yang
tertera di baliknya.
Kugy melongo. “Freedom?”
“Sumpah ... saya sama sekali nggak sangka kamu bisa
menebak setepat itu,” Keenan garuk-garuk kepala, “ini kebetulan
yang aneh.”
Kugy menggeleng, “Aku nggak percaya kebetulan. Ini
pasti karena kita dulunya sama-sama utusan Neptunus. Wak46
tu itu, kita dibekali telepati. Cuma, sebelum dikirim ke
Bumi, kita dibikin amnesia. Supaya seru,” katanya mantap.
Keenan manggut-manggut. “Bisa jadi. Boleh juga teorinya.”
“Ehm, tapi untuk pertanyaan yang satu ini aku nggak
mau menggunakan kemampuan telepati,” Kugy nyengir, “sebetulnya
ini gambar apa, ya?”
“Lukisan ini menggambarkan sudut pandang seekor burung
di angkasa saat terbang. Dia tidak melihat batas apaapa,
tidak melihat perintang apa-apa, tidak terikat oleh
Bumi. Bebas. Total.”
Pandangan Kugy yang tadi melekat pada lukisan perlahan
beralih pada Keenan, ia seperti tergerak untuk menanyakan
sesuatu. “Boleh tahu kapan kamu melukisnya?”
“Waktu tahu saya lolos UMPTN.”
“Kamu ... sebetulnya ... terpaksa kuliah di sini, ya?” ucap
Kugy hati-hati. Tidak yakin apakah pertanyaan itu pantas
diajukan, tapi mulutnya seperti tak bisa ditahan.
Keenan menatap Kugy balik, tebersit senyum getir di
wajahnya. “Nggak matching,” ujarnya pendek, “antara minat,
cita-cita, dan keinginan orangtua. Harus membuktikan bahwa
saya bisa mandiri lewat melukis, sementara kesempatannya
tidak pernah dikasih.” Ia lalu mengangkat bahu, “Mungkin
harus dengan cara yang kamu bilang dulu. Berputar
menjadi sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi diri
kita lagi.”
Ingatan Kugy kembali ke momen di kamar kosnya dulu.
Barulah ia mengerti, sesungguhnya waktu itu Keenan membicarakan
dirinya sendiri. Dan kesunyian yang sama kembali
hadir di antara mereka.
“Dan ... karena kamu sudah berhasil menebak judul lukisan
ini, saya mau kasih hadiah.” Air muka Keenan kembali
menghangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar