sory.. udah nunggu lama. maklum baru UN....
silahkan......
36
Nama
depannya dari ‘K’ semua,” Kugy menjelaskan, “Ini
abangku
paling besar, Karel. Kakak perempuanku, Karin. Ini
abangku
yang cuma beda setahun sama aku, Kevin. Dan
adik
bungsuku, Keshia.”
“Tepatnya,
yang paling aneh,” Kugy tergelak, “kayaknya
waktu
itu orangtuaku habis bahan. Masih untung nggak jadi
Karbol.”
“Tapi
kamu yang paling cantik.”
Mendadak
kerongkongan Kugy seperti tercekat. Tangannya
serta-merta
menunjuk ke arah rak buku tempat koleksi
komik
dan buku dongengnya berbaris rapi, demi mengalihkan
pembicaraan.
“Ini sebagian kecil koleksiku. Yang di rumah
jauh
lebih banyak.”
“Kata
Eko, kamu suka nulis dongeng, ya?”
“Iya.
Hobi sejak kecil.”
“Tulisan
kamu udah banyak?”
“Kalau
kuantitas sih banyak, tapi pembaca nggak ada.
Dan
bukannya tulisan baru bermakna kalau ada yang baca?”
Kugy
tertawa kecil, “Sejauh ini sih cuma dinikmati sendiri
aja.”
“Kenapa
gitu?”
“Siapa
sih yang mau baca dongeng?” Kugy terkekeh lagi.
“Mungkin
aku harus jadi guru TK dulu, supaya punya pembaca.
Minimal
dongengku bisa dibacakan di kelas.”
“Banyak
penulis cerita dongeng yang bisa terkenal, dan
nggak
harus jadi guru TK dulu untuk punya pembaca.”
Senyum
simpul mengembang di wajah Kugy, seolah-olah
hendak
menjawab pertanyaan klasik yang sudah ia hafal
mati
jawabannya. “Keenan, umurku 18 tahun, kuliah jurusan
Sastra,
kepingin jadi penulis serius dan dihargai sebagai penulis
serius.
Orang-orang di lingkunganku kepingin jadi
juara
menulis cerpen di majalah dewasa, atau juara lomba
37
novel
Dewan Kesenian Jakarta, dan itu menjadi pembuktian
yang
dianggap sah. Sementara isi kepalaku cuma Pangeran
Lobak,
Peri Seledri, Penyihir Nyi Kunyit, dan banyak lagi
tokoh-tokoh
sejenis. Di umurku, harusnya aku nulis kisah
cinta,
kisah remaja, kisah dewasa ....”
“Banyak
cerita dongeng yang isinya kisah cinta.”
“Intinya
adalah: semua itu nggak matching! Antara umur-
........
.................. .......................... ...................... ..........
............ ........ ............
dan
isi kepala ini.”
“Saya
masih nggak ngerti.” Keenan melipat tangannya di
dada.
“Waktu
aku kecil, punya cita-cita ingin jadi penulis dongeng
masih
terdengar lucu. Begitu sudah besar begini, penulis
dongeng
terdengar konyol dan nggak realistis. Setidaknya,
aku
harus jadi penulis serius dulu. Baru nanti setelah
mapan,
lalu orang-orang mulai percaya, aku bisa nulis dongeng
sesuka-sukaku.”
“Jadi
... kamu ingin menjadi sesuatu yang bukan diri
kamu
dulu, untuk akhirnya menjadi diri kamu yang asli,
begitu?”
“Yah,
kalau memang harus begitu jalannya, kenapa
nggak?”
“Bukannya
itu yang nggak matching?” tanya Keenan lagi,
tajam.
“Asal
kamu tahu, di negara ini, cuma segelintir penulis
yang
bisa cari makan dari nulis tok. Kebanyakan dari mereka
punya
pekerjaan lain, jadi wartawan kek, dosen kek,
copy
writer di biro iklan kek. Apalagi kalau mau jadi penulis
..................
.................... ........ .............. ....................
.................. .......... ......
nulis
dongeng bukan pekerjaan ‘serius’. Nggak bisa makan.”
“Tadi
kamu makan pizza. Nggak ada masalah, kan? Artinya
kamu
bisa makan.”
38
“Aku
harus bisa mandiri, punya penghasilan yang jelas,
baru
setelah itu ... TER-SE-RAH,” nada suara Kugy mulai
tinggi,
“aku nggak tahu kamu selama ini ada di planet mana,
tapi
di planet bernama Realitas ini, aturan mainnya ya
begitu.”
Keenan
terdiam. Di kepalanya melintas gulungan-gulungan
kanvas
bertorehkan lukisan yang ia tinggalkan di
Amsterdam.
“Betul. Memang begitu aturan mainnya,” gumamnya.
Keduanya
membisu, cukup lama hingga suasana di kamar
itu
terasa menjengahkan.
“Saya
tunggu di luar, ya. Siapa tahu Eko bentar lagi mau
pulang.”
Keenan pun berjalan ke arah pintu.
“Sebentar,”
sergah Kugy, “aku mau kasih pinjam kamu
sesuatu.”
Ia lalu membuka lemari kecil di bagian bawah
meja
belajarnya dan mengeluarkan bundel tebal berukuran
A-4
yang dijilid ring logam.
Keenan
menerima bundel yang disodorkan padanya. Di
sampul
depannya tertulis: “Kumpulan Dongeng Dari Peti
Ajaib—Oleh:
Kugy Karmachameleon”.
“Aku
punya peti kuno, dikasih sama Karel, abangku. Bentuknya
kayak
peti harta karun yang ada di komik-komik.
Karel
bilang, peti itu diambil dari perahu karam, dan isinya
gulungan-gulungan
naskah sejarah yang jadi hancur karena
terendam
air laut. Aku senang sekali dapat peti itu, dan aku
bertekad
untuk mengisinya ulang dengan naskah-naskah dongeng
buatanku,
supaya peti itu kembali berisikan sesuatu.
Aku
menulis dengan super semangat. Bertahun-tahun. Dan
jadilah
bundel itu. Silakan kamu baca-baca. Kamu bisa kembalikan
kapan
pun kamu mau.”
Keenan
menatap Kugy, kehilangan kata-kata. Diusapnya
sampul
depan bundel itu dengan hati-hati.
“Barang
itu belum pernah berpindah tangan sebelumnya.
39
Aku
juga nggak tahu kenapa bisa tergerak meminjamkannya
sama
orang yang baru aku kenal tadi sore,” ucap Kugy
pelan.
“Makasih.
Dan maaf kalau tadi saya ....”
“Baru
beberapa tahun yang lalu aku tahu kalau peti itu
dibeli
Karel dan ayahku di toko barang antik, di Jalan
Surabaya,
di Jakarta. Peti itu bukan peti harta karun. Bukan
juga
dari kapal karam. Sama seperti Neptunus yang tidak
ada,
dan surat-suratku yang mungkin cuma jadi mainan
ikan,
atau jadi sampah yang bikin sungai banjir,” Kugy menatap
Keenan
tajam, “dan itulah kenyataan di planet bernama
Realitas
ini.”
Keenan
kembali kehilangan kata-kata. Keheningan kembali
membungkus
ruangan itu.
Namun,
ada satu hal yang mengusik Keenan, dan ia memutuskan
untuk
bertanya. “Nama lengkap kamu Kugy
Karmachameleon?”
“Bukan.
Kugy Alisa Nugroho.”
“Jauh,
ya?”
Malam
itu, Keenan terjaga hingga larut. Ia tenggelam dalam
dunia
khayal Kugy yang membawanya jauh ke Negeri Antigravitia
yang
menggantung di selapis langit sebelum bulan,
ke
bawah tanah tempatnya Joni Gorong si undur-undur
penggali,
ke dunia sayur-mayur tempat Wortelina menjadi
penari
balet yang ternama.
Keenan
menyadari betapa berharganya bundel yang ada
di
tangannya itu. Setiap helai bernapaskan semangat dan
rasa
percaya yang begitu kuat. Sebagian besar naskah itu
ditulis
Kugy menggunakan komputer, tapi ada banyak juga
yang
ia tulis dengan tangan. Bahkan beberapa kali Kugy ke40
dapatan
mencoba menggambar, membuat ilustrasi atas
tokoh-tokohnya
sendiri.
Ada
rasa haru yang spontan membersit ketika Keenan
melihat
usaha Kugy itu. Anak ini adalah penulis yang luar
biasa,
tapi dia sama sekali tidak bisa menggambar, komentarnya
dalam
hati. Keenan lalu meraih buku sketsanya yang
masih
baru, meraih peralatannya yang masih tersimpan di
dalam
tas, dan ia mulai menggambar dengan tekun. Sepanjang
malam,
Keenan membuat puluhan sketsa sekaligus.
Saat
ayam berkokok dari kejauhan, Keenan baru berhenti.
Tersadar
bahwa baru kali itulah ia menggambar begitu banyak
untuk
seseorang yang baru dikenalnya tadi sore.
41
Bandung,
September 1999 ...
Dari
kejauhan Kugy seketika bisa mengenali sosok itu. Tubuh
yang
menjulang tinggi dengan rambut melewati bahu
yang
diikat satu. Di punggungnya tergandul ransel merah
marun
dengan emblem huruf “K” warna hitam yang dijahit
di
tengah-tengah. Dia satu-satunya yang berambut gondrong
di
tengah anak-anak angkatan baru yang dipotong cepak
gara-gara
ikut opspek. Dia memilih tidak ikut opspek daripada
kehilangan
kuncirnya itu—satu-satunya peninggalan
otentik
dari Amsterdam yang terbawa sampai ke Bandung,
katanya
begitu.
“Hey,
Kay ....”
“Hey
... another Kay.” Keenan tertawa lebar sambil
sekilas
mengacak rambut Kugy. “Baru mandi, ya?”
Kugy
langsung manyun. “Segitu kelihatannyakah?”
“Oh,
jelas sekali. Rambut kamu masih basah, dan kamu
kelihatan
agak cemerlang dari biasa.”
Kugy
manyun lagi. “Tumben aku ketemu kamu di kam-
5.
SEBATANG
PISANG SUSU
42
pus.
Kalau bukan kita berempat punya ritual nonton midnight
setiap
Sabtu, kayaknya aku nggak akan ketemu kamu
di
mana-mana lagi. Sibuk, ya?”
Keenan
menebarkan pandangannya ke sekitar, mengangkat
bahu
sekilas. “Saya di kampus hanya seperlunya aja.
Nggak
terlalu suka nongkrong-nongkrong.”
Kugy
ingin berceletuk: pantas saja. Hampir setiap hari ia
melewati
Fakultas Ekonomi, tempat Keenan berkuliah. Dan
hampir
setiap hari ia melongok untuk melihat keberadaan
ransel
merah marun bertuliskan huruf “K” itu. Kugy bahkan
sempat
curiga jangan-jangan Keenan sebetulnya kuliah lewat
jalur
Universitas Terbuka.
“Kalau
makan siang di kampus—masih berminat?” tanya
Kugy.
“Tergantung
siapa yang ngajak.”
Kugy
menggelengkan kepala, “Jawaban yang salah. Harusnya:
tergantung
siapa yang bayar.”
“Jadi,
saya bakal ditraktir, nih?”
“Ada
satu tempat makan yang wajib dijajal. Jangan ngaku
anak
kampus deh kalau belum pernah ke sana ....”
“Enak
banget, ya?”
“Bukan.
Murah banget.”
“Oh.
Pantesan nraktir ...,” gumam Keenan sambil mengekeh
pelan.
Warung
nasi dengan dinding bambu itu tampak padat.
Orang-orang
berderet memilih makanan yang disajikan prasmanan.
Keenan
berhenti sejenak untuk membaca plang yang
tergantung
di pintu: “Warteg Pemadam Kelaparan”.
Mereka
lalu duduk di pojok dekat jendela, bersebelahan
dengan
pisang susu yang digantung bertumpuk.
43
Keenan
sungguhan terpana melihat nasi yang menggunung
sampai
nyaris tumpah dari pinggiran piring Kugy.
“Kecil-kecil
makannya banyak juga, ya,” komentarnya.
“Menurut
survei: selain narik becak dan gali kubur, pekerjaan
mengkhayal
dan menulis ternyata juga butuh asupan
kalori
tinggi,” sahut Kugy, lalu mencabut dua pisang susu
yang
bergantung di sebelah kepalanya.
Keenan
menatap adegan itu dengan decak kagum. “Kamu
memang
makhluk penuh kejutan.”
..........
........ ............ ............ ................ ............
.................. ............ ..........
................
................ ............ ...................... .... ........
..................
“Handphone?”
Keenan memicingkan mata.
................
.......... ................ .............. .............. ..................
.................. ........
penku
dimuat. Honornya cukup buat beli HP baru dan traktir
kamu
makan siang sekarang.”
“Wah,
kejutan baru lagi. Selamat, ya,” Keenan menyalami
Kugy,
“mau baca cerpennya, dong.”
Kugy
tampak gelagapan. Mendadak ia merasa gugup. Sesungguhnya,
salah
satu alasan ia sering lewat-lewat fakultas
Keenan
adalah untuk memberikan majalah yang memuat
cerpennya,
yang sudah ia siapkan di dalam ranselnya dan ia
bawa
setiap hari. Kugy lalu membongkar tasnya dan menyerahkan
majalah
yang sudah agak ringsek itu. “Ini, aku
sudah
siapkan satu untuk kamu.”
Keenan
menerimanya dengan mata berbinar. “Kugy
Karmachameleon
... jadi penulis betulan. Hebat.”
Kugy
tergelak, “Aku memang sudah mengusulkan ke
mamaku
untuk ganti nama jadi Karma. Tapi belum ada tanggapan.”
“Saya
boleh kasih tahu kamu sesuatu? Menurut saya,
kamu
penulis yang sangat bagus.”
Muka
Kugy memerah. “Baca aja belum, kok bisa bilang
bagus
....”
44
“Saya
bukan ngomongin cerpen kamu, tapi dongengdongeng
kamu.”
Mendadak
Kugy merasa mati gaya. Mati langkah. Ia tersadar,
satu
hal langka telah terjadi: dirinya salah tingkah.
Benar-benar
tidak tahu harus merespons apa. Akhirnya Kugy
mencomot
satu lagi pisang susu. Mengunyahnya lahap.
“Kamu
terakhir makan kapan, sih? Lapar berat, ya?”
“Aku
suka lukisan-lukisan kamu.”
“Memangnya
kamu udah lihat?”
“Belum.
Justru itu. Belum lihat aja suka, apalagi kalau
udah
lihat,” Kugy terkekeh sendiri. Ia merasa wajahnya semakin
panas,
dan omongannya semakin ngaco.
“Kalau
gitu, habis makan siang, kita ke tempat saya, yuk.
Saya
mau kasih lihat lukisan-lukisan saya.”
Kugy
mengangguk. Ada senyum spontan yang tak bisa ia
tahan.
Mendadak ia mensyukuri celetukan asalnya tadi. Mendadak
ia
ingin cepat-cepat menuntaskan makan siang ini.
Tempat
kos Keenan terletak agak jauh dari kampus mereka.
Sebuah
rumah peninggalan zaman Belanda yang dikelilingi
pepohonan
rindang. Berbeda dengan tempat kos Kugy dan
Noni
yang padat, tempat kos Keenan hanya diisi oleh beberapa
orang
saja. Kamar-kamarnya berukuran luas dengan
langit-langit
yang tinggi.
Napas
Kugy seketika tertahan ketika pintu besar itu terbuka
dan
Keenan menyalakan sakelar lampu. Rel-rel kawat
bersaling
silang di bawah plafon dengan lampu-lampu halogen
kecil
yang bergantungan menerangi beberapa spot tempat
lukisan-lukisan
Keenan yang terpaku di dinding atau
didirikan
begitu saja di atas lantai. Kamar dengan ubin abuabu
itu
tampak lengang karena tidak banyak perabot. Hanya
45
satu
tempat tidur, lemari pakaian kecil yang di atasnya diletakkan
sebuah
mini compo, dan meja belajar besar tempat
alat-alat
gambar Keenan berjajar rapi.
“Nan
..., harusnya kamu bukan kuliah Manajemen, tapi
Seni
Rupa ...,” gumam Kugy sambil pelan-pelan melangkah
masuk,
“dan ini lebih pantas disebut galeri ketimbang kamar
kos
....”
Keenan
membawa Kugy berkeliling melihat lukisan-lukisannya,
seperti
orang pameran. “Ini judulnya: Sunset from the
Rooftop
... ini judulnya: Heart of Bliss ... yang ini: The Shady
Morning
... yang ini: Silent Confession ... dan ini ....”
“Yang
ini yang paling aneh,” potong Kugy, menunjuk lukisan
yang
hanya seperti gradasi warna dan garis-garis halus
seperti
larik-larik kapas. “Yang lain ada gambar orangnya
semua.
Cuma ini yang nggak ada.”
“Tebak
judulnya apa.”
“Gila,
itu sih mission impossible, namanya. Mana mungkin
ketebak.”
“Lukisan
yang satu ini jangan dipikir, tapi harus dirasa.
Apa
perasaan yang muncul ketika kamu lihat lukisan ini?
Itulah
judulnya.”
Kugy
menatap lukisan itu lekat-lekat. Lalu ia memejamkan
mata.
Lama. Lantas terdengar napasnya mengembus,
dan
setengah berbisik ia mengucap, “Bebas.”
Giliran
Keenan yang terpaku. Perlahan, ia membalik lukisan
yang
berdiri di lantai itu, dan menunjuk judul yang
tertera
di baliknya.
Kugy
melongo. “Freedom?”
“Sumpah
... saya sama sekali nggak sangka kamu bisa
menebak
setepat itu,” Keenan garuk-garuk kepala, “ini kebetulan
yang
aneh.”
Kugy
menggeleng, “Aku nggak percaya kebetulan. Ini
pasti
karena kita dulunya sama-sama utusan Neptunus. Wak46
tu
itu, kita dibekali telepati. Cuma, sebelum dikirim ke
Bumi,
kita dibikin amnesia. Supaya seru,” katanya mantap.
Keenan
manggut-manggut. “Bisa jadi. Boleh juga teorinya.”
“Ehm,
tapi untuk pertanyaan yang satu ini aku nggak
mau
menggunakan kemampuan telepati,” Kugy nyengir, “sebetulnya
ini
gambar apa, ya?”
“Lukisan
ini menggambarkan sudut pandang seekor burung
di
angkasa saat terbang. Dia tidak melihat batas apaapa,
tidak
melihat perintang apa-apa, tidak terikat oleh
Bumi.
Bebas. Total.”
Pandangan
Kugy yang tadi melekat pada lukisan perlahan
beralih
pada Keenan, ia seperti tergerak untuk menanyakan
sesuatu.
“Boleh tahu kapan kamu melukisnya?”
“Waktu
tahu saya lolos UMPTN.”
“Kamu
... sebetulnya ... terpaksa kuliah di sini, ya?” ucap
Kugy
hati-hati. Tidak yakin apakah pertanyaan itu pantas
diajukan,
tapi mulutnya seperti tak bisa ditahan.
Keenan
menatap Kugy balik, tebersit senyum getir di
wajahnya.
“Nggak matching,” ujarnya pendek, “antara minat,
cita-cita,
dan keinginan orangtua. Harus membuktikan bahwa
saya
bisa mandiri lewat melukis, sementara kesempatannya
tidak
pernah dikasih.” Ia lalu mengangkat bahu, “Mungkin
harus
dengan cara yang kamu bilang dulu. Berputar
menjadi
sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi diri
kita
lagi.”
Ingatan
Kugy kembali ke momen di kamar kosnya dulu.
Barulah
ia mengerti, sesungguhnya waktu itu Keenan membicarakan
dirinya
sendiri. Dan kesunyian yang sama kembali
hadir
di antara mereka.
“Dan
... karena kamu sudah berhasil menebak judul lukisan
ini,
saya mau kasih hadiah.” Air muka Keenan kembali
menghangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar